Pantai yang bersih adalah impian |
Berkaca dari tumpukan
sampah yang ada di pantai, sadar atau tidak sadar, kita sedang mengalami
kerusakan Bumi yang amat parah. Manusia menjadi
penyebab yang utama dari kerusakan itu. Banyak teknologi maupun produk manusia
yang ternyata merusak bumi. Alih-alih menyelamatkan bumi, teknologi juga
berisiko pada kerusakan bumi yang parah. Sebagai penemu teknologi dan pemakai
teknologi, manusia merasa senang dan bangga atas kemajuan teknologi yang bisa
diraihnya. Sayangnya kemajuan teknologi bukan untuk kesejahteraan hidup manusia
namun bergeser menjadi ajang unjuk citra kesuksesan seseorang. Dalam arti
tertentu, kehadiran manusia justru membawa bencana bagi lingkungan. Maka dari
itu, demi keselamatan bersama, manusia perlu memperbaiki cara hadirnya.
Kemajuan teknologi saat
ini banyak dipakai hanya sebagai cara seseorang mencitrakan dirinya. Ketika
kita memasuki supermarket, kita melihat begitu banyak makanan dan minuman yang
berbungkus plastik. Bahkan bungkus atau kemasan itu dibuat sangat menarik dan
berwarna-warni, dan itu katanya mengangkat citra seseorang. Isi yang sama kalau
dibungkus dengan kemasan yang berbeda, katanya mengangkat gengsi seseorang. Misalnya,
rasa perasaan seseorang akan berbeda ketika menyantap keripik ketela dari yang
hanya disajikan di atas piring dibanding dengan yang dibungkus oleh kemasan
pabrikan dengan desain yang menarik.
Produsen memproduksi
makanan tersebut dengan tidak memperhitungkan beban lingkungan yang harus
ditebus. Berapa lama plastik akan terurai dengan baik? Meski bekas bungkus
plastik itu didaur ulang, kita bertanya pada diri kita, mau seberapa kuat kita
mau dan mampu mendaur ulang sampah tersebut? Apalagi kalau dibanding dengan
daya konsumsi masyarakat kita yang begitu getol mengonsumsi produk-produk penghasil
sampah yang tak ramah bagi bumi. Itu baru dari produk makanan dan minuman.
Kalau kita melihat produk lainnya seperti alat komunikasi dan transportasi yang
kerap dipakai manusia, betapa mengerikannya teknologi dan peradaban yang
diciptakan manusia terhadap bumi maupun keselamatan seluruh makhluk, meski di
sisi lain teknologi itu berguna bagi kehidupan manusia.
Hal ini amat mudah
diamati pada perkembangan teknologi transportasi dan telekomunikasi. Kalau kita
melihat perkembangan kedua teknologi tersebut, kita sampai pada suatu
kesimpulan yang menarik yaitu masyarakat kita adalah konsumen teknologi yang “rakus”,
yang sebenarnya tak terlalu signifikan dengan kebutuhan hidupnya. Orang
sekarang ini begitu mudahnya berganti ponsel ketika ada ponsel seri terbaru
keluar. Padahal fitur yang ditawarkan tak berbeda jauh, dan selama ini tak terlalu
signifikan menunjang kebutuhan hidupnya. Bahkan ada beberapa fitur yang tidak
pernah dipakai, tetapi toh, alat tersebut tetap dibeli demi jaga gengsi
terhadap sesamanya.
Demikian pula dengan
alat transportasi baik mobil maupun sepeda motor. Dilihat dari fungsinya,
keduanya hanyalah alat transportasi. Tetapi begitu ada seri terbaru dengan
model terbaru, konsumen berbondong mengganti kendaraan lamanya dengan yang seri
terbaru. Padahal, pergantian kendaraan itu belum tentu signifikan dengan
kebutuhannya. Hanya karena citra atau gengsi, konsumen berlomba berganti alat
transportasi.
Fenomena-fenomena
tersebut itulah yang membuat produsen giat mengeluarkan produk terbaru, atau
sebaliknya karena ada produk terbaru, maka konsumen semakin tergiur untuk
membeli produk tersebut, meski sebenarnya tidak terlalu butuh. Di sinilah
sebenarnya kecerdasan konsumen ditantang.
