Kita tentu pernah melihat lukisan pemandangan gunung, pegunungan atau perbukitan. Bahkan bisa jadi kita sendiri pernah melukisnya. Mengapa pelukis begitu tertarik untuk melukis pemandangan tersebut? Tentu di sana ada keindahan yang menjadi magnet bagi para pelukis tersebut. Menariknya, lukisannya pun bisa beraneka ragam. Masing-masing pelukis mempunyai hasil yang berbeda sesuai dengan cara melukis, aliran melukis ataupun pengalaman pelukis dan apapun faktor yang bisa melahirkan lukisan tersebut.
Demikian juga kita
pernah mendengar lagu-lagu yang diinspirasikan dari tempat-tempat tersebut
semacam Mahameru (Dewa 19), Merapi (Katon Bagaskara), dan pasti banyak lagi. Karya
sastra juga banyak yang lahir dari tempat-tempat itu. Pegunungan, gunung, bukit
menjadi inspirasi bagi para sastrawan maupun seniman. Selain menjadi latar
belakang kisah, dengan mengambil inspirasi dari tempat-tempat tersebut baik
sastrawan atau seniman kerap menunjukkan kekaguman maupun kengerian atas tempat
tersebut. Bahkan melalui karya mereka, tersirat dan atau tersurat kesakralan
tempat tersebut, tempat perjumpaan yang intim antara manusia dengan Tuhan.
Pada kenyataannya, tempat-tempat
tersebut kerap menjadi tempat sakral untuk memuja Tuhan. Tak jarang para rahib
dari berbagai agama dan tradisi menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai
tempat yang baik untuk berkontemplasi
dan bermati raga, hidup bersatu dengan Tuhan. Biara, vihara, pertapaan banyak berdiri
di tempat-tempat tinggi seperti gunung, perbukitan atau pegunungan.
Yesus dalam narasi
Kitab Suci pun diceritakan pergi ke gunung Tabor untuk berdoa dan menepi di
bukit. Dalam kesunyian itu terjadilah keheningan yang mendalam. Setelah
beberapa saat berkarya bagi manusia, ia menepi, berdoa mengalami kebersamaan
dengan Bapa.
Kalau kita renungkan
lebih jauh, pegunungan, gunung, bukit menjadi tempat bersandarnya jutaan nyawa.
Air, tumbuhan, hewan, udara, serta berbagai makhluk yang ada di tempat tersebut
menjadi daya dukung kehidupan makhluk hidup lainnya termasuk manusia. Tanpanya,
manusia tak bisa hidup. Betapa manusia adalah makhluk yang paling rentan dalam
kehidupan. Manusia tanpa lingkungan mati. Namun, lingkungan tanpa manusia tidak
mengalami masalah.
Pegunungan, gunung,
bukit menjadi kepenuhan yang jasmani maupun yang rohani. Manusia adalah makhluk
yang mempunyai dua dimensi itu. Dan karena itulah manusia mengalamai
keutuhannya sebagai manusia.
Sayangnya, atas nama
pembangunan, tempat yang menjadi sandaran kehidupan baik jasmani maupun rohani,
ekspresi kebudayaan dan kesenian dieksplotasi. Pegunungan ditambang hanya untuk
memenuhi target pembangunan. Di situlah sebenarnya luka tak hanya dirasakan oleh
bumi kita namun manusia yang selama ini mendiami tempat tersebut pun terluka. Bumi yang terluka
juga melukai manusia. Tangisan bumi adalah juga tangisan manusia.
Sungguh ironis, pembangunan
seringkali gagal menjunjung nilai-nilai kemanusiaan karena sebenarnya di balik
itu adalah pemenuhan nafsu kapitalistik. Pembangunan juga kerap kali gagal memandang
nilai sakralitas karena di balik itu pembangunan menjadi gerbong pemenuhan
kebutuhan beraroma materialistik. Dan pembangunan juga kerap gagal menjunjung
keluhuran budaya yang sudah ada ribuan tahun dan dihidupi masyarakat seperti
pertanian yang jelas-jelas sangat ramah pada alam semesta, hanya karena nafsu
mengambil terlalu banyak dari alam ini. Pemerintah dan pemilik modal kerap
terlibat dalam pembangunan yang merusak itu. Mestinya pembangunan bisa
menyentuh aspek jasmani maupun rohani sehingga sebagai manusia, masyarakat
mengalami keutuhannya.
