Sungguh miris, seperti
dilansir surabaya.bisnis.com (16 Mei
2018), Indonesia diberitakan menempati peringkat kedua dengan kategori
banyaknya limbah atau makanan yang terbuang baik food loss maupun food
waste. Dalam laman tersebut, Direktur dan Peneliti bidang Ekonomi
Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Daryanto mengatakan, berkaitan
dengan ketersediaan atau ketahanan pangan, sering kali hanya fokus pada cara
untuk meningkatkan produksi makanan tanpa memikirkan bagaimana mengatasi
tingkat food loss dan food waste. Menurut Arif, food
loss merupakan kehilangan pangan, atau makanan hilang sebelum sampai
di tangan konsumen. Jadi kehilangan yang terjadi saat makanan dalam tahap
pengolahan atau distribusi. Sedangkan food
waste adalah kehilangan yang terjadi pada tahap konsumsi.
Arif menjelaskan, mengenai food loss dan food
waste, berdasarkan data dari FAO, sekitar 1,3 triliun ton makanan hilang
setiap tahunnya di seluruh dunia.
Sedangkan financedetik.com (11
Oktober 2016) merilis kengerian yang sama. Kepala
Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Mark Smulders mengatakan, di Indonesia sendiri,
sebanyak 13 juta metrik ton makanan terbuang setiap tahunnya. "Dengan populasi sekitar 250 juta
penduduk, kebutuhan makanan sekitar 190 juta metrik ton dan total makanan yang
terbuang 13 juta metrik ton," jelas Smulders kepada detikFinance, saat ditemui di kantor perwakilan FAO, Menara Thamrin, Jakarta, Jumat
(7/10/2016). Mestinya makanan yang terbuang sebanyak itu bisa untuk memberi
makan hampir 11% populasi Indonesia, atau sekitar 28 juta penduduk setiap
tahunnya. Angka yang hampir sama dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Mendengar ini, kita bisa membayangkan betapa
mengerikan makanan yang terbuang itu. Dari catatannya, kontribusi besar
terbuangnya makanan disebabkan oleh hotel, restoran, katering, supermarket,
gerai ritel, dan perilaku masyarakat yang gemar tidak menghabiskan sisa
makanannya.
Hal ini sungguh sangat disayangkan. Di tengah
banyaknya orang yang masih kesulitan mengakses pangan, di sisi lain ada yang
begitu tega membuang-buang makanan. Ini perlu mendapat perhatian serius.
Untuk menghindari terbuangnya makanan, ada tiga hal
yang mesti dilakukan. Pertama, mencegah terbuangnya makanan ketika mengonsumsi.
Tentang hal ini tentu akan bersinggungan langsung dengan budaya konsumen itu
sendiri maupun pada rantai distribusi paling akhir. Penghargaan pada makanan
harus menjadi prioritas. Tentu sangat tidak etis, pangan yang sebenarnya
anugerah dari alam hanya dibuang karena konsumen akhir tidak memiliki kearifan
dalam memperlakukan pangan tersebut.
Kedua, mencegah terbuangnya makanan pada saat pendistribusian.
Hal ini menyangkut cara pandang distributor terhadap pangan tersebut. Tentu ini
membutuhkan kearifan tersendiri. Penghargaan pada pangan juga harus dimiliki
oleh pihak distributor. Maka, ia mestinya secara teknis harus bisa menjamin
pangan tidak rusak dalam pendistribusian. Kalau rusak, pangan tersebut tak bisa
dikonsumsi dan akibatnya terbuang percuma. Dalam tahap ini teknis menjaga
kualitas pangan harus mendapat perhatian khusus.
Ketiga, mencegah terbuangnya makanan sejak masa
produksi. Ini yang membuat kita miris. Karena standar pencitraan dan kualitas produk
tertentu, petani-petani kita banyak yang membuang produk pangan sejak dari
lahan pertanian. Mereka akan mengambil ukuran dan kualitas tertentu saja yang
dibutuhkan pasar. Selebihnya hasil panen akan dibuang di lahan pertanian
tersebut. Misalnya, seorang petani yang memanen pisang, dia hanya akan memilih
pisang yang terbaik saja. Lalu, pisang yang dianggap tidak memenuhi kualitas
akan ditinggal di lahan tersebut. Bukankah
ini suatu tindakan yang sama sekali tak menghargai anugerah alam?
Sementara itu, di luar sana, banyak orang berharap
yang penting bisa makan, tak peduli kualitas rasa, ukuran dan sejenisnya. Bisa
makan saja itu sudah suatu anugerah yang disyukuri. Mereka tak peduli kualitas
pangan. Yang penting perut tidak keroncongan.
Melihat data yang telah dilansir di atas, dampak dari food loss dan food waste akan mempengaruhi ketahanan pangan di suatu
negara dan berdampak pada keadilan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Ketika
di satu sisi kelaparan, yang lain membuang-buang makanan. Bukankah ini sangat
ironis. Bagaimana mungkin, ketika yang lain kesusahan mendapat pangan, yang
lain justru membuang-buang pangan.
