Sudah sekian waktu suara kicauan Kutilang terdengar dari pepohonan di halaman gereja. Tak seperti Natal tahun lalu, halaman gereja hanya bising oleh lalu lalang kendaraan dari jalan depan gereja.

Sekarang kicauan Kutilang terasa lebih keras terdengar. Bahkan, Sarpan, koster gereja, pada suatu pagi bercerita kalau kicauan Kutilang bertambah ramai. "Setengah tahun ini, kicauan Kutilang tambah ramai," katanya sambil menyeruput kopi dan disusul menghisap rokok kereteknya.

Giyem, istrinya, menambahkan kicauan Kutilang makin hari makin ramai. "Sepertinya Kutilangnya bertambah," timpalnya sambil mengangkat tempe goreng yang panas mengepul.

Pagi itu, ketika lagu pembuka misa hari Minggu dikumandangkan oleh paduan suara dengan fals, Kutilang pun ikut berkicau, seperti hendak menggabungkan diri dalam paduan suara itu.

Saat homili, Romo Parjo sampai mengajak umat untuk diam selama 3 menit, khusus untuk mendengarkan kicauan Kutilang. "Dengarkan suara Kutilang sesaat, rasakan keindahan Tuhan dari suaranya yang merdu," kata Romo Parjo.



Tiba-tiba, sang koster, Sarpan yang duduk di luar gereja bergumam, "suara Kutilang, suara Tuhan". Ia mendengar suara romo yang menyampaikan homili yang ditingkahi oleh kicauan Kutilang. Tak hanya seekor dua ekor. Rupanya kicauan Kutilang itu berasal dari banyak Kutilang yang bertengger di
pepohonan yang ada di sekitar gereja. Dari semua sudut, suara Kutilang itu terdengar, membentuk paduan suara Kutilang.

Vokal utamanya adalah Romo Parjo, orkestranya adalah kicauan burung. Setiap patah kata diucapkan, iringan kicauan burung mengikuti. Pagi itu,  gereja serasa ditingkahi suara surgawi.

Sebuah pohon beringin di depan gereja tampak sangat lebat. Ternyata bukan hanya daunnya yang membuatnya terlihat lebat. Namun, burung-burung Kutilang yang hinggap di dahan-dahan dan carang-carangnyalah yang membuat beringin itu lebih lebat.

Usai misa, Romo Parjo keluar dari gereja. Ia mengamat-amati pepohohan yang dipadati Kutilang. Kutilang-kutilang itu sudah dua pekan datang dan tinggal di pepohonan di sekitar gereja. Romo Parjo tersentuh seperti ketika melihat umatnya yang kelaparan karena persediaan pangannya menipis akibat paceklik dan kemarau panjang.

"Mulai sekarang, jangan lagi ada pepohonan yang ditebang di sekitar gereja. Umat gereja ini, bukan hanya manusia, tetapi burung-burung Kutilang," katanya pada umat yang masih terheran-heran oleh kedatangan  burung-burung Kutilang itu.

Romo Parjo setuju dengan Sarpan, suara Kutilang, suara Tuhan. Ia pun mengajak umat, jika ingin mendengar suara Tuhan, dengarkanlah suara Kutilang. Jika sedih, umat diminta datang ke sekitaran gereja sambil berdoa rosario dan mendengar kicauan Kutilang.

Kutilang, kata Romo Parjo, pun berdoa ketika umat-Nya berdoa. Di sanalah terjadi doa massal. Doa itu memadati ruangan semesta. Bahkan, ketika Kutilang dan manusia berdoa, makhluk lain pun seperti diajak untuk turut berdoa.

Dengan demikian, Romo Parjo yakin, Kutilang adalah yang membantu menyelamatkan manusia supaya selalu saleh. Kutilang tak bekerja, namun tetap bisa makan karena semesta lewat kebaikan Tuhan selalu mencukupi kebutuhannya. Kutilang mengajar manusia untuk seleh.

Lalu, dengan menghadap pohon beringin yang dihinggapi burung-burung Kutilang itu, Romo Parjo mengajak umat yang tetap bertahan di halaman gereja itu untuk berdoa satu kali Bapa Kami dan tiga kali Salam Maria. Kutilang-Kutilang pun menyahut dalam kicauannya, seperti di surga.

Seleh (Jawa): berserah diri

Post a Comment

Kesan/Pesan