Sonny Keraf dalam Etika
Lingkungan halaman 191 melihat krisis ekologi terjadi karena kegagalan
pemerintah yang terjadi pada tiga tataran.
Pertama, pemerintah gagal dalam memilih model pembangunan. Pemerintah lebih
memilih model pembangunan yang mengutamakan pembangunan ekonomi dengan segala
akibat negatifnya bagi lingkungan hidup. Kedua,
pemerintah gagal memainkan peran sebagai penjaga dan penjamin kepentingan
bersama, termasuk kepentingan bersama akan lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Dan ketiga, pemerintah gagal
dalam membangun suatu tata kelola pemerintahan yang baik, yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan terhadap berbagai ketentuan formal bidang lingkungan
hidup dengan akibat terjadinya berbagai krisis dan bencana lingkungan.
Manusia yang mendiami
bumi mestinya menyadari akan relasinya dengan bumi dan ekosistem yang hidup di
dalamnya. Bahwa kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi kalau relasi
antarmakhluk terjadi dengan baik. Proses saling memberi dan menerima
antarmakluk terjadi tanpa halangan. Kehidupan di bumi sebenarnya adalah jalinan
kehidupan antarmakhluk yang saling menopang kehidupan.
Gunarti dalam Kompas, 3
mei 2015 mengatakan, “Bumi adalah Ibu Pertiwi ini yang memberi makan, minum,
semuanya seperti ibu yang susunya berlimpah untuk anak-anaknya.”
Sebagaimana ajaran
leluhur Sedulur Sikep, dia memilih hidup sebagai petani yang ramah lingkungan. “Sudah
terbukti kalau kami bisa hidup baik sampai hari ini, itu berkat upaya orang tua
dan nenek moyang kami melestarikan dan merawat bumi,” tuturnya. “Menjaga bumi
sama dengan menyelamatkan hidup kita dan anak-cucu. Jadi tak bisa dipisahkan
antara yang hidup dan menghidupi.”
Korporasi yang berusaha
mengeksploitasi pegunungan untuk mengambil kekayaan alam di dalamnya perlu
menyadari dan mempertimbangkan risiko yang bakal terjadi. Pertimbangan
pembukaan investasi tidak melulu hanya pada orientasi ekonomi atau kapital,
namun juga mesti memperhatikan aspek sosial, religiositas, budaya dan
ekologisnya. Pemerintah juga perlu melihat hal ini. Semua itu dilakukan demi
kesejahteraan lahir dan batin rakyat serta terjaminnya keselamatan ekologis.
Selama ini, seolah kepentingan ekonomi selalu mengalahkan pertimbangan ekologi.
Padahal, ekonomi dan
ekologi bukan hal yang bertentangan. Sonny Keraf dalam Filsafat Lingkungan
Hidup hal 151 menyatakan adanya kesalahan paradigmatik yang sudah terjadi selama
ini. Sebuah kesalahan yang mempertentangkan atau paling tidak telah menempatkan
ilmu ekonomi dan ilmu ekologi secara bertentangan diametral. Padahal,
menurutnya, keduanya berurusan dengan obyek yang sama, yaitu rumah tangga (oikos). Namun, pada perkembangannya
antara ekonomi dan ekologi tampak terpisah.
Bahkan, menurut Sonny
Keraf, ekonomi direduksi seakan hanya mengkaji norma dan cara pemenuhan kebutuhan
makhluk hidup yang bernama manusia, sementara ekologi mengkaji hubungan dan
penataan kehidupan bagi semua makhluk hidup dalam alam sebagai rumah dan habitatnya
sedemikian rupa agar tetap lestari. Dengan akibat, ekonomi dilepaskan dari
ekologi, bahkan mengabaikan prinsip-prinsip ekologis dengan segala akibