Wayang Kancil yang menceritakan tentang ajakan melestarikan alam

Ketika alam ciptaan dirusak dengan alasan kesejahteraan, ada manusia atau makhluk lain yang sebenarnya kehilangan kesempatan hidup dengan baik. Terlebih jika upaya itu dilakukan dengan tidak adil sama sekali. Akan ada korban yang menjerit, terlebih kaum miskin yang selama ini betapa terbatasnya mengakses hak hidupnya.
       Betapa tidak? Ketika lingkungan alam tertentu yang selama ini menjadi sumber hidup masyarakat karena di sana tersedia sumber pangan dan pendukungnya, tiba-tiba diusik bahkan dirampas hanya untuk sebuah kepentingan korporasi besar yang dengan pongahnya merusak tempat tersebut untuk dijadikan tempat usaha baru, sejak itulah penderitaan muncul. Masyarakat yang biasa menggantungkan hidupnya di sana terancam kehilangan sumber pangan. Lebih dari itu budaya yang dihidupi secara turun temurun pun terusik. Kemiskinan datang menyergap. Ada yang sangat kaya karena mengambil terlalu banyak. Sebaliknya ada yang sangat miskin karena mereka tidak bisa mengakses kekayaan alam tersebut. Di sinilah ketidakadilan terjadi.
            Bagaimana mungkin antarmanusia bisa hidup bersama jika berada dalam situasi tidak adil? Ada yang menjadi penghisap, ada yang dihisap. Ada yang mendapat sangat banyak, ada yang hanya mendapat remah-remah saja. Dalam rumah yang sama yakni bumi yang sudah menyediakan semuanya untuk kehidupan, masih saja ada orang yang mengambil amat banyak seraya menyingkirkan yang lain. Tidak hanya yang berada dalam angkatan generasinya, namun generasi berikutnya pun terancam kehidupannya.

            Rusaknya alam ciptaan atas nama apapun sebenarnya merupakan gambaran moral manusia yang ada bersamanya. Tak hanya pada alam lingkungannya sendiri tetapi juga pada sesama manusia yang semestinya sama-sama menjadi subyek yang dijaga.
           Santo Yohanes Paulus II melalui Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 1990, “Perdamaian dengan Allah Pencipta, Perdamaian dengan Seluruh Ciptaan”, menegaskan bahwa krisis ekologis adalah tema moral.
            Menurutnya, krisis ekologis membuka kebutuhan moral mendesak akan solidaritas baru.... Negara harus makin berbagi tanggung jawab, secara komplementer, untuk perkembangan lingkungan alam dan sosial yang damai dan sehat (no.10).
            Lebih lanjut, Paus Santo Yohanes Paulus II mengingatkan dalam pesan tersebut. Masyarakat modern tak akan menemukan pemecahan masalah ekologis kalau tidak memperhatikan gaya hidupnya secara serius. Di banyak bagian dunia ini masyarakat tunduk kepada pemuasan instan serta konsumerisme, dan tetap acuh tak acuh terhadap kerugian yang diakibatkannya. Seperti sudah saya katakan, keseriusan masalah ekologis membuka kedalaman krisis moral manusia. Apabila penghargaan terhadap nilai pribadi manusia dan hidup manusia tiada, maka kita kekurangan perhatian terhadap sesama manusia dan bumi sendiri. Kesederhanaan, pengendalian diri dan disiplin demikian pula semangat berkorban, harus menjadi bagian hidup sehari-hari, agar jangan semua menderita konsekuensi negatif atas kebiasaan sembarangan sedikit orang (no. 13).
            Dalam hidup ini, ada keterhubungan antar satu dengan yang lain dan masing-masing mempunyai pengaruh terhadap keberadaan yang lain. Maka, terganggunya satu ciptaan akan mengakibatkan terganggunya ciptaan yang lain. Rusaknya alam ciptaan juga menjadi ancaman kehidupan manusia.  
Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato Si’  juga menegaskan keterkaitan antara krisis lingkungan dengan krisis sosial. “Tidak ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan dan yang lain sosial. Hanya ada satu krisis sosial-lingkungan yang kompleks. Pedoman untuk solusi membutuhkan sebuah pendekatan integral untuk memerangi kemiskinan, memulihkan martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam” (LS 139). 
Mau tidak mau, jika ingin hidup baik di bumi yang adalah rumah bersama, maka perhatian pada alam ciptaan dan manusia mesti menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya terajut dalam relasi timbal balik. Ini mesti menjadi cara hidup manusia apapun latar belakangnya. Mulai dari individu, lembaga agama, Gereja, korporasi, maupun Negara mesti mempunyai visi kesatuan keselamatan lingkungan dan sosial.
Terkhusus untuk korporasi dan pemerintah, sudah saatnya untuk membangun komitmen tinggi bahwa pembangunan mesti memenangkan dua aspek keselamatan lingkungan dan keselamatan manusia. Keduanya tidak boleh saling menegasikan.
Demikian pula korporasi, tanpa harus menekan keuntungan, keselamatan lingkungan dan manusia mesti menjadi visi korporasi yang tegas. Masing-masing harus berimbang, jika memang korporasi mau menjaga martabat hidup manusia.
Selain pemerintah dan korporasi, pada tingkatan individu yang pada akhirnya juga beraktivitas di berbagai lembaga atau Gereja pun pun mestinya memiliki kesadaran integral akan keselamatan lingkungan dan sesama.
Santo Yohanes Paulus II menegaskan, dewasa ini krisis ekologis mencapai proporsi sedemikian besar sehingga merupakan tanggung jawab setiap orang..... Pada khususnya, kaum kristiani menyadari bahwa tanggung jawab mereka dalam ciptaan dan kewajiban mereka terhadap alam dan Pencipta merupakan bagian hakiki dari iman mereka. Akibatnya, mereka sadar akan luasnya bidang kerja sama ekumenis dan antaragama yang terbentang di depan mereka (no. 15).






Post a Comment

Kesan/Pesan