Tentang
pengolahan sumber daya alam yang akhirnya berujung pada perusakan alam rupanya banyak
diajarkan di sekolah-sekolah bisnis selama ini. Menurut Thomas Berry dalam buku
Kosmologi Kristen, sekolah-sekolah bisnis kita mengajari
ketrampilan-ketrampilan di mana jumlah sumber daya alam yang ada, diproses
secepat mungkin untuk kepentingan konsumen, dan lalu diteruskan hingga menjadi timbunan barang-barang rongsokan
dan pada akhirnya menjadi racun bagi semua makhluk hidup. Ada suatu kebutuhan
bagi spesies manusia untuk mengembangkan relasi perekonomian resiprokal dengan
bentuk-bentuk kehidupan lainnya, sehingga tersedia suatu pola yang saling
mendukung dan saling menjaga antara sistem-sistem kehidupan (hal 211).
Semangat
perekonomian resiprokal ini sudah sepatutnya menjadi etika baru bagi para
pelaku bisnis. Bahwa keuntungan ekonomi bukanlah hal yang utama, namun
keselamatan ekologis yang saling mendukung keberadaan antarmakhluk itulah yang
semestinya menjadi aras baru dalam berbisnis. Bukan penumpukan kapital yang
menjadi tujuan utama berbisnis, namun keselamatan ekologis semua makhluklah
yang mestinya menjadi orientasi berekonomi.
Maka,
dengan ini, tidak ada lagi keuntungan ekonomi yang meninggalkan bencana
ekologis. Tidak ada lagi orang yang terlalu kaya karena mengambil terlalu
banyak dari alam ini, sementara itu, banyak orang kekurangan dan bahkan miskin
karena tidak memiliki akses apapun dalam alam ini.
Praktis,
mengenai kemasan atau bungkus produk, sudah saatnya, baik pemerintah, produsen,
konsumen, maupun kita mulai berpikir keras dan bertindak nyata. Sudah saatnya,
kita semua beralih ke kemasan yang ramah lingkungan. Sampah-sampah kemasan yang tak terkelola
mengancam kehidupan hewan maupun tumbuhan bahkan manusia. Bahwa kepunahan
spesies, atau terganggunya keselamatan makhluk juga tergantung dari cara kita
berekonomi, cara kita berproduksi, ataupun cara kita mengonsumsi. Maka, cara
hadir kita di bumi ini mesti diperbaiki. Kita kembali menyadari sebagai makhluk
ekologis, bahwa keselamatan kita juga bergantung kepada keselamatan makhluk dan
lingkungan yang ada di sekitar kita.
Thomas Berry mengingatkan
kita supaya sadar. Kita saat ini mesti insaf bahwa perjalanan kita terus
berlangsung menuju masa depan dalam integritas akan sistem kehidupan Bumi yang
senantiasa membentang, yang pada saat ini sedang dalam kondisi terancam.
Kegagalan terbesar kita adalah menghancurkan perjalanan begitu banyak spesies
yang paling luar biasa dari komunitas hidup (ibid. hal. 217).
Menurut Thomas Berry, manusia
terlalu banyak menghabiskan waktu dengan bereksperimen namun berakhir dengan
kehancuran dalam waktu singkat. Usaha keras dan perhatian dihabiskan selama
beberapa miliar tahun dan miliaran eksperimen yang tidak terkatakan untuk
membawa kehidupan bumi yang indah, telah dihancurkan hanya dalam kurang dari
satu abad demi apa yang dianggap sebagai “kemajuan” ke arah hidup yang lebih
baik, di dunia yang lebih baik (ibid. hal. 217-218).
Manusia sebagai makhluk
bungsu dalam kisah penciptaan karena diciptakan terakhir kali justru membuat
banyak kerusakan. Dengan karunia akalnya, manusia justru telah merusak alam
dengan dalih kemajuan. Padahal, dalam hidupnya, manusia tidak bisa sendiri. Dia
ditopang oleh makhluk-makhluk lainnya. Jika cara hidupnya dengan menciptakan
teknologi atas nama kemajuan justru merusak dan mengganggu keselamatan dirinya,
bukankah ini juga merupakan tindakan bunuh diri ekologis?
Posting Komentar untuk " Memperbaiki Cara Hadir Manusia di Bumi"
Kesan/Pesan
Posting Komentar