Malam
itu, dua kolaborasi sangat indah terpampang di depan mata. Pertama, kolaborasi
lagu Ave Maria gubahan Giulio Caccini dan Adzan yang dibawakan Tania Kassis, Mohammad Shaar dan Maen Zakaria dalam
tayangan video. Lagu yang hanya melantunkan dua suku kata “Ave Maria” diulang-ulang
yang sangat melodius dan memiliki lekuk nada detil yang indah itu terdengar
berpagut dengan lantunan Adzan.
Kedua,
kolaborasi lengkingan saksofon tiupan Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr dengan
kasidahan dari Elbita IAIN Walisongo Semarang. Sangat indah. Suara rancak musik
kasidahan bersahutan dan beriringan dengan lengkingan saksofon. Dua tradisi
bercampur membentuk harmoni yang sama sekali baru.
Kedua
peristiwa itu menggambarkan harmoni. Harmoni berada dalam nada yang tak sama.
Indahnya, meskipun berbeda, harmoni sangat nyaman didengar. Sangat nyaman. Tidak
ada yang mendominasi. Semua sejajar dalam ekspresi sesuai dengan jatidiri
masing-masing.
Bukankah
hidup ini juga harmoni, kalau kita menginginkan keindahan? Dengan jatidiri
masing-masing, kita mengisi hidup namun berada dalam harmoni kemanusiaan. Di
sana nada apapun yang tergambar dalam jatidiri, agama, latar belakang, suku,
ras, pandangan politik, berpadu menjadi harmoni yang menggelora jiwa, hidup,
bahkan semesta raya. Harmoni itu selanjutnya teresonansi mahadahsyat yang
menggelayuti setiap jiwa. Bahkan jiwa yang selama ini terluka oleh kebencian,
iri, sakit hati, kepongahan, bahkan fanatisme.
Dalam
harmoni, kita tak mengenal distorsi yang kadang menyakitkan. Apalagi dominasi
dengan kekuatan yang membabi buta tak ada sama sekali. Harmoni mampu merangkul
bahkan yang hanya berbisik ataupun berteriak kencang, namun berujung pada
harmoni yang sangat indah.
Hidup
ini jika akan indah mestinya berkiblat pada harmoni. Harmoni terkadang bahkan harus
berempati. Seperti empati Chairil Anwar pada puisinya “Isa”.
ISA
(kepada nasrani sejati)
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah.
mengucur darah
mengucur darah.
12 November 1943
(dikutip dari kumpulan Deru Campur
Debu, 2000)
Isa
yang bukan nasrani mencoba berempati menjadi nasrani dengan menggambar
penderitaan Isa. Dalam penderitaan Isa, tergambar suka manusia. Duka Isa adalah
suka manusia. “mendampar tanya: aku salah?” menjadi pertanyaan refleksi
manusia, tak hanya nasrani, akan relasinya dengan Tuhan. Semua iman merangkul
relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi itu bisa rusak ketika kesalahan
terjadi seperti Adam dan Hawa yang bersembunyi dari Tuhan setelah berbuat kesalahan
memakan buah kehidupan.
Harmoni
hidup dengan merangkul berbagai tradisi, latar belakang, jati diri dan iman
sebenarnya juga menjadi kaca benggala antar satu dengan yang lainnya terutama
sebagai sesama peziarah di dunia ini, dari Tuhan menuju Tuhan. Dalam peziarahan
yang diwarnai harmoni itu kita saling membantu supaya sebagai peziarah kita
bisa sampai kepada Tuhan dengan selamat. Semua selamat.
Maka,
sebenarnya harmoni hidup lebih dari kolaborasi lagu Ave Maria dengan Suara
Adzan atau antara musik kasidahan dengan lengkingan saksofon. Itu hanya seujung
kuku hitam dalam sekujur tubuh manusia.
Posting Komentar untuk "Harmoni"
Kesan/Pesan
Posting Komentar