Adalah Gunretno, seorang tokoh komunitas Sedulur Sikep di daerah Kudus. Selama ini bersama masyarakat dari berbagai latar belakang terutama petani di sekitar pegunungan Kendeng dan jejaringnya teguh menolak pendirian pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng.
            Ia tidak ingin alam ciptaan di kawasan pegunungan Kendeng rusak oleh keberadaan pabrik semen. Keberadaan pabrik semen dikhawatirkan bisa merusak cadangan air yang selama ini memberi kontribusi positif pada pertanian. Masyarakat di kawasan pegunungan Kendeng banyak yang menjadi petani. Dunia pertanian telah menyediakan pangan tidak hanya untuk petani dan keluarganya, namun juga untuk mereka yang berprofesi lain.
Gunretno meyakini dirinya sebagai bagian dari komunitas Sedulur Sikep dan warganya hanya hidup dengan cara bertani. Bertani adalah hidupnya. Dengan bertani, maka Gunretno dan komunitasnya sangat bergantung pada kebaikan alam. Karena telah mendapat kebaikan alam, mereka pun terpanggil untuk melestarikan alam. Bukan hanya untuk saat ini, namun semua juga demi anak-cucu yang sedang dibesarkan dan yang akan lahir. Gayung bersambut. Kesadaran dan gerakan untuk melestarikan alam ciptaan di kawasan pegunungan Kendeng pun disambut dan didukung masyarakat petani di sekitarnya. Bahkan tak hanya petani, masyarakat yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan pun turut mendukung gerakan tersebut.

