Pantai yang bersih adalah impian
           Suatu ketika, saya mengikuti survei lokasi penanaman bakau di pesisir Semarang. Di salah satu muara, saya melihat sampah yang memenuhi muara tersebut. Aneka jenis sampah memadati tempat tersebut. Begitu mengerikan. Banyak sekali bungkus makanan berbahan plastik dan kantong-kantong plastik yang hanyut di air dan sebagian lagi menempel di akar-akar bakau. Bahkan di tengah muara yang mengalami pendangkalan itu, terdapat sofa, mungkin seseorang telah membuangnya dari sungai hingga hanyut ke tempat itu. Selain itu, penduduk setempat bercerita kalau pantai itu telah mengalami abrasi. Hal itu, menurutnya, terjadi karena tanaman di pantai seperti bakau telah rusak sehingga air langsung menggerus pantai.
Berkaca dari tumpukan sampah yang ada di pantai, sadar atau tidak sadar, kita sedang mengalami kerusakan Bumi yang amat parah.  Manusia menjadi penyebab yang utama dari kerusakan itu. Banyak teknologi maupun produk manusia yang ternyata merusak bumi. Alih-alih menyelamatkan bumi, teknologi juga berisiko pada kerusakan bumi yang parah. Sebagai penemu teknologi dan pemakai teknologi, manusia merasa senang dan bangga atas kemajuan teknologi yang bisa diraihnya. Sayangnya kemajuan teknologi bukan untuk kesejahteraan hidup manusia namun bergeser menjadi ajang unjuk citra kesuksesan seseorang. Dalam arti tertentu, kehadiran manusia justru membawa bencana bagi lingkungan. Maka dari itu, demi keselamatan bersama, manusia perlu memperbaiki cara hadirnya.
Kemajuan teknologi saat ini banyak dipakai hanya sebagai cara seseorang mencitrakan dirinya. Ketika kita memasuki supermarket, kita melihat begitu banyak makanan dan minuman yang berbungkus plastik. Bahkan bungkus atau kemasan itu dibuat sangat menarik dan berwarna-warni, dan itu katanya mengangkat citra seseorang. Isi yang sama kalau dibungkus dengan kemasan yang berbeda, katanya mengangkat gengsi seseorang. Misalnya, rasa perasaan seseorang akan berbeda ketika menyantap keripik ketela dari yang hanya disajikan di atas piring dibanding dengan yang dibungkus oleh kemasan pabrikan dengan desain yang menarik.

