Kita kerap mendengar, ada nelayan yang mengeluh karena tangkapan ikan turun. Ternyata ikan-ikan berkurang karena banyak yang mati akibat tercemar limbah berbahaya. Akibat turunnya tangkapan ikan, nelayan memperoleh pendapatan yang sedikit. Padahal, menjadi nelayan adalah pekerjaan utamanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan turunnya pendapatan, mereka tak bisa memberi nafkah untuk keluarganya dengan baik.
Hal serupa juga terjadi ketika di daerah dataran tinggi terjadi penambangan yang harus merusak hutan. Sebelumnya para petani bisa mengakses air untuk pertanian mereka dengan lancar. Panenan melimpah. Mereka bisa menggantungkan hidupnya dari pekerjaannya sebagai petani. Namun sayang, sejak ada perusahaan tambang yang tetap bersikeras untuk menancapkan kuku usahanya meski sudah ditengarai akan merusak lingkungan, aliran air berkurang. Akibatnya, sawah ladang tak teraliri air dengan cukup. Panenan tak menggembirakan. Sebaliknya, ketika musim hujan, air datang tak terbendung membanjiri sawah-ladang. Lagi-lagi panenan tak menggembirakan, bahkan gagal. Dia terancam menjadi miskin.

Suatu ketika, para petani protes karena sungai yang biasa mengairi sawah-sawah mereka dipenuhi plastik dan sampah-sampah padat tak terurai. Mereka protes karena sampah-sampah itu mengotori sawah-sawah mereka dan mengganggu lahan yang mereka tanam. Mereka meminta supaya masyarakat tak lagi membuang sampah-sampah plastik dan padat lainnya di sungai yang bisa merusak sawah-sawah mereka. Kalau hal itu tidak diperhatikan maka, mereka terancam merugi karena bisa gagal panen.
Masyarakat di sekitar industri yang terpapar emisi gas beracun pun tak bisa berbuat banyak karena mereka tidak bisa melakukan apapun. Dalam kemiskinannya, mereka hanya mencoba berdamai dengan lingkungan yang rusak meski kesehatannya harus terancam.
Empat kasus ini hanyalah sedikit kasus dari seabrek kasus kerusakan lingkungan hidup yang berpotensi menimbulkan kemiskinan. Ada kaitan erat antara lingkungan hidup dan kehidupan sosial ekonomi. Lingkungan hidup yang baik memungkinkan manusia bisa berekonomi dengan baik. Sebaliknya, lingkungan hidup yang rusak mengancam perekonomian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang-orang miskin adalah kaum yang rentan ketika menghadapi kerusakan lingkungan hidup. Mereka mengalami kesulitan untuk menghindari risiko karena minimnya kemampuan mereka menghindar dari bahaya kerusakan lingkungan tersebut. Banyak nelayan tradisional tidak punya ketrampilan lainnya selain menjadi nelayan. Sehingga mereka hanya bisa bertahan seadanya. Demikian pula ketika orang-orang miskin terkena bencana ekologis akibat ulah manusia. Bisa jadi mereka kesulitan untuk mencari tempat yang lebih aman karena harta benda mereka yang sedikit dan turut raib seiring bencana tersebut tidak memungkinkan untuk mencari tempat yang aman.
Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar bantaran sungai atau pantai yang terpapar limbah berbahaya pun tak bisa berbuat banyak karena mereka tidak mempunyai tempat lain untuk pindah dan mengadu nasib. Ketika sungai dan air sumur mereka tercemar pun mereka tak bisa berbuat banyak. Bisa jadi mereka tidak mampu membeli air bersih, sehingga mereka hanya bisa minum air yang bisa mereka dapat.
Akan lain nasibnya dengan orang kaya. Ketika mereka menghadapi bencana atau kerusakan lingkungan hidup, dengan mudahnya mereka berpindah. Mereka bisa juga membeli air bersih kalau airnya tercemar. Mereka masih punya cadangan harta yang bisa untuk membeli makanan ketika gagal panen. Singkat kata daya survive mereka lebih tinggi dibanding orang-orang miskin.
