Kupu-kupu yang hinggap di bunga kertas ini sangat indah.


Anak-anakku, Clara Angeline Dianingtyas dan Fransiskus Assisi Diandra Raditya yang diberkati Tuhan. Semoga kabar kalian baik selalu. Sehat, limpah rejeki dan bisa berkarya dengan baik bagi sesama dan lingkungan. Hari ini, 15 Agustus 2021, bapak menulis ini untuk kalian.


Entah kapan kalian bisa membaca surat ini. Namun, bapak berharap kalian bisa membacanya. 


Melalui surat ini, bapak meminta maaf setulus-tulusnya atas kerusakan bumi ini yang mungkin membuat kalian dan teman-teman kesulitan dalam mengarungi kehidupan ini.


Bapak meminta maaf karena bapak tidak bisa optimal merawat bumi ini. Bapak juga minta maaf untuk orang-orang yang seumuran dan di atas umur bapak atas kerusakan bumi ini. 

Ada keindahan pada peristiwa capung yang hinggap di daun nanas.


Bapak sadar, bumi ketika surat ini ditulis sudah dalam keadaan tak baik-baik saja. Pencemaran tanah, air, udara makin masif. Krisis air di berbagai tempat makin terasa. Ikan-ikan di sungai sudah tak seramai waktu bapak kecil. Airnya sudah tak sejernih dulu. Waktu itu, bahkan, bapak bisa melihat dasar air yang sangat jelas karena air begitu bening.


Udara pun tercemar berbagai polutan seperti pembakaran bahan bakar fosil. Namun apa daya, alih-alih makin berkurang yang terjadi saat ini adalah penvemaran udara makin masif.


Tanah pun demikian. Bahkan di beberap tempat sulit untuk ditanami karena terkena polutan. Sementara itu di beberapa tempat, tanah rusak oleh berbagai penggalian tambang yang setelahnya ditinggal begitu saja. 


Sampah pun merajalela. Alih-alih mengurangi sampah, yang terjadi adalah orang-orang beramai-ramai membuang sampah sembarangan. Akibatnya, sampah-sampah itu mencemari lingkungan. Terjadi timbulan sampah yang menggunung. Bahkan ada yang sempat meledak dan memakan korban jiwa karena sampah tersebut mengeluarkan gas metana.


Bumi rusak makin parah. Sementara kalian lahir, kalian dihadapkan pada situasi kerusakan itu. Kalian disuguhi dengan aneka kerusakan bumi.


Meskipun demikian, tak sedikit dari kami yang sadar bahwa kami harus melakukan pertobatan ekologis. Kami harus kembali merawat bumi. Namun usaha kami belum optimal. Ketika sebagian orang merawat bumi, sebagian yang lain merusaknya. Bahkan itu dilakukan dengan lebih masif.


Meski bapak berusaha untuk merawat bumi, namun bapak tak bisa melakukan banyak hal. Bapak merasa tak berdaya. Bapak kadang merasa seperti putus asa. Bukannya situasi makin baik, namun yang terjadi adalah situasi yang memburuk.  


Meski seperti tak ada gunanya yang bapak lakukan, bapak tidak putus asa. Bekerja sama dengan siapapun yang seperasaan, sepemikiran dan sevisi, bapak berusaha merawat bumi. 


Waktu bapak menikah dengan ibu kalian, bapak menulis buku mini yang dijadikan sovenir. Buku itu berisi ajakan keluarga-keluarga untuk mencintai dan merawat bumi.


Beberapa waktu kemudian, bapak  juga menulis buku "Panggilan Melestarikan Alam Ciptaan". Buku ini ditulis karena waktu itu bapak merasa Gereja belum secara masif melakukan langkah-langkah merawat bumi. Meski sudah ada Gereja dan pribadi-pribadi yang melakukan, namun itu bapak rasa masih kurang. Buku ini bapak terbitkan sebelum ensiklik Laudato Si' dirilis oleh Paus Fransiskus. 


Buku kedua pun bapak tulis berjudul "Hidup dalam Realitas Alam". Buku ini bapak terbitkan setelah ensiklik Laudato Si' dirilis. Bapak berharap buku itu bisa menjadi inspirasi siapapun untuk merawat bumi. 


Namun, bapak sadar. Bapak bukan siapa-siapa. Bukan kaum intelektual. Maka wajar kalau pemikirannya tak dilirik. Bahkan pemikiran bapak mungkin tak transformatif. Tapi bapak sadar, hanya itu kemampuan bapak.


Meski demikian, anak-anakku, bapak tak menyerah. Bersama siapapun yang mau, bapak tetap ikut terlibat dalam isu-isu pelestarian alam baik yang edukatif maupun yang berwujud tindakan nyata. Itu yang bisa bapak lakukan.


Namun, bapak merasa semua itu belum menampakkan hasil. Persoalan lingkungan terlalu kompleks. Solusinya memang harus melibatkan banyak pihak. Bahkan  mungkin hasilnya tak nampak sampai si pejuang lingkungan itu mati. 


Namun demikian, bapak tetap berusaha  untuk setia meski bapak juga lemah. Pertanyaan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' harus dijawab dengan tindakan nyata. "Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini sedang bertumbuh kembang?" (LS 160).


Perjuangan belum selesai. Sekali lagi, bapak mohon maaf atas kelemahan bapak yang tidak bisa berbuat banyak dalam merawat bumi ini. 


Semoga kalian bersama teman-teman segenerasi mau meneruskan upaya dan perjuangan ini yaitu bersama-sama merawat bumi, rumah kita semua.


Ada semangat ekologis yang bapak tanamkan pada kalian melalui nama baptis kalian. Clara dan Fransiskus Assisi. Fransiskus Assisi dikenal sebagai tokoh yang sangat menghormati dan mencintai sesama ciptaan. Sedangkan Clara adalah tokoh yang hidup sederhana bahkan miskin demi kemuliaan Tuhan. Semoga kalian pun demikian. Mau berkorban untuk merawat bumi ini.


Berkah Dalem.

Post a Comment

Kesan/Pesan