Suatu
pagi, waktu menyapu halaman gereja, Pak Glenik terkejut bukan kepalang. Seorang
bapak tiba-tiba menghampirinya. “Pak Glenik, tolong Pak, saya pusing menghadapi
anak saya yang satu itu!” serunya.
“Lah,
memang ada apa, Pak?” timpal Pak Glenik pada Pak Sarwono.
“Itu
loh, anakku, bersikeras mau menjadi suster biarawati.”
“Lah,
kan bagus, Pak Sarwono, apalagi sekarang panggilan hidup bakti menurun. Makin
banyak anak muda yang tak tertarik menjadi biarawan atau biarawati. Mestinya,
Pak Sarwono bahagia mempunyai anak yang terpanggil untuk hidup bakti.”
“Pokoknya,
saya tidak setuju. Pak Glenik ini bagaimana, bukannya mendukung saya, eh malah
mendukung anak saya yang mau menjadi biarawati. Saya mau lapor dan minta
nasihat pada Romo, ada tidak?”
“Oh,
sebentar, tadi sedang sarapan pagi, mungkin sudah selesai. Silakan Pak Sarwono
duduk di ruang tamu, saya akan memberitahu romo.”
Pak
Glenik pun berlalu, ia memberitahu romo. Tak berapa lama, romo yang mengenakan baju
putih itu muncul dan menemui Pak Sarwono.
“Romo,
ini loh, Pak Sarwono, pagi-pagi sudah galau, saya malah kena semprot. Dia tidak
rela kalau anaknya mau menjadi biarawati.”
“Betul,
Pak Sarwono?” tanya romo. “Betul, Romo!” jawab Pak Sarwono.
“Loh,
Pak Sarwono, di era sekarang yang katanya serba modern, orang makin enggan
berkomitmen menjadi biarawan/biarawati. Bapak, semestinya bangga pada anak
Bapak. Terlebih, saat ini panggilan hidup membiara mengalami penurunan.”
“Apa
saya bilang, sama to dengan nasihat Romo. Lah, kok tadi malah sewot sama saya?”
“Romo
dan Pak Glenik ini, bagaimana sih. Bukannya membantu saya menolak kemauan anak
saya menjadi biarawati. Anak saya laki-laki!”
Romo
dan Pak Glenik pun saling membuang muka.
Posting Komentar untuk "Melarang Anak Menjadi Biarawati"
Kesan/Pesan
Posting Komentar