Mendengar kabar tentang air akhir-akhir ini, muncul keprihatinan di hati kita. Mulai dari kekeringan, air yang tercemar, maupun bencana banjir yang datang tiap tahun semakin mengusik perhatian kita akan pentingnya manusia menjaga alam ciptaan khususnya yang berkenaan dengan air. Namun pada kenyataannya sudah sejauh mana manusia menjaga anugerah Tuhan dalam alam ciptaan itu?
Manusia seakan lupa, bahwa air adalah sumber kehidupan. Semua hal-ikhwal kehidupan dalam suatu komunitas kehidupan sungguh bergantung pada air. Air menjadi hal pokok dalam menyelenggarakan kehidupan, baik untuk minum manusia maupun hewan, maupun sebagai sarana fotosintesis pepohonan yang pada akhirnya bisa menghasilkan oksigen yang menjamin kelangsungan hidup makhluk hidup.
Di samping untuk menjamin kehidupan fisik makhluk hidup, air juga menjadi pusat peradaban, misalnya sungai. Dalam perkembangannya, banyak manusia yang tinggal di sekitar sungai karena sungai memungkinkan kehidupan pertanian, perikanan maupun perdagangan yang kerap juga bersambungan dengan laut. Sungai juga menjadi tempat mengekspresikan spiritualitas keagamaan. Masyarakat Hindu di India memakai sungai Gangga sebagai sarana keagamaan mereka. Yohanes pemandi pun menjadikan sungai Yordan sebagai tempat pemandian-pembaptisan bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan Yesus dipermandikan di sungai tersebut oleh Yohanes.

