Kita tercengang dan sedih mendengar berita ikan Paus berjenis Sperma yang memiliki panjang 9,5 meter ditemukan mati terdampar di perairan pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 19 November 2018.
Lebih mengerikan lagi, dalam perut ikan tersebut, ditemukan 5,9 kg sampah plastik. Sampah-sampah itu berupa plastik keras (19 pcs, 140 gr), botol plastik (4 pcs, 150 gr), kantong plastik (25 pcs, 260 gr), sandal jepit (2 pcs, 270 gr), tali rafia (3,26 kg) dan gelas plastik (115 pcs, 750 gr). Mau berkata apa lagi?
Jika Paus saja mati karena sampah, suatu ketika manusia pun bisa mati karena sampah, langsung atau tidak langsung, cepat atau lambat.
Lagi-lagi ini terjadi karena ulah manusia. Kemajuan teknologi tak membuat manusia semakin beradab. Teknologi itu bahkan hanya untuk kepentingan dan kepuasan manusia belaka, abai terhadap keselamatan dan kelestarian alam ciptaan.
Dari kasus tersebut terlihat bahwa manusia tidak bisa menghormati ciptaan lain. Budaya membuang begitu saja masih menjadi habitus manusia. Manusia tak berpikir lebih jauh akan dampak yang ditimbulkan. Kematian ikan Paus Sperma tersebut hanyalah salah satu tanda bahwa pengabaian kepada kelestarian dan keselamatan lingkungan akan berdampak buruk pada ciptaan.

