Malam belum larut. Beberapa orang bapak berkumpul di tempat biasa mereka berkumpul pada malam hari sekadar untuk melepas lelah setelah seharian bekerja dan ngobrol apapun.


Setelah ngobrol ngalor ngidul, salah


seorang dari mereka bercerita kejadian di kampung sebelah. Ada orang meninggal yang terkonfirmasi Covid-19. Namun, tak ada orang yang berani mendekat untuk membantu selain menunggu petugas pemulasaran jenazah dan pemakaman. 

Keluarga sangat bersedih mengalami situasi itu. "Salah apa aku ini?" katanya menirukan ucapan salah seorang anggota keluarga.


Dari hal itu muncul usul kalau di kampungnya dibentuk petugas pemakaman khusus kasus Covid-19. Kalau kematian biasa hal itu sudah biasa ditangani oleh masyarakat. Namun, penanganan kematian Covid-19 memang membutuhkan cara khusus. Karena petugas pemakaman kadang kelelahan mengurus pemakaman akibat terlalu banyaknya pemakaman dalam sehari, mereka sepakat untuk menjadi petugas pemakaman khusus kasus Covid-19. "Jaga-jaga saja, kalau ada warga kita mengalami hal ini, kita sudah siap?" kata seorang yang biasa bertani itu diiringi suara serangga malam yang menyemarakkan suasana malam itu.


Beberapa waktu kemudian, obrolan berlanjut di warung angkringan. Mereka memilih orang-orang yang mau terlibat menjadi petugas pemakaman. Dengan demikian, mereka menganggap sudah meringankan petugas pemakaman. 


Dan benar, beberapa waktu kemudian, di kampung itu ada seorang warga meninggal dan terkonfirmasi Covid-19. Tim yang baru saja dibentuk pun langsung bekerja dengan efektif. Makam segera digali. Setelah menunggu proses pemulasaran jenazah selesai, dengan pakaian APD lengkap mereka bersiap. Petugas  pemakaman melakukan prosesi pemakaman tahap pertama mulai dari mengeluarkan peti jenazah yang di dalamnya berisi jenazah dari ambulance, kemudian menggotongnya ke makam dan memakamkannya. Setelah tertutup timbunan tanah sebagian, tim pemakaman pertama mundur, diganti tim pemakaman kedua yang adalah warga setempat yang rela menjadi tim pemakaman. 


"Waduh, nafasku terengah-engah. Ini tidak seperti pemakaman biasa. Pengap karena harus pakai APD yang serba tertutup. Untung, ini malam hari. Kalau siang hari tidak terbayang," komentar salah seorang tim usai pemakaman. 


Pemakaman selesai sesuai protokol kesehatan. Keluarga pun berterima kasih atas keterlibatan warga yang berani membantunya dengan protokol kesehatan yang ketat. Kepedulian ini tak sirna meski pandemi mendera setahun lebih.


Beberapa waktu lalu, aku yang berada di kampung itu pun terinfeksi Covid-19 bersama istri. Saya bergejala ringan. Istri tak bergejala. Kami menjalani isolasi mandiri. 


Mendengar itu, warga pun langsung menghimpun bantuan logistik untuk kami yang isolasi mandiri selama 2 minggu. Bantuan juga datang dari gereja paroki kami, gugus tugas, teman-teman dan komunitas tempat kami bekerja. Mereka, selain mengirim logistik, juga mengirim vitamin. Kepedulian itu tetap tumbuh terpelihara. 


Sapaan-sapaan untuk menyemangati kami mereka sampaikan melalui WA. Yang jelas, selain dukungan logistik, dukungan moral pun sangat berarti bagi kami. 


Menggembirakan, warga tetap peduli pada mereka yang terinfeksi. Beberapa tetangga kami sebelumnya pun mendapat bantuan yang sama. Melihat ini, aku tak takut, bahwa kita bisa melewati pandemi Covid-19 ini dengan baik. Kepedulian ini akan menyelamatkan dan membuat situasi lebih baik.


Kepedulian juga terus menjalar dan hidup. Gereja-gereja dan kongregasi pun terlibat dalam meringankan dampak pandemi ini. Beberapa rumah retret dan tempat pelatihan dibuka untuk mereka yang harus isolasi mandiri. Selain bantuan logistik dan vitamin, mereka juga siap membantu dengan tenaga dan berjaga siap membantu selama 24 jam.


"Kalau butuh kami, jangan sungkan menghubungi kami. Kami siap 24 jam," kata salah seorang relawan gereja kami ketika mengirim logistik.


Aku pun menyimak begitu banyak orang yang peduli. Mengingat pandemi yang menghantam perekonomian, banyak gerakan dilakukan. Misalnya dengan nglarisi dagangan. Bahkan tak jarang dari mereka yang membayar lebih tinggi dari harga  yang ditentukan untuk sekadar membantu.


Memang, bisa saja pada masa pandemi ini yang mengerikan adalah muncunya gelombang ketidakpedulian. Bukan penyakit yang disebabkan virus Korona saja yang berbahaya, namun penyakit hati manusia pun tak kalah berbahaya. Penyakit itu adalah egoisme dan tidak peduli pada orang lain. Ini mengerikan.


Namun, melihat semangat warga yang peduli dan mau berbagi, aku optimis bahwa kepedulian global terus menjalar dan membakar semangat kita semua.



Post a Comment

Kesan/Pesan