Akhir-akhir ini ada kabar menggembirakan bahwa orang-orang muda mulai kembali tertarik pada dunia pertanian yang bahkan banyak di antara mereka tertarik dengan pertanian lestari. Pertanian ini ramah lingkungan sehingga tidak merusak alam, namun jutsru membuat manusia yang mengonsumsi produk pertaniannya sehat, demikian juga ekosistem di sekitarnya tetap lestari.
            Sebelumnya Kompas.com (08/08/2016) memberitakan bahwa per menit satu rumah tangga petani “hilang”. Ini membuat kita cukup khawatir. Jika dunia pertanian ditinggalkan, lalu siapa yang akan menyediakan pangan bagi kita semua?
            Selain krisis pangan, bisa jadi yang terjadi adalah krisis lingkungan hidup karena tak ada lagi yang mendasarkan hidup dalam dunia pertanian yang sebenarnya nasibnya sungguh bergantung pada lingkungan yang mendukung seperti air, tanah maupun udara.
            Gejala anak muda mau beralih ke dunia pertanian sungguh membuat kita  gembira meski mungkin untuk saat ini jumlahnya masih sedikit. Tentu pola pertanian anak muda saat ini berbeda dengan pola yang diterapkan orang-orang tua sebelumnya. Anak-anak muda sudah bisa berpikir ke arah manajemen pertanian dan agrobisnis. Namun yang mesti dijaga adalah roh atau semangat untuk tetap mencintai bumi sebagai sumber kehidupan.

