Ilustrasi: wallpaperup.com


Tok, tok, tok. Terdengar pintu diketok. Pak Glenik pun bergegas membuka pintu. "Selamat sore, Pak Glenik," seorang perempuan berparas cantik menyapa dan memperkenalkan diri beberapa menit setelah dipersilakan duduk di beranda rumah beraroma bunga melati itu.

"Oh, jadi Adik ini alumni Sekolah Evangelisasi Pribadi atau SEP. Datang ke sini ingin aksi sosial. Misionerlah. Begitu kira-kira ya? Bikin aksi sosial untuk orang-orang miskin," tanggap Pak Glenik dengan mata berbinar.
"Iya, kami mau berbagi sembako," jawab perempuan itu diikuti senyum manis, tangan kanannya merapikan rambutnya yang lurus panjang wangi. Sepintas seperti rambut Ariel Tatum.
Setelah menerima bingkisan sembako, Pak Glenik seakan tak berdaya, karena mencium aroma wangi dari rambut perempuan itu yang bahkan lebih wangi dari aroma melati yang ditanamnya.
"Oh iya, Dik. Saya sekalian juga mau sharing iman, Dik. Saya gundah gulana. Sebagai alumni SEP yang misioner, apakah mau mendengar sharing saya? Barangkali melegakan saya," tanya Pak Glenik. Perempuan itu mengangguk, sekali lagi senyum manisnya mengikuti.
Laki-laki jomblo itu pun bercerita panjang dan lebar, hampir seperempat jam. "Jadi, intinya begini, Dik cantik, saya ini, selain masih miskin harta, juga miskin cinta. Hmmm....belum punya pasangan. Hmm...Barangkali Adik mau bermisi?" tanya Pak Glenik malu-malu dan berharap.
Perempuan itu pun terdiam lama. Suara gemerisik daun di sekitar mereka seakan bertambah keras sampai tiba-tiba ada suara tak terduga.
"Baby, halo baby, jalan yuk!" Tiba-tiba Yu Iteng muncul dengan bahasa tubuh yang kenes sambil meletakkan gendongan jamu.
Pak Glenik dan perempuan itu terkejut. "Oh itu pacar, Pak Glenik? Maaf, saya mengganggu. Saya mohon pamit. Terima kasih!" Perempuan itu pun pergi dengan segera, 5 detik kemudian sudah melesat dengan mobil sport-nya. Sebelumnya, setetes air matanya jatuh di dekat kaki meja Pak Glenik. Dari balik kaca mobil perempuan itu, Pak Glenik sempat melihat derai air matanya. Pak Glenik pun menyeka air mata di lantai itu dengan sapu tangannya yang beraroma minyak angin. Matanya terlihat sangat menyesal.
Yu Iteng bingung dengan adegan itu. "Baby kenapa?" tanyanya pada Pak Glenik.
"Aku mau mati gara-gara kamu!"
"Eh, jangan. Aku kasih nafas buatan ya!" sambil mendekatkan bibirnya.
Melihat hal itu, Pak Glenik meloncat dari kursinya, lari mengitari kampung dan sembunyi di kuburan hingga dini hari.

Post a Comment

Kesan/Pesan