Sekian lama hidup di muka bumi, manusia kerap begitu saja melewatkan bumi dan alam ciptaan yang ada di sekelilingnya. Semua dianggap sebagai hal yang amat biasa. Ketika berjumpa dalam kenyataan tersebut, manusia melihatnya hanya sambil lalu. Dan pada obyek-obyek tertentu yang dianggap memberikan keuntungan dalam hidupnya, manusia justru mengeksploitasinya alih-alih menjaganya.

       Manusia mengambilnya demi kepentingannya yakni untuk menumpuk kekayaan dan keuntungan dari alam ciptaan. Bahkan ada yang mengambil terlalu banyak, sehingga orang-orang lain yang juga hidupnya bergantung pada kekayaan alam tersebut pun harus tersingkir. Hingga akhirnya terjadi konflik perebutan sumber daya alam. Yang satu menguasai dengan serakah. Sementara itu, di pihak lain, ada yang tak bisa mengakses kekayaan alam tersebut.
Bumi dan alam ciptaan hanya dianggap sebagai komoditas belaka. Maka dari itu, manusia pun mengeksploitasinya sedemikan rupa hingga semuanya benar-benar terhisap. Bumi dan ciptaan menjadi obyek yang hanya dijadikan sebagai pemuas kebutuhan manusia yang tanpa batas. Akibat dari semua itu, bumi dan ciptaan hanya  dianggap sebagai instrumen pemuas kebutuhan saja. Tak ada dimensi spiritual di dalamnya. Ini sungguh ironi, ketika masyarakat kita menjadi masyarakat yang beragama yang mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Hal senada ditegaskan Thomas Berry dalam Kosmologi Kristen, kita telah menjadi begitu terbiasa memandang alam dengan cara ilmiah dan menggunakan ukuran nilai ekonomis hingga kita sulit menyadari bahwa kita telah menjadi acuh tak acuh terhadap dimensi spiritual alam semesta (hal 146).

