Akhir-akhir ini
destinasi wisata semakin banyak dibuka di berbagai daerah. Terlebih
daerah-daerah yang memiliki keindahan alam, sekarang mulai mengelola keindahan
alamnya dengan membukanya sebagai destinasi wisata baru.
Ini bisa menjadi hal
yang baik mengingat kegiatan ini bisa mendatangkan keuntungan bagi masyarakat
setempat. Masyarakat bisa membuka usaha bisnis di tempat tersebut. Ada yang
bisa membuka tempat jual makanan, transportasi, penginapan, guide, karyawan dan
banyak profesi lainnya.
Namun demikian, ada
juga ancaman yang kerap mengintai jika pihak pengelola tidak bijak dalam
mengelola destinasi wisata tersebut. Biasanya yang kerap terjadi adalah
persoalan lingkungan seperti banyaknya sampah para pengunjung. Demikian juga
daya tahan lingkungan menurun. Ini kalau tidak disikapi segera akan menjadi bom
waktu bagi tempat wisata tersebut.
Di samping itu perilaku
wisatawan yang tak bijak juga mengancam kelestarian tempat wisata itu sendiri.
Tak jarang wisatawan justru melakukan vandalisme di tempat wisata. Banyak obyek
wisata yang dikotori dengan tulisan-tulisan yang merusak pemandangan. Demi
menyenangkan diri, wisatawan tak jarang melakukan tindakan yang merusak ciptaan
di tempat wisata. Misalnya ada yang swafoto dengan merebahkan diri pada
bunga-bunga sehingga bunga-bunga tersebut menjadi rusak. Ada juga wisatawan
yang berenang menunggangi ikan yang berenang di laut. Ikan pun terganggu.
Dalam hal ini, manusia
mengeksploitasi ciptaan demi mencari kepuasan sendiri. Ciptaan yang ada di
tempat wisata hanya menjadi obyek pemuas belaka. Padahal dari ciptaan yang
dapat kita lihat dan rasakan di tempat wisata, kita mengalami hubungan dengan
Sang Pencipta. Kita terkoneksi dengan Pencipta melalui ciptaan-ciptaan-Nya yang
ada di sekitar kita. Pariwisata yang bersifat sementara dan singkat itu bisa
digunakan untuk menemukan cinta Tuhan yang mungkin selama ini tak terasakan
meski sudah kita nikmati karena asyik masyuk dalam berbagai kegiatan
sehari-hari.
Paus Yohanes Paulus II berpesan
dalam Hari Pariwisata Sedunia 2002, tanggal 24 Juni 2002, “pariwisata
memungkinkan kita mempergunakan sebagian waktu senggang kita untuk merenungkan
kebaikan dan keindahan Allah dalam ciptaan-Nya, dan melalui kontak dengan
sesama, membantu meningkatkan dialog dan pengenalan timbal-balik. Waktu
senggang dan pariwisata dengan demikian dapat mengimbangi kurangnya kontak
manusia yang sering dirasakan dalam hidup sehari-hari (no 1).”
Selain untuk
merenungkan kebaikan dan keindahan Allah dalam ciptaan-Nya, Paus Yohanes Paulus
II menegaskan bahwa pariwisata menjadi sarana untuk meningkatkan dialog dengan
sesama. Di sanalah sebenarnya kita bisa kembali merajut dialog-dialog yang
otentik dan mendasar. Apalagi jika yang menjadi subyek dialog adalah warga asli
yang mempunyai budaya tinggi dalam merawat alam dan sepenuhnya bergantung pada
alam.
Namun, permasalahan
yang kerap terjadi juga bukan dari wisatawan, namun dari pihak pengelola yang
tidak mengelola pariwisata dengan baik. Karena hanya mengejar pendapatan
sesaat, mereka mengabaikan kelestarian alam. Mestinya pihak pengelola juga
mendidik para pengunjung supaya mereka pun terlibat dalam melestarikan alam. Selain
pihak pengelola yang merawat alam, para wisatawan dilibatkan dalam
tanggungjawabnya untuk bersama-sama memelihara alam. Jadi, memelihara alam
adalah proyek bersama. Baik pengelola maupun wisawatan harus sama-sama memiliki
etika dalam mengelola dan menikmati alam.
Hal ini juga disinggung
Paus Emeritus Benediktus XVI dalam Pertemuan yang Disponsori Pusat Pariwisata
Kaum Muda dan Kantor Internasional Pariwisata Sosial, 27 September 2008. “Umat
manusia wajib melindungi harta ini dan melawan pemanfaatan sembarangan harta
bumi. Tanpa batas etis dan moral yang memadai, perilaku manusia dapat menjadi
ancaman dan tantangan. Pengalaman mengajarkan bahwa pengelolaan yang
bertanggung jawab atas ciptaan bisa, atau seharusnya, menjadi bagian ekonomi
wisata yang sehat dan lestari. Sebaliknya, pemanfaatan tak pantas atas alam dan
penyalahgunaan yang mendera kebudayaan bangsa setempat juga merusak pariwisata.”