Yang menarik, cara perjuangannya tidak memakai jalan kekerasan. Bagi Gunretno siapapun dianggap sedulur (saudara), pun bagi mereka yang selama ini merusak alam ciptaan. Mereka adalah sedulur yang belum sadar akan pentingnya kelestarian alam ciptaan. Maka, komitmen perjuangannya  dalam melestarikan alam ciptaan adalah anti kekerasan. Memang, perjuangan melestarikan alam ciptaan adalah perjuangan menegakkan budaya kehidupan, baik relasi dengan alam ciptaan maupun dengan sesama manusia.
Kesadaran akan pentingnya melestarikan alam ciptaan ditempuh dengan menghidupi budaya pertanian. Tradisi wiwit, lamporan, kesenian lesung dan banyak lainnya dihidupi dengan melibatkan banyak orang. Tembang-tembang berisi ajakan untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga alam dinyanyikan.
Ibu Bumi wis maringi (Ibu Bumi sudah memberi)
Ibu Bumi dilarani (Ibu Bumi disakiti)
Ibu Bumi kang ngadili (Ibu Bumi yang mengadili)
Itu adalah salah satu contoh tembang singkat yang  biasa dinyanyikan Gunretno bersama masyarakat yang berjuang untuk kelestarian ciptaan. Bahwa bumi yang selama ini memberi kehidupan kalau disakiti akan memberi pengadilan pada kehidupan manusia berupa bencana ekologis. Ada relasi kausalitas antara manusia dengan alam ciptaan di sekitarnya.
Cerita ini hanyalah salah satu contoh dari kisah komunitas-komunitas lokal yang berkomitmen untuk melestarikan alam ciptaan yang dibarengi dengan gerakan tanpa kekerasan. Ada tokoh-tokoh lain di banyak tempat yang melakukan hal tersebut. Chico Mendes di Brasil dikenal bersama komunitasnya melindungi hutan hujan tropis Amazone. Vandana Shiva di India dikenal dengan gerakan peluk pohon (Chipko) untuk mencegah penebangan hutan. Komunitas Kanekes atau Baduy di daerah Banten pun melakukan gaya hidup yang melestarikan alam dan lekat dengan pertanian.
Inspirasi dan kesadaran untuk melestarikan alam dari komunitas-komunitas lokal ini patut untuk dipelajari dan dihidupi. Ada semangat yang sama untuk menjaga ibu Bumi. Mereka memiliki kearifan lokal dalam mengelola alam ciptaan demi melestarikan kehidupan mereka. Semangat untuk menjaga bumi tetap relevan sepanjang masa dan sepanjang manusia bergantung pada alam ciptaan.
            Paus Fransiskus sungguh sadar akan kontribusi komunitas-komunitas lokal yang menghidupi semangat untuk menjaga lingkungan. Hal itu ditegaskannya dalam ensikilik Laudato Si’. “Kita harus memperhitungkan sejarah, budaya dan arsitektur lokal, untuk mempertahankan identitas aslinya. Maka ekologi juga berarti melestarikan kekayaan budaya umat manusia dalam arti yang luas. Secara khusus, kita dituntut untuk memberi perhatian kepada budaya lokal, ketika mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan, sambil mendukung dialog antara bahasa ilmiah-teknis dan bahasa rakyat. Inilah budaya, bukan hanya dalam arti monumen masa lalu, tetapi terutama dalam artinya yang hidup, dinamis, dan partisipatif, yang tidak dapat dikesampingkan ketika kita memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan. (LS 143).”
            Paus Fransiskus berharap, kita memiliki kepedulian, mau belajar dan menjali kemitraan dengan komunitas-komunitas lokal yang secara nyata telah menjaga lingkungan. “Dalam arti ini, amat penting memberikan perhatian khusus kepada masyarakat adat dan tradisi budaya mereka. Mereka bukan hanya suatu minoritas di tengah yang lain, tetapi mereka harus menjadi mitra dialog utama, terutama ketika dikembangkan proyek-proyek besar yang mempengaruhi wilayah mereka. Memang, bagi kelompok-kelompok ini tanah bukan harta ekonomis, tetapi pemberian dari Allah dan dari para leluhur yang dimakamkan di situ, ruang sakral yang mereka butuhkan untuk berinteraksi demi mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka. Ketika mereka tinggal di wilayah mereka, justru merekalah yang melestarikannya dengan paling baik. Namun, di berbagai belahan dunia, mereka berada di bawah tekanan untuk meninggalkan tanah mereka dan melepaskannya untuk proyek-proyek pertambangan serta proyek-proyek pertanian dan perikanan yang tidak memperhatikan kerusakan alam dan budaya. (LS 146)”
            Narasi para tokoh yang telah disebut sebelumnya dalam tulisan ini menunjukkan bahwa mereka berada dalam latar belakang eksploitasi, mental pembangunan yang tak berpihak dan paradigma teknokratis yang dominan yang berujung pada ancaman kehidupan. Itu semua juga bisa mengancam pada budaya sebuah komunitas yang sudah lama dihidupi. “Banyak bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan yang sangat intensif tidak hanya menguras sumber daya setempat, tetapi juga melemahkan kemampuan sosial yang telah mendukung suatu cara hidup yang sejak lama memberi identitas budaya serta makna hidup dan bermukim bersama. Hilangnya satu budaya dapat sama serius atau lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang. Pemaksaan gaya hidup yang dominan terkait dengan cara produksi tertentu dapat membawa kerugian sama besar seperti perubahan ekosistem. (LS 145)”. Inilah yang secara sadar dilawan oleh para tokoh tersebut.
Masyarakat adat yang telah teruji sangat peduli untuk menjaga lingkungan sebenarnya menghidupi semangat kesatuan dengan semesta. Ini pula yang sebenarnya pantas untuk dilihat kembali ketika manusia zaman sekarang justru tercerabut dari lingkungannya.
Thomas Berry dalam Kosmologi Kristen melihat kesatuan antara manusia dengan semesta. “Kesatuan di alam semesta dapat dilihat dalam begitu banyak ritual yang biasa dilakukan oleh berbagai suku asli di seluruh planet, sebagaimana juga (dapat dilihat) pada masyarakat berkultur pertanian tradisional, khususnya di masa-masa awal pembentukan mereka. Kegiatan budaya manusia di seluruh tahap-tahapnya dapat dilihat keasliannya dengan memasukkan ritual ke dalam rangkaian musim-musim di mana bumi senantiasa diperbarui. (hal. 175).”
            Mengingat semangat yang sama antara masyarakat lokal-tradisional dengan Gereja, maka baik kalau bisa saling meneguhkan, saling menimba inspirasi dan metode bahkan membangun kerja sama yang lebih nyata. Kepada kaum kristiani, Santo Yohanes Paulus II melalui Pesan hari Perdamaian Sedunia tahun 1990 “Perdamaian dengan Allah, Perdamaian dengan Seluruh Ciptaan” menegaskan tentang landasan iman pelestarian alam dan kerja sama dengan berbagai pihak. “Pada khususnya, kaum kristiani menyadari bahwa  tanggung jawab mereka dalam ciptaan dan kewajiban mereka terhadap alam dan Pencipta merupakan bagian hakiki dari iman mereka. Akibatnya, mereka sadar akan luasnya bidang kerjasama ekumenis dan antaragama yang terbentang di depan mereka. (no. 15).” Sudah jelas, bahwa peduli pada ibu Bumi mesti dilakukan melalui kerja sama dengan banyak pihak yang bersama-sama mendiami rumah bersama ini.



Post a Comment

Kesan/Pesan