Memak(a)n(a) Kerupuk




Judul itu bisa dibaca Memakan Kerupuk atau Memakna Kerupuk. Saya sungguh terinspirasi ungkapan seorang tamu yang datang pada saat doa pemberkatan kantor tempat saya bekerja beberapa waktu lalu. Doa diadakan secara Islami. Mereka yang mendoakan adalah para tukang sampah yang bekerja di sekitar kantor. Kami yang Katolik berdoa secara Katolik dalam hati kami masing-masing. Sementara di tengah para tamu terhidang aneka makanan mulai dari nasi, gudangan, ikan asing, telur, dan yang paling mengesan adalah kerupuk.
                Usai doa, setelah berbicang beberapa saat, tiba-tiba seorang bapak dari mereka berkata, kerupuk artinya kerukunannya dipupuk. Saya pun tersenyum mendengar ungkapan spontan bapak tersebut. Saya merasa ditampar, hal yang kelihatannya sederhana bisa dimaknai secara luar biasa oleh bapak tersebut.
                Kerukunannya dipupuk, bagiku memiliki arti yang mendalam. Indonesia saat ini masih dilanda kekerasan. Karena perbedaan agama, orang terlibat konflik bahkan berujuang pada kekerasan. Perbedaan dalam hal itu menjadi tembok pemisah. Orang tak lagi saling mencintai dan mengasihi hanya karena berbeda agama, meskipun sebenarnya agama memerintahkan umatnya untuk saling mencintai sebagaimana Tuhan yang Mahakasih menghendaki demikian.

                Kerupuk, kerukunannya dipupuk, bagi bapak tukang sampah tadi sebenarnya hal yang ringan, seringan kerupuk, karena dalam dirinya, dalam pikiran, perkataan dan tindakannya ia selalu menjalankan kerukunan yang ia maksud. Bukan perbedaan yang ia cari, namun, persamaan sebagai sesama makhluk yang sama-sama mendiami bumi yang sama. Ia sadar hidup dari sumber dan akan menuju tujuan yang sama, yakni Tuhan. Ia sadar bahwa ia bersama siapapun yang sama agama maupun berbeda agama, sebenarnya hidup dari bumi yang sama. Orang baik, orang jahat, orang beragama apapun, orang bersuku apapun, orang dari Negara manapun hidup karena mengambil hasil-hasil bumi yang sama,  bukan bumi yang berbeda. Sebab, sejauh ini hanya ada satu bumi.
                Dalam semua itu sebenarnya, tak ada yang berbeda antara manusia satu dengan manusia yang lain, kecuali konsep atau pandangan yang mengajak seseorang merasa berbeda antara satu dengan yang lain. Demikian pula, jika orang menyadari bahwa manusia sebenarnya hanyalah makhluk yang dicipta oleh Tuhan yang sama, sebenarnya sesama manusia bagaikan saudara-saudari. Dengan demikian perseteruan, permusuhan antarmanusia merupakan perseteruan, permusuhan antarmanusia.
                Belajar dari bapak tadi, kerukunannya dipupuk, kita mesti menyadari sebagai sesama saudara-saudari yang dicipta Tuhan yang sama, kita kembali mempererat tali persaudaraan itu.
                Bukan perseteruan, namun persekutuan. Bersama-sama memakan “kerupuk”, kerukunannya dipupuk, maka hidup pun menjadi rukun. Demikian juga hidup semakin ringan, seringan kerupuk.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Memak(a)n(a) Kerupuk"