Produsen memproduksi makanan tersebut dengan tidak memperhitungkan beban lingkungan yang harus ditebus. Berapa lama plastik akan terurai dengan baik? Meski bekas bungkus plastik itu didaur ulang, kita bertanya pada diri kita, mau seberapa kuat kita mau dan mampu mendaur ulang sampah tersebut? Apalagi kalau dibanding dengan daya konsumsi masyarakat kita yang begitu getol mengonsumsi produk-produk penghasil sampah yang tak ramah bagi bumi. Itu baru dari produk makanan dan minuman. Kalau kita melihat produk lainnya seperti alat komunikasi dan transportasi yang kerap dipakai manusia, betapa mengerikannya teknologi dan peradaban yang diciptakan manusia terhadap bumi maupun keselamatan seluruh makhluk, meski di sisi lain teknologi itu berguna bagi kehidupan manusia.
Hal ini amat mudah diamati pada perkembangan teknologi transportasi dan telekomunikasi. Kalau kita melihat perkembangan kedua teknologi tersebut, kita sampai pada suatu kesimpulan yang menarik yaitu masyarakat kita adalah konsumen teknologi yang “rakus”, yang sebenarnya tak terlalu signifikan dengan kebutuhan hidupnya. Orang sekarang ini begitu mudahnya berganti ponsel ketika ada ponsel seri terbaru keluar. Padahal fitur yang ditawarkan tak berbeda jauh, dan selama ini tak terlalu signifikan menunjang kebutuhan hidupnya. Bahkan ada beberapa fitur yang tidak pernah dipakai, tetapi toh, alat tersebut tetap dibeli demi jaga gengsi terhadap sesamanya.
Demikian pula dengan alat transportasi baik mobil maupun sepeda motor. Dilihat dari fungsinya, keduanya hanyalah alat transportasi. Tetapi begitu ada seri terbaru dengan model terbaru, konsumen berbondong mengganti kendaraan lamanya dengan yang seri terbaru. Padahal, pergantian kendaraan itu belum tentu signifikan dengan kebutuhannya. Hanya karena citra atau gengsi, konsumen berlomba berganti alat transportasi.
Fenomena-fenomena tersebut itulah yang membuat produsen giat mengeluarkan produk terbaru, atau sebaliknya karena ada produk terbaru, maka konsumen semakin tergiur untuk membeli produk tersebut, meski sebenarnya tidak terlalu butuh. Di sinilah sebenarnya kecerdasan konsumen ditantang.
            Tentang pengolahan sumber daya alam yang akhirnya berujung pada perusakan alam rupanya banyak diajarkan di sekolah-sekolah bisnis selama ini. Menurut Thomas Berry dalam buku Kosmologi Kristen, sekolah-sekolah bisnis kita mengajari ketrampilan-ketrampilan di mana jumlah sumber daya alam yang ada, diproses secepat mungkin untuk kepentingan konsumen, dan lalu diteruskan  hingga menjadi timbunan barang-barang rongsokan dan pada akhirnya menjadi racun bagi semua makhluk hidup. Ada suatu kebutuhan bagi spesies manusia untuk mengembangkan relasi perekonomian resiprokal dengan bentuk-bentuk kehidupan lainnya, sehingga tersedia suatu pola yang saling mendukung dan saling menjaga antara sistem-sistem kehidupan (hal 211).
            Semangat perekonomian resiprokal ini sudah sepatutnya menjadi etika baru bagi para pelaku bisnis. Bahwa keuntungan ekonomi bukanlah hal yang utama, namun keselamatan ekologis yang saling mendukung keberadaan antarmakhluk itulah yang semestinya menjadi aras baru dalam berbisnis. Bukan penumpukan kapital yang menjadi tujuan utama berbisnis, namun keselamatan ekologis semua makhluklah yang mestinya menjadi orientasi berekonomi.
            Maka, dengan ini, tidak ada lagi keuntungan ekonomi yang meninggalkan bencana ekologis. Tidak ada lagi orang yang terlalu kaya karena mengambil terlalu banyak dari alam ini, sementara itu, banyak orang kekurangan dan bahkan miskin karena tidak memiliki akses apapun dalam alam ini.
            Praktis, mengenai kemasan atau bungkus produk, sudah saatnya, baik pemerintah, produsen, konsumen, maupun kita mulai berpikir keras dan bertindak nyata. Sudah saatnya, kita semua beralih ke kemasan yang ramah lingkungan.  Sampah-sampah kemasan yang tak terkelola mengancam kehidupan hewan maupun tumbuhan bahkan manusia. Bahwa kepunahan spesies, atau terganggunya keselamatan makhluk juga tergantung dari cara kita berekonomi, cara kita berproduksi, ataupun cara kita mengonsumsi. Maka, cara hadir kita di bumi ini mesti diperbaiki. Kita kembali menyadari sebagai makhluk ekologis, bahwa keselamatan kita juga bergantung kepada keselamatan makhluk dan lingkungan yang ada di sekitar kita.
Thomas Berry mengingatkan kita supaya sadar. Kita saat ini mesti insaf bahwa perjalanan kita terus berlangsung menuju masa depan dalam integritas akan sistem kehidupan Bumi yang senantiasa membentang, yang pada saat ini sedang dalam kondisi terancam. Kegagalan terbesar kita adalah menghancurkan perjalanan begitu banyak spesies yang paling luar biasa dari komunitas hidup (ibid. hal. 217).
Menurut Thomas Berry, manusia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan bereksperimen namun berakhir dengan kehancuran dalam waktu singkat. Usaha keras dan perhatian dihabiskan selama beberapa miliar tahun dan miliaran eksperimen yang tidak terkatakan untuk membawa kehidupan bumi yang indah, telah dihancurkan hanya dalam kurang dari satu abad demi apa yang dianggap sebagai “kemajuan” ke arah hidup yang lebih baik, di dunia yang lebih baik (ibid. hal. 217-218).
Manusia sebagai makhluk bungsu dalam kisah penciptaan karena diciptakan terakhir kali justru membuat banyak kerusakan. Dengan karunia akalnya, manusia justru telah merusak alam dengan dalih kemajuan. Padahal, dalam hidupnya, manusia tidak bisa sendiri. Dia ditopang oleh makhluk-makhluk lainnya. Jika cara hidupnya dengan menciptakan teknologi atas nama kemajuan justru merusak dan mengganggu keselamatan dirinya, bukankah ini juga merupakan tindakan bunuh diri ekologis?

Post a Comment

Kesan/Pesan