Untuk mencegah makin parahnya budaya membuang pangan, pemerintah perlu membuat aturan. Misalnya, di beberapa restoran
yang konsumennya mengambil makanan sendiri ditetapkan aturan, setiap konsumen
harus menghabiskan makanan yang diambilnya sendiri. Jika tidak, ia akan dikenai
sanksi berupa denda. Ini hanyalah salah
satu solusi. Namun yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah budaya
mengonsumsi makanan yang berlebihan. Misal, ada sebagian masyarakat yang getol
membuat pesta dengan memesan makanan lebih dari yang dibutuhkan. Akibatnya,
banyak makanan yang terbuang. Mestinya kebutuhan pengadaan makanan pada saat pesta
atau acara perlu dipikirkan secara pasti supaya tidak berlebih. Atau ketika
makanan itu lebih, perlu dipikirkan upaya untuk mendistribusikan makanan yang
berlebih itu kepada yang membutuhkan supaya tidak terbuang sia-sia.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa pangan adalah anugerah yang sangat
berharga. Untuk mendapatkan pangan yang kalau dimakan hanya perlu waktu kurang
dari setengah jam itu, membutuhkan waktu yang sangat panjang. Mari kita mundur
ke belakang, melihat proses petani yang berjuang memproduksi pangan. Ia
mengolah tanah, menyiapkan benih, merawat tanaman dari gangguan, hingga pada
saatnya panen tiba. Proses itu membutuhkan waktu yang amat panjang dan
membutuhkan pengorbanan yang tak sedikit.
Proses produksi pangan atau bertani memproduksi pangan melibatkan banyak
pihak. Di samping kerja sama antar petani (manusia), proses itu juga melibatkan
relasi antar makhluk. Tanaman pada saatnya dibantu penyerbukannya oleh serangga
atau angin. Tanah, air dan cahaya matahari berperan dalam pertumbuhan tanaman
tersebut. Lebih lanjut makhluk-makhluk dalam tanah entah cacing atau mikroba
pun terlibat dalam kesuksesan tanaman tersebut hingga saatnya tiba untuk dipanen.
Dari sisi manusia, keberhasilan bertani hingga saat panenan, menggambarkan
jerih payah seorang petani. Maka, tak heran jika ada yang memberi perumpamaan,
setiap butir nasi bagaikan tetesan keringat petani yang bekerja dengan penuh
kesabaran. Maka, membuang-buang makanan yang adalah hasil kerja keras seorang
petani adalah penghinaan pada petani yang telah bersusah payah membudidaya
tanaman pangannya. Maka, habitus baru untuk menghargai pangan harus ditanamkan.
Budaya membuang-buang makanan juga mendapat perhatian serius
dari Paus Fransiskus. Seperti dilansir Kompas.com (6 Juni 2013), pada saat
menyampaikan kotbah tentang hari Lingkungan Hidup Sedunia, Paus Fransiskus mengecam
kebiasaan membuang makanan. "Budaya
membuang makanan membuat kita kehilangan sensitifitas. Kebiasaan ini sangat
menjijikkan di saat banyak orang dan keluarga di seluruh dunia masih kelaparan
dan kekurangan gizi," kata Paus Fransiskus. Menurutnya, dulu, nenek moyang
kita sangat berhati-hati terhadap makanan dan tak pernah menyisakan makanan
yang disantap. Konsumerisme membuat kita terbiasa melihat sisa makanan yang
dibuang, yang menurut kita tak bernilai.
"Membuang makanan tak ubahnya mencuri
makanan dari meja orang miskin dan kelaparan," Paus menegaskan. Tentang
budaya membuang makanan pun diulangi lagi olehnya di Ensiklik Laudato Si’, “...kita
tahu bahwa kurang lebih sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi
terbuang, dan setiap kali makanan terbuang, makanan itu seolah-olah dicuri dari
meja orang miskin” (LS 50).
Maka, mulai saat ini, hentikan kebiasaan buruk
membuang makanan. Makanlah secukupnya!
Sumber:
1.
http://surabaya.bisnis.com/read/20180516/220/795481/indonesia-nomor-dua-dalam-hal-buang-buang-sampah-makanan
(diakses tanggal 24 Mei 2018, pukul 19.27)
2.
https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-3317570/13-juta-ton-makanan-terbuang-percuma-di-ri-setiap-tahun
(diakses tanggal 24 Mei 2018, pukul 19.37)
3. https://nasional.kompas.com/read/2013/06/06/21145760/Paus.Fransiskus.Kecam.Kebiasaan.Membuang.Makanan. (diakses tanggal 27 Juni 2018 pukul 22.00)
Posting Komentar untuk "Membuang Makanan adalah Merampok dari Meja Orang Miskin"
Kesan/Pesan
Posting Komentar