            Tanpa kecintaan pada bumi, pertanian hanyalah bualan. Karena selama ini hanya bumi yang terbukti telah memberi kehidupan khususnya dalam dunia pertanian dengan segala unsur di dalamnya.
            Geliat anak muda untuk mencintai pertanian tak hanya bagi mereka yang mempunyai tanah luas karena warisan orang tuanya atau karena mereka menggarap lahan bersama orang tuanya. Bahkan tak sedikit di antara anak muda itu berani menyewa tanah lalu mereka bercocok tanam di tanah tersebut. Tak jarang yang bertani di lahan sempit dan pekarangan rumah. Alhasil karena mereka sudah mengkombinasikan antara pertanian dengan manajemen bisnis pertanian, pertanian menjadi sesuatu yang bisa diandalkan. Di samping setiap hari mereka bisa memetik hasil tanamnya untuk dikonsumsi sehari-hari, mereka pun bisa menikmati hasilnya dari penjualan produk-produk pertanian tersebut.
            Geliat orang muda ini senada dengan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato Si’ yang fenomenal itu. “Orang-orang muda menuntut perubahan. Mereka bertanya-tanya bagaimana orang bisa mengklaim membangun masa depan yang lebih baik tanpa memikirkan krisis lingkungan dan penderitaan mereka yang dikucilkan” (LS 13). Orang muda rupanya gelisah akan masa depan bumi ini. Mereka butuh komitmen, terutama dari orang-orang tua atau pendahulunya akan perlakuannya pada bumi. Tentu, yang orang-orang tua lakukan terhadap bumi entah baik maupun buruk akan berdampak pada anak cucunya kelak atau bahkan anak-anak yang sedang dibesarkan. Sedikit banyak, anak-anak yang sedang dibesarkan bahkan sudah merasakan dampak dari perlakuan para orang tua terhadap bumi, baik ataupun buruk.
            Orang muda gelisah akan hidupnya sebagai generasi penerus. Tentu, tak sedikit orang-orang tua yang secara egois telah memperlakukan bumi ini demi keuntungannya sendiri tanpa mau berbagi bahwa bumi dan seisinya juga sebenarnya harus diwariskan kepada generasi penerus. Bagaimana mungkin ketika orang-orang tua telah mengambil begitu banyak dari bumi, selanjutnya mereka hanya memberikan sisa-sisa kehancuran pada anak-cucunya?
            Maka, kebangkitan anak-anak muda pada pertanian maupun panggilannya untuk berusaha merawat bumi adalah hal yang sangat baik dan masuk akal daripada menunggu pertobatan ekologis orang-orang tua yang tak tahu waktu terjadinya. Orang-orang muda yang memiliki panggilan tersebut bagaikan berjalan seraya membuat jalannya yang dipenuhi semak belukar keserakahan orang-orang tua yang serakah.
            Meskipun demikian, Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk mau berdialog baik orang tua maupun orang muda untuk memikirkan nasib bumi dan penghuni bumi ini. “Saya mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua. (LS 14).
            Menurut Paus, “kita semua dapat bekerja sama sebagai instrumen Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budaya, pengalaman, prakarsa, dan bakatnya sendiri” (LS 14).
            Dwi Safitri dalam Mediaindonesia.com (19/11/2017) menulis seorang kaum muda bernama I Gede Artha Sudiar­sana yang merintis pertanian jamur. Gede sebagai generasi muda ingin berkontribusi nyata untuk pertanian dan sistem pangan Indonesia. Dia memanfaatkan limbah kayu sebagai media tanam budidaya jamur. “Saya juga ingin mengubah image petani dari yang selama ini diindentikkan dengan tua, kemiskinan, pekerjaan kotor, dan kurang berpenghasil­an menjadi petani yang muda, keren, menguntungkan, dan kekinian,” katanya. Dia juga menggandeng petani di Desa Pidpid, Bali untuk bersama-sama membudidayakan jamur.
            Selain dunia praktisi pertanian, ada juga orang muda yang berminat memperdalam pertanian yang ramah lingkungan dengan belajar secara khusus. Standy Christianto asal Purwokerto menempuh program master di Institute of Crop and Science Resource Conservation di Universitas Bonn, Jerman. “Kalau di Indonesia, pertanian tujuannya adalah bagaimana agar bisa memberi makan rakyat sebanyak-banyaknya dari hasil pertanian itu. Sedangkan di Jerman, yang ditegaskan adalah bagaimana supaya anak-cucu dan generasi mendatang juga tetap bisa menikmati hasil pertanian,” katanya seperti dilansir Newsdetik.com (23/07/2018).
            Daripada mengutuki kegelapan akan bumi yang dirusak beramai-ramai oleh orang-orang yang serakah dan tak tahu berterima kasih, orang-orang muda ini dengan cara dan bakatnya masing-masing mengambil peran untuk merawat bumi.
Mereka mungkin sudah tak terlalu berharap banyak pada orang-orang tua untuk mau berbagi anugerah kehidupan melalui ciptaan pada anak-cucu mereka. Namun, mereka justru mengambil peran untuk merawat bumi.
            Sebagai orang-orang muda yang mestinya menikmati warisan anugerah ciptaan, mereka justru berusaha memberikan warisan pada generasi penerusnya. Mereka tak terlalu pusing dengan kondisi saat ini yang dialami.
            Orang-orang muda itu telah selaras dengan harapan Paus Fransiskus seperti yang disampaikan dalam Ensiklik Laudato Si’. Ketika kita memikirkan keadaan dunia yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita mulai berpikir dengan cara yang berbeda, sadar bahwa dunia adalah anugerah cuma-cuma yang kita terima dan yang kita bagi dengan yang lain. Jika bumi dianugerahkan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi dan produktivitas demi keuntungan pribadi” (LS 159).
            Ya, memang untuk merawat bumi atau membangun keberpihakan kepada generasi lebih lanjut, kita mesti mengalami pertobatan. Dalam hal ini adalah pertobatan ekologis. Dan ini adalah pertaruhan martabat. Tipikal generasi kita ditentukan oleh tindak-tanduk kita dalam memperlakukan bumi dan seluruh ciptaan. Ini adalah pertaruhan martabat kemanusiaan kita sebagai sesama makhluk yang berziarah di bumi ini bersama makhluk-makhluk ciptaan yang lainnya.
Paus Fransiskus dengan tegas mengatakan, “kita harus menyadari bahwa apa yang dipertaruhkan adalah martabat kita sendiri.  Kita sendirilah yang pertama-tama berkepentingan untuk mewariskan planet yang layak huni kepada generasi mendatang. Ini adalah drama bagi diri kita sendiri, karena mempertahankan makna peziarahan kita di bumi.” (LS 160).

Post a Comment

Kesan/Pesan