Ilustrasi: Jembatan Bambu. Foto: ikons.id


Hari sudah sore, gerimis dan dingin. Pak Glenik leyeh-leyeh di kursi beranda rumahnya. Tiba-tiba Yu Iteng datang. Botol-botol jamunya tampak kosong. Berarti dagangannya sold out.

"Pak Glenik lagi ngelamun ya?" sapa Yu Iteng yang dibarengi Derkuku manggung.
Pak Glenik membalas, "Ini loh, ada rencana bikin terowongan antara masjid dan gereja. Katanya terowongan silaturahmi. Apa pentingnya ya?" tanya Pak Glenik sambil pegang kepala.
"Terowongan itu penting, Pak Glenik, kan biar bisa dimasuki," katanya sambil menggoyangkan wajah ala orang India.
"Gini loh. Itu kan simbol saja. Yang penting tuh, pemerintah jamin kebebasan orang beribadah. Yang sudah punya IMB bangun tempat ibadah ya harus dijamin keamanannya. Jika perlu nyumbang beliin pasir kek, semen kek. Lah selama ini, boro-boro nyumbang beliin pasir utawa semen, yang ada malah membiarkan kelompok intoleran menghalangi pembangunan. Lah bikin terowongan itu untuk apa, pencitraan? Kan lebih baik memerangi kaum intoleran. Masyarakat tanpa terowongan juga bisa bersilaturahmi. Selama ini tak ada terowongan, silaturahmi juga bisa. Nah, sudah deh. Lebih baik jamin kebebasan menjalan ibadah agama masing-masing," kata Pak Glenik dengan muka agak kesal.
Yu Iteng menimpali, "Biar kaya Paus Fransiskus, bagaimana kalau terowongan itu diganti jembatan. Iya jembatan. Biar bisa menjembatani hatiku dan hatimu," kata Yu Iteng dengan membusungkan dada ke arah Pak Glenik. Pak Glenik pun tersengal selama beberapa detik lalu sadar. "Enyahlah wahai engkau, Iblis!"

"Uh, udah enak baru ngomong, enyahlah wahai engkau, iblis!" sahut Yu Iteng.
Pak Glenik pingsan.

Post a Comment

Kesan/Pesan