Ketika gunung Merapi atau gunung-gunung lain erupsi, masyarakat dengan serta merta mengatakan peristiwa itu sebagai bencana karena telah menelan korban jiwa. Pemikiran yang dibangun dari peristiwa itu adalah negatif karena masyarakat mendasarkan argumentasinya pada jatuhnya korban manusia maupun harta benda.

Sebenarnya kalau dilihat lebih jauh, peristiwa erupsi adalah peristiwa yang biasa yang kerap dialami gunung api. Namun, persepsi yang berkembang dalam masyarakat, peristiwa yang biasa itu menjadi luar biasa setelah menelan korban. Erupsi bagi masyarakat adalah bencana.

Peristiwa erupsi Merapi telah melahirkan kerancuan dalam masyarakat antara bencana dengan korban. Bencana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003 berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian dan penderitaan; kecelakaan; bahaya. Sedangkan korban menurut kamus yang sama adalah orang, binatang, dan sebagainya yang menderita akibat suatu kejadian, perbuatan jahat.
Erupsi Merapi dalam pengertian tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai peristiwa bencana meskipun menimbulkan korban. Mengapa? Merapi adalah gunung api yang aktif. Maka, gunung tersebut akan aktif dengan mengeluarkan material yang terkandung di dalam perutnya sesuai dengan dorongan energi yang ada di dalamnya seperti awan panas, batu, kerikil, pasir maupun abu vulkanik.

Ini adalah peristiwa biasa bagi gunung api yang aktif. Peristiwa itu memiliki sifat bahaya dan bisa memakan korban makhluk hidup yang ada dalam jangkauan lontaran material tersebut. Ketika jatuh korban manusia, peristiwa ini sebenarnya juga tidak bisa disebut bencana karena manusia sendirilah yang menghampiri bahaya tersebut. Tentu tidak akan jatuh korban, jika manusia berada dalam jarak aman lontaran material gunung api.

Jika dilihat subyek-obyeknya, gunung Merapi bukanlah subyek pelontar bahaya bagi manusia. Namun, manusialah yang membuat dirinya menjadi obyek bahaya. Karena lereng di sekitar Merapi subur, masyarakat pun berduyun-duyun tinggal di daerah tersebut untuk bertani dan beternak. Merapi telah menjadi berkah bagi mereka. Dari waktu ke waktu masyarakat menikmati kesuburan Merapi. Sumber pangan pun berlimpah ruah.
Fenomena alam erupsi gunung khusunya Merapi memang misterius. Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang bisa mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi. “Yang tahu maunya Merapi, ya cuma Merapi sendiri. Saya hanya membaca dan menyampaikan pesan-pesannya saja,” katanya (Kompas, 7 November 2010).

Cara pandang
Cara pandang pada erupsi Merapi semestinya dimaknai dengan jernih. Pertama, Merapi bukanlah sumber bencana karena gunung api tersebut menjalankan aktivitas layaknya gunung api yang aktif. Kedua, manusia bukanlah korban karena mereka sendirilah yang menghampiri Merapi sehingga terkena risiko aktivitas Merapi yang tidak bisa ditahan manusia. Kekuatan manusia jauh lebih kecil jika dibanding kedahsyatan Merapi. Ketiga, masyarakat perlu memandang Merapi sebagai anugerah yang yang luar biasa karena tanah di sekitar Merapi menjadi subut berkat abu vulkanik Merapi. Demikian juga dengan material lain yang dikeluarkan gunung api seperti pasir.

Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan fungsi pasir gunung api sebenarnya sama dengan pasir biasa. Pasir gunung api bisa digunakan untuk penjernih air dan bahan beton. Sedangkan material debu bisa memperkaya unsur hara dalam tanah sehingga menjadi subur. Dari fungsi material tersebut, jelas bahwa erupsi Merapi menjadi berkah bagi masyarakat.

Cara pandang terhadap erupsi mestinya diubah dari bencana menjadi berkah. Indonesia menjadi subur dan berkecukupan pangan karena kaya gunung api yang selalu memuntahkan abu vulkanik. Pasir yang melimpah ruah akibat erupsi juga telah memperlancar jalannya perekonomian masyarakat setempat dan pembangunan.

Pendidikan kegunungapian
Yang terpenting dan mendesak dilakukan pihak pemerintah adalah mengadakan pendidikan kegunungapian. Selama ini masyarakat terlalu asyik masyuk menikmati berkah gunung api dengan hasil panen pangan, ternak maupun material gunung api yang melimpah. Akibatnya, masyarakat kurang memperhatikan antisipasi erupsi gunung api yang berbahaya bagi dirinya.

Nenek moyang sebenarnya sudah mengajarkan, keharmonisan manusia  dengan alam. Misalnya dengan menyelenggarakan upacara persembahan untuk menetralisir gunung api. Mereka juga harmonis dengan hewan-hewan di seputar gunung karena makhluk tersebut bisa menjadi indikator bahaya gunung api. Bahkan masyarakat juga telah menghaluskan istilah letusan dengan personifikasi batuk.

Semangat seperti itu semestinya perlu diperhatikan dan ditanamkan demi keselamatan masyarakat. Alam adalah bagian dari hidup manusia. Manusia berdamai dengan alam tempat tinggalnya. Masyarakat disadarkan akan berkah gunung maupun bahayanya.

Mengingat saat ini, perkembangan masyarakat sudah sangat maju dan rasional, maka pendekatan pendidikan kegunungapian pun sebaiknya berkiblat pada ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya ilmu titen yang hanya sesuai dengan konteks zaman dulu.

Pendidikan kegunungapian difokuskan pada penyadaran akan manfaat gunung api, risiko maupun antisipasi bahayanya. Dengan demikian masyarakat pun bisa harmonis dengan anugerah Tuhan dalam rupa gunung dan bisa hidup dengan aman sambil menikmati berkah gunung tersebut.

Post a Comment

Kesan/Pesan