Kematian Paus Sperma itu menjadi cerminan bahwa masyarakat kita masih dilingkupi budaya membuang yang sangat parah dan memprihatinkan. Dan sepertinya mengikis budaya membuang ini tidak mudah serta membutuhkan waktu yang cukup lama.
Maka menjadi sangat wajar kalau Paus Fransiskus menyoroti budaya membuang yang sedang dihidupi masyarakat saat ini. “Masalah-masalah ini berkaitan erat dengan budaya ‘membuang’ yang menyangkut baik orang yang dikucilkan maupun barang yang cepat disingkirkan menjadi sampah (LS 22)”. Dalam realitas, jika menyangkut manusia, kita melihat orang-orang miskin yang tersingkir dari kehidupan ini. Mereka hidup di pinggir-pinggir kemakmuran. Sementara yang lain dengan mudahnya menikmati kelimpahan, orang-orang tersebut hidup dalam kekurangan yang mengenaskan.
Demikian pula masyarakat kita begitu mudahnya menjadikan barang yang dipakainya menjadi sampah dan membuangnya begitu saja. Budaya sekali pakai sedang menjadi gaya hidup masyarakat kita. Kita bisa saksikan di berbagai toko, banyak makanan dan minuman dikemas dalam kemasan sekali pakai. Konon lebih higienis, namun dampaknya sangat merugikan bagi alam ciptaan. Orang bisa saja berdalih bahwa kemasan-kemasan itu bisa didaur ulang, namun pada kenyataannya, itu sangat tidak mudah.
Sampah-sampah yang berserak dan melayang-layang di perairan atau lautan menjadi cermin bahwa manusia tidak bisa menghormati sesama ciptaan lainnya yang keberadaannya sungguh dikehendaki Sang Pencipta. Padahal, antar ciptaan itu saling terajut dalam jaring-jaring kehidupan yang saling memberi pengaruh.
Hal itu terjadi karena manusia tidak melek lingkungan sehingga dalam berproduksi atau mengonsumsi produk tidak memperhatikan dampaknya pada kelestarian lingkungan. Atau yang kedua, manusia memang hanya berorientasi pada pencarian keuntungan saja dengan mengabaikan kelestarian lingkungan. Alam ciptaan hanya menjadi instrumen pemuas kebutuhan manusia. Lebih parah lagi dalam pencarian keuntungan itu, manusia hanya berorientasi pada paradigma teknokratis. Paus Fransiskus melihat  bahwa “paradigma teknokratis juga cenderung mendominasi bidang ekonomi dan politik. Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatifnya bagi manusia (LS 109)”.
            Manusia mesti menyadari bahwa dirinya bisa hidup karena bumi dan ciptaan di sekitarnya. Dengan menjaga alam ciptaan, keberadaan manusia menjadi terlindungi. Maka, teknologi yang dipakai mestinya bisa menjamin keselamatan dan kelestarian bumi.
            Untuk menepis dan mereduksi bahaya itu, yang patut dikembangkan berikutnya adalah budaya ekologis. Menurut Paus Fransiskus, “budaya ekologis tidak dapat direduksi menjadi serangkaian jawaban mendesak dan parsial atas masalah-masalah yang sedang muncul dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan, menipisnya cadangan sumber daya alam, dan polusi. Budaya itu membutuhkan suatu cara memandang yang berbeda, pikiran, kebijakan, program pendidikan, gaya hidup dan spiritualitas yang membangunkan ketahanan menghadapi kemajuan paradigma teknokratis (LS 111)”.
            Budaya ekologis membutuhkan komitmen yang tinggi, utuh dan tidak parsial, serta mengakar. Jika tidak, budaya ekologis itu tak ubahnya hanya sekadar pemanis bibir yang tak bermakna. Menghidupi budaya ekologis membutuhkan tekad yang sangat kuat dan integral.
            Meski belum terlalu integral, kebijakan seperti pembatasan pemakaian kantong plastik patut untuk diapresiasi. Terlebih plastik selama ini banyak dipakai sebagai kemasan sekali pakai. Selebihnya, plastik akan menumpuk menjadi sampah.
            Beberapa kota seperti Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, dan Denpasar menerapkan kebijakan pembatasan pemakaian kantong plastik. Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti melarang adanya air mineral dalam kemasan plastik di acara-acara di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena produk itu mengotori lingkungan (ANTARA News, 28 Maret 2018). Bahkan Menteri Susi Pudjiastuti juga melarang pegawai KKP untuk membawa minuman kemasan botol plastik ke kantor (Merdeka.com, 28 Maret 2018). “Saya larang pegawai saya bawa botol minuman kemasan ke kantor, kalau ketahuan denda Rp. 500.000. Ini harus ada manajemen pengawasannya, yang melaporkan dapat 20 persen dari denda, tidak apa-apa, biar jalan sistemnya,” kata Susi di kantornya, Rabu (28/3), seperti dilansir Merdeka.com.
            Upaya yang patut diapresiasi berikutnya adalah terobosan yang dilakukan Pesantren Ath Thaariq pada hari raya Idul Adha. Pesantren ini tidak memakai plastik sebagai bungkus daging kurbannya. Namun, pesantren ini memakai daun pisang dan besek (wadah dari anyaman bambu) sebagai wadah daging. Tentu penggunaan daun pisang adalah langkah yang sangat ekologis. Sedangkan penggunaan besek, di samping sangat ekologis karena terbuat dari bambu yang merupakan bahan alami, hal ini juga bisa meningkatkan nilai bambu dan mengangkat derajat pengrajin besek.
            Untuk menguatkan budaya ekologis, tentu kita membutuhkan spiritualitas tertentu. Kearifan lokal biasanya menyimpan spiritualitas tertentu. Kita memiliki kearifan lokal yang terbukti bisa lebih ramah lingkungan. Kearifan lokal yang dihidupi dan diwariskan nenek-moyang kita merupakan suatu ajakan untuk hidup menyatu dengan alam ciptaan.
            Menurut Peter C. Aman, OFM dalam Iman yang Merangkul Bumi (2013:155), kearifan lokal merupakan modal sosio-kultural dari suatu masyarakat yang memampukan mereka mengembangkan hidup dalam korelasi mereka dengan alam, sesama dan Yang Ilahi secara berkelanjutan dan utuh. Modal sosio-kultural ini memberi kontribusi bagi kokohnya bangunan sosial dan kultural masyarakat serta memberikan panduan etis-moral dalam dinamika relasi sosial, ekologis dan dengan Yang Ilahi.
            Kearifan lokal memungkinkan sebuah komunitas masyarakat bisa hidup secara integral antara dirinya dengan alam, dirinya dengan sesama manusia, dan dirinya dengan Tuhan. Hal itu merupakan kesatuan yang sangat ideal untuk membangun persekutuan kehidupan yang harmonis
            Kalaupun dalam perkembangannya ada teknologi yang dikembangkan manusia, mestinya teknologi tersebut tidak merusak persekutuan kehidupan ini. Teknologi untuk mempermudah manusia menapaki peziarahan hidupnya bersama sesama manusia dan alamnya. Namun, teknologi bukan untuk merusak alam ciptaan. Jika ternyata teknologi tersebut merusak alam ciptaan yang selanjutnya berakibat pada rusaknya persekutuan atau relasi kehidupan, maka pantaslah teknologi itu ditanggalkan. Jika plastik terbukti merusak alam ciptaan, sudah saatnya, sebisa mungkin kita menanggalkannya. Setidaknya menguranginya.
           



Post a Comment

Kesan/Pesan