Namun, bicara tentang air adalah hal yang sungguh memprihatinkan ketika kita menengok sungai. Ada beraneka ragam sampah yang masuk ke sungai. Sungai menjadi tempat sampah raksasa.
Bahkan sungai-sungai yang menjadi situs-situs suci keagamaan pun tak terhindarkan dari berbagai kerusakan. Sungai Yordan sebagaimana dilansir antaranews.com, telah mengalami perubahan yang yang signifikan. Sungai yang sangat terkenal itu telah berubah jadi saluran-air kecil di sebelah selatan laut Galilea. Sungai tersebut diporak-porandakan oleh eksploitasi yang berlebihan, polusi dan kurangnya pengelolaan regional, kata Friends of the Earth, Middle East (FoEME), di dalam satu laporan. (http://www.antaranews.com/berita/185402/sungai-jordan-mulai-tahun-depan-tinggal-sejarah).
Hal itu sungguh berbeda dengan kondisi pada pada 1847 ketika seorang personil Angkatan Laut AS yang memimpin satu ekspedisi di sepanjang sungai itu menggambarkan pelayarannya menyusuri jeram yang airnya mengalir cepat dan air terjun.
Kondisi senada pun dialami sungai Gangga yang disucikan umat Hindu di India. Seperti dilansir bbc.com, sungai Gangga di India semakin kotor dan tercemar limbah kimia. Warna air sungai berubah menjadi hitam, dengan bau yang sangat menyengat. (http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2016/05/160516_video_sungai_gangga_india).
Di Indonesia sungai juga mengalami nasib yang sama. Di samping adanya penggundulan hutan yang membuat debit sungai menurun, sungai-sungai di Indonesia juga tercemar beraneka macam limbah mulai dari limbah industri hingga rumah tangga.
Saat ini sampah plastik telah mengancam sungai dan perairan. Ini akibat ulah manusia yang tidak bijak dalam mengelola sampah. Alih-alih mengelola sampah dengan baik, sungai dijadikan tempat sampah raksasa. Plastik-plastik yang masuk ke sungai kemudian bermuara ke laut dan kemudian hanyut dalam perairan. Di sana, plastik lama kelamaan akan berubah menjadi serpihan-serpihan plastik atau biasa disebut mikroplastik. Padahal, mikroplastik menurut banyak ahli lingkungan  berbahaya.
Tentang mikroplastik dalam air minum, seperti dilansir voaindonesia.com, menurut peneliti, air minum yang dikonsumsi di lima benua - mulai dari Trump Tower di New York hingga ke fasilitas air minum umum di pinggiran-pinggiran Danau Victoria di Uganda – ternyata mengandung serpihan kecil plastik yang mengancam kesehatan masyarakat. (https://www.voaindonesia.com/a/plastik-ditemukan-pada-air-minum-di-lima-benua/4018732.html).
            Dikhawatirkan, mikroplastik akan berpengaruh pada keberadaan ikan karena menghambat penetasan telur, menghambat pertumbuhan dan membuat mereka lebih rentan dimangsa predator sehingga meningkatkan angka kematian. Bisa dibayangkan, kelangkaan ikan di depan mata. Microplastik juga bisa masuk ke badan ikan dan mamalia yang mengonsumsi bahan tersebut.
            Cara hidup manusia yang tak merusak lingkungan memang banyak mendatangkan kerugian. Vandana Shiva dalam buku "Bebas dari Pembangunan-Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India" menggambarkan kekeringan yang memprihatinkan di India. Semakin keringnya India, seperti yang terjadi di Afrika, lebih banyak merupakan akibat ulah manusia, daripada akibat bencana alam. Masalah air, dan kelangkaan air, telah menjadi masalah paling berat bagi perjuangan untuk bertahan hidup selama tahun 1980-an. Akibat pengetahuan reduksionis dan cara-cara pembangunan yang merusak siklus kehidupan di sungai, di tanah dan di gunung-gunung timbul musim kering dan penggurunan. Sungai mengering karena daerah tangkapan airnya rusak, digunduli, atau ditanami secara berlebihan untuk menghasilkan pendapatan dan keuntungan. Air tanah mengering karena didayagunakan dengan berlebihan untuk mengairi tanaman perdagangan. Desa demi desa dirusak sendi-sendinya, sumber air minumnya. Dan jumlah desa yang mengalami kekurangan (paceklik) air seimbang dengan jumlah "rencana" yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk "mengadakan" air. (hal. 226).
Semua itu memang akibat ulah manusia yang tidak arif dalam menjalani kehidupannya di alam semesta ini. Manusia tidak sadar bahwa dirinya adalah salah satu makhluk di semesta ini yang nasib kehidupannya juga bergantung pada kehidupan makhluk lain. Namun yang terjadi, manusia dengan pongahnya mengambil terlalu banyak dari alam. Sehingga dengan cara ini keseimbangan alam terganggu.
Bahkan dalam rangka menghidupi spiritualitas keagamaanya, manusia kerap berlaku hipokrit. Ketika sungai disucikan, dalam waktu bersamaan pun, manusia merusaknya. Ya, bagaimana mungkin kita memakai air untuk baptis sementara dalam sisi yang lain kita mengotori air itu. Bagaimana mungkin mencampur yang baik dengan yang tercela, kecuali manusia tidak paham bahwa semua kehidupan memang terajut dalam jaring-jaring kehidupan. Semua terajut dalam sebab-akibat.
Mestinya, kita bisa mensyukuri anugerah Tuhan berupa kekayaan bumi ini dengan baik. Wujud syukur itu tidak mesti kita lakukan ketika kita mendapatkannya secara melimpah. Namun, syukur itu bisa dibangun ketika kita mendapatkan yang ada di depan mata kita. Dengan mensyukuri, maka kita tidak membuatnya sia-sia dan percuma, tetapi kita mengelola anugerah alam semesta itu dengan bijak.
Ada teladan istimewa yang pantas kita tiru. Ketika yang lain berlomba-lomba merusak sungai dan memanfaatkan air dengan tidak bijak, penulis melihat adanya kearifan yang masih dihidupi. Warga dusun Bunder, Bandungan, Jatinom, Klaten sudah berusaha memanfaatkan air hujan sejak lama. Warga yang tinggal di daerah yang sulit sumber air itu membuat penampungan air hujan di rumahnya. Air hujan yang jatuh ke atap rumah disalurkan dan ditampung ke penampungan air yang berukuran cukup besar. Hal itu dilakukan karena warga tidak mempunyai sumber air yang bisa diakses selain air hujan. 
            Meski demikian, mereka sangat mensyukuri anugerah air itu. Mereka dengan segenap tenaga berusaha untuk melestarikan air. Air tidak disia-siakan terbuang. Namun, air dihargai karena air itulah yang menjamin kehidupan manusia, tanaman di ladang, maupun ternak.
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ mengingatkan kita semua supaya  menyadari kesalahan kita pada alam ciptaan ini dan kemudian berani melakukan perubahan. “Belum pernah kita begitu menyakiti dan menyalahgunakan rumah kita bersama, seperti dalam dua ratus tahun terakhir. Namun kita dipanggil untuk menjadi instrumen Allah Bapa
agar planet kita menjadi apa yang Dia inginkan ketika Ia menciptakannya, dan agar bumi memenuhi rencana-Nya yaitu perdamaian, keindahan dan keutuhan (LS 53).”
            Selain menjaga keutuhan ciptaan, menjaga air dengan demikian juga mendukung perdamaian dan keindahan, suasana yang sebenarnya didamba segenap makhluk.

            

Post a Comment

Kesan/Pesan