            Meski rajin berdoa, tempat-tempat ibadah banyak dibangun, berbagai acara rohani digelar, bumi dan alam ciptaan tetap dilanda kerusakan yang mengerikan. Kerusakan itu bahkan mengancam bumi dan alam ciptaan serta juga mengancam manusia.
            Dalam hal ini terasa bahwa agama sepertinya tidak menjadi inspirasi yang menggerakkan manusia yang memeluknya untuk menjadikan bumi dan ciptaan sebagai sarana kesalehan. Manusia yang mengaku memeluk agama kerap lebih mencari keselamatan dirinya untuk masuk surga, bahkan itu pun dilakukan dengan cara yang cukup egois, dilakukan dengan caranya yang kadang menyingkirkan orang lain.
            Keselamatan seolah hanya menjadi monopoli bagi dirinya. Yang penting dirinya masuk surga, orang lain tak dipedulikan. Karena hanyut dalam ambisi itu, jangankan keselamatan bumi dan ciptan, sesama manusia pun diabaikan.
            Padahal kalau mau merunut lebih jauh, tempat atau media untuk berbuat kebaikan adalah bumi dan ciptaan yang ada di muka bumi. Tanpa mereka, kita akan mengalami kesulitan untuk berbuat baik. Bahkan mengidentifikasi perbuatan baik atau jahat pun sangat sulit. Karena semua itu memang bisa terjadi bukan di tempat kosong, namun dalam ruang perjumpaan dengan ciptaan yang lainnya. Semuanya berada dalam relasi yang pada saatnya itu bisa disebut relasi yang baik atau yang jahat, yang kemudian bisa dipercaya untuk menentukan seseorang bisa masuk surga atau tidak.
            Kalau bumi seisinya diciptakan oleh Pencipta, sedangkan  manusia selama ini menyembah Sang Pencipta mestinya manusia menghargai ciptaan-Nya. Namun yang terjadi sungguh ironis. Ketika menyembah Sang Pencipta, kita juga merusak ciptaan-Nya. Ini dua hal yang sebenarnya tidak bisa didamaikan. Namun, ini benar-benar terjadi.
            Ketika ciptaan hanya dilihat sebagai instrumen pemuas kebutuhan manusia yang tiada batas, selama itu pula tidak ada penghargaan terhadap ciptaan meskipun itu semua adalah karya agung Sang Pencipta yang mesti kita syukuri, kagumi dan kita anggap suci.
Seperti yang ditulis oleh William Chang, OFMCap dalam Jiwa Kosmis Fransiskus Assisi, Santo Fransiskus Assisi telah menunjukkan dan melakukan relasi yang penuh penghargaan kepada ciptaan Tuhan. Relasi horizontal Fransiskus dengan makhluk ciptaan terjadi dalam konteks vertikal, yang terarah kepada Yang Transenden dan Imanen. Pertemuan Fransiskus dengan makhluk ciptaan mengingatkannya kepada Pencipta, karena keberadaan ciptaan mencerminkan cinta kasih dan kehadiran Allah.  (hal. 23).
Mestinya, perjumpaan dengan ciptaan mampu menghantar perjumpaan dengan Tuhan. Dengan melihat ciptaan, manusia bisa melihat wajah keagungan Tuhan yang tecermin dalam ciptaan itu. Dari hal itulah, manusia bisa menangkap kesucian ciptaan Tuhan.
Thomas Berry menegaskan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebanyakan kita tidak lagi (merasa) hidup dalam alam semesta yang dipandang sakral. Kurangnya konteks yang sakral akan eksistensi kita menyebabkan kita terasing dari dan bahkan bersifat antagonistis terhadap alam. Kita mengalami dunia sekitar sekadar sebagai koleksi “sumber daya alam” yang dieksploitasi secara ekonomis atau sekadar  sebagai “lingkungan sekitar” manusia. Pengalaman kita akan alam semesta sebagai wujud realitas ilahi sendiri agar dipahami manusia, hampir hilang secara total. (hal 146-147).
            Kalau disadari lebih sungguh, bumi sebenarnya menjadi media untuk merajut relasi kebaikan antar satu dengan yang lainnya. Bayangkan tak ada bumi, tak ada apa-apa yang bisa menjadi subyek kebaikan antar satu dengan yang lainnya. Dan banyak ciptaan yang bisa menjadi inspirasi dan pelajaran untuk berbuat baik dan berbagi. Semua kehidupan di atas bumi berasal dari dan melalui mekanisme yang terjadi di bumi.
            Mgr Samuel Otong Sidin, OFM.Cap pada hari studi Sidang Sinodal KWI, 5-7 November 2012 menulis, sampai sekarang bumilah satu-satunya rumah tempat tinggal kita. Meskipun sudah ada usaha-usaha untuk meneliti berbagai planet, namun yang sudah jelas terbukti hanya bumi sebagai tempat tinggal manusia.
            Bumi, menurut Mgr Samuel Otong Sidin, mempunyai aturan permainan. Makluk-makhluk tak berakal budi dan semua yang ada dalam kesatuan dengannya terikat pada hukum alam yang bagi orang beriman diyakini berasal dari Sang Pencipta.
            Manusia pun berada dalam ikatan hukum alam tersebut. Semua tindakan yang dilakukan manusia berimplikasi baik langsung maupun tidak langsung pada bumi dan ciptaan yang mendiaminya. Maka dari itu, manusia dituntut untuk bijaksana ketika hadir di bumi ini, hidup bersama dengan ciptaan-ciptaan lain yang terikat dalam relasi kehidupan.
            Berada di bumi sebenarnya berada dalam altar kehidupan yang terarah kepada Sang Pencipta. Maka, ketika berada di bumi, manusia berada dalam nuansa suci bersama ciptaan-ciptaan lainnya. Mereka merayakan sucinya kehidupan dalam komunitas kehidupan yang diikat dalam hukum alami yang ditetapkan oleh Pencipta.
            Santo Fransiskus memandang ciptaan sebagai sakramen yang menunjukkan tanda kehadiran Sang Pencipta. Maka, ia berhasil memandang Tuhan melalui ciptaan-Nya. Ia mampu bersyukur atas karunia itu.
            William Chang, OFMCap dalam Jiwa Kosmis Santo Fransiskus Assisi menegaskan hal ini. Seperti Agustinus, demikian juga Fransiskus berpendapat bahwa Allah bisa ditemukan melalui ciptaan-Nya yang memenuhi kosmos. Kosmos tidak hanya bernilai  profan, tapi juga sakral. Sekalian makhluk hidup menjadi sakramen Sabda Ilahi yang menunjuk kepada pribadi ilahi dan Fransiskus menerima segalanya sebagai wahyu Allah dalam ciptaan-Nya. Segala kenyataan merupakan simbol yang menunjukkan kehadiran si Pencipta (hal. 35).
            Jadi, ciptaan bukanlah ciptaan yang biasa yang tiba-tiba datang. Demikian pula, bukan  bagian-bagian tertentu yang sebenarnya dianggap suci dari bumi ini, menurut kacamata agama. Namun, keseluruhan bumi dan ciptaan yang ada besertanya dan melingkupinya merupakan kenyataan yang suci. Karena semua itu diciptakan Allah yang suci yang terajut dalam komunitas kehidupan dengan hukum ilahi-Nya.
           
           
           


Post a Comment

Kesan/Pesan