Paus Benediktus XVI
menambahi, “maka, perlulah, terutama dalam konteks pariwisata, seorang
pengeksploitasi alam yang hebat, bahwa setiap orang berkehendak untuk
pengelolaan seimbang atas habitat kita, atas apa yang menjadi rumah kita
bersama, juga rumah bagi mereka yang akan datang sesudah kita. Degradasi
lingkungan hanya dapat diperlambat dengan menyebarkan budaya perilaku yang
tepat, yang memerlukan cara hidup lebih sederhana.”
Paus Benediktus
mengajak kita semua supaya memperhatikan kelestarian alam yang tak hanya bisa
dinikmati generasi saat ini. Namun, hak itu juga dimiliki oleh generasi yang
akan datang. Mereka menjadi pewaris bumi ini. Kesederhanaan lagi-lagi mendapat
perhatian penting untuk memelihara bumi.
Paus Yohanes Paulus II
dalam Hari Pariwisata Sedunia 2002 mengingatkan supaya pengelola merawat
keindahan alam dalam pariwisata dengan baik. “Di antara para wisatawan yang tak
terbilang jumlahnya yang setiap tahun “menjelajah dunia,” ada banyak yang
berangkat dengan tujuan jelas menemukan alam dan menjelajahinya, bahkan sampai ke sudut-sudut
yang terpencil. Label pariwisata yang
cerdas cenderung menampilkan keindahan alam dan mengajak manusia mendekatinya
dengan hormat dan bergembira atasnya, tanpa mengacaukan keseimbangannya. Tetapi
dapatkah disangkal bahwa umat manusia dewasa ini tengah mengalami kedaruratan
ekologis? Pariwisata liar ikut mengakibatkan kehancuran tak diinginkan dan
masih terus mengakibatkannya melalui fasilitas pariwisata yang dibangun tanpa
perencanaan yang memperhitungkan dampak ekologis (no 2).”
Dalam
pariwisata, isu keadilan mestinya juga mendapat prioitas. Yang terjadi di
banyak tempat, meskipun pariwisata dikelola dengan baik dan maju, wisatawan
banyak yang datang, namun penduduk setempat hanya menjadi penonton. Mereka
tidak dilibatkan dalam tata kelola pariwisata di daerahnya. Mereka tidak
mendapatkan sesuatu yang signifikan untuk kehidupan mereka. Yang terjadi adalah
para investor pariwisata dari luar berdatangan. Mereka membuat aneka fasilitas
yang menguntungkan dirinya di tempat itu. Penduduk setempat masih berkutat
dengan kemiskinannya. Bukankah ini sangat mengerikan. Jangan salahkan mereka,
jika pada saatnya mereka bisa merusak citra pariwisata di tempat itu.
Bayangkan, ketika para wisatawan berdatangan membelanjakan uang mereka,
pengelola bergelimangan keuntungan, sementara penduduk lokal tak mendapat
manfaat apapun dari pariwisata tersebut.
Dari
hal itulah mestinya semua pihak dimenangkan. Penduduk setempat mesti bisa
menikmati keindahan alam dan menikmati rejeki dari keindahan tersebut.
Pariwisata mestinya
juga bisa menyampaikan pesan pentingnya dalam memelihara bumi. Maka, dari sana
mestinya bisa dimunculkan pesan-pesan verbal ataupun tindakan konkret terkait
dengan kebijakan pengelolaan pariwisata yang ramah pada bumi. Paus Yohanes
Paulus II berpesan, “Maka dari itu, harus didukung bentuk-bentuk pariwisata yang
menunjukkan respek lebih besar terhadap lingkungan, lebih moderat dalam
mempergunakan sumber daya alam dan lebih solider terhadap budaya setempat.
Bentuk pariwisata seperti ini mengandaikan motivasi etis yang lebih kuat
berdasarkan norma bahwa lingkungan adalah kediaman semua orang dan bahwa harta
benda alam diperuntukan bagi semua yang menikmatinya saat ini dan untuk generasi
yang akan datang (no. 3).
Dengan
memperhatikan semua itu, pariwisata bisa menjadi berkat baik bagi manusia
maupun lingkungan yang indah itu.
Posting Komentar untuk "Pariwisata yang Penuh Berkat"
Kesan/Pesan
Posting Komentar