Gambaran semua itu sebenarnya mau menegaskan bahwa orang-orang miskin sungguh rentan menghadapi kerusakan alam. Mereka adalah sekelompok orang yang rawan terdampak bahaya kerusakan alam. Mereka dan siapapun sebenarnya sangat bergantung pada kebaikan alam. Namun, orang miskinlah yang paling rentan.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menunjukkan kerentanan orang-orang miskin dalam menghadapi kerusakan lingkungan hidup. Polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini (LS 20). Banyak orang miskin tinggal di wilayah-wilayah yang paling dipengaruhi oleh pelbagai gejala yang terkait dengan pemanasan bumi, sementara penghidupan mereka sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa ekosistem seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan. Mereka tidak memiliki sumber keuangan atau sumber daya lain yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim atau menghadapi bencana alam, dan akses mereka memperoleh perlindungan dan pelayanan sosial sangat terbatas (LS 27).
Demikian juga berkaitan dengan air, masalah sangat serius adalah kualitas air yang tersedia bagi orang miskin yang menyebabkan banyak kematian setiap hari. Penyakit yang berhubungan dengan air, banyak ditemukan di antara mereka, termasuk yang disebabkan oleh mikro-organisme dan zat kimia (LS 29).
Padahal makhluk hidup termasuk manusia sangat membutuhkan air. Air tidak hanya untuk sekadar hidup, namun air mestinya bisa mendukung hidup makhluk hidup dan manusia supaya semakin lebih baik. Bahkan air, menjadi sarana untuk berbudaya dan beragama.
Karena tercerabutnya orang-orang miskin dari haknya mengakses air, dengan tegas, Paus Fransiskus mengatakan, dunia kita mempunyai utang sosial yang serius kepada orang miskin yang tidak memiliki akses ke air minum, karena mereka tidak diberi hak untuk hidup sesuai dengan martabat yang tak dapat dicabut dari mereka (LS 30).
Bumi atau lingkungan yang rusak menjadi tangisan atau penderitaan bagi orang-orang miskin. Yang merusak bumi tidak hanya orang-orang kaya dengan segala sistem dan perangkat kapitalismenya yang mengeksploitasi manusia maupun alam ciptaan. Hal itu sangat mudah dilihat dalam praktik-praktik usaha yang hanya mengejar keuntungan semata. Alih-alih memperhatikan keselamatan manusia dan bumi, mereka justru semakin mengumbar nafsu serakahnya menghisap baik kekayaan bumi maupun martabat manusia.
Namun, sadar atau tidak, perusakan bumi juga dilakukan oleh orang-orang miskin sendiri entah karena tidaktahuannya atau kondisi yang membuatnya melakukan itu semua. Banyak limbah dan sampah rumah tangga yang keluar dari orang-orang miskin yang turut merusak bumi ini.
Jadi sebenarnya, siapapun bisa mempunyai adil terhadap perusakan bumi ini. Namun, korban yang paling rentan akibat bumi yang rusak adalah kaum miskin. Ini mestinya membutuhkan perhatian dan kesadaran sendiri.
Penderitaan bumi adalah penderitaan orang miskin. Maka, untuk melawan penderitaan, manusia mesti memiliki kepedulian pada bumi. Karena manusia tinggal di bumi ini bersama sesamanya dan makhluk-makhluk lainnya yang terlibat dalam relasi kehidupan. Masing-masing makhluk hidup dari bumi yang sama dan saling menghidupi. Demi terjaminnya kehidupan, maka kita dipanggil untuk mencintai bumi. Mencintai bumi juga mencintai makhluk yang mendiaminya dan terutama kaum miskin.
Persoalan ekologi sebenarnya amat terkait dengan persoalan sosial. Permasalahan sosial juga bergantung pada persoalan ekologi. Permasalahan ekologi misalnya perusakan alam ciptaan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kehidupan sosial dan keadilan sesama manusia.
Paus Fransiskus mengingatkan, tetapi hari ini, kita mau tak mau harus mengakui bahwa pendekatan ekologis yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yang harus mengintegrasikan soal keadilan dalam diskusi lingkungan hidup, untuk mendengarkan jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin (LS 49).
Thomas Berry dalam Kosmologi Kristen menulis, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Tidak ada dua dunia; dunia manusia dan dunia bagi makhluk-makhluk lain. Hanya ada satu dunia. Sejalan dengan mati hidupnya bumi, kehidupan manusia pun ditentukan sepenuhnya oleh keberadaannya (hal 113).

Maka, jelas panggilan kita sebagai manusia, warga bumi adalah untuk mencintai bumi. Sebab dengan mencintai bumi, kita mencintai manusia bahkan orang miskin. Maka, sebenarnya, membela bumi juga membela orang miskin.

Post a Comment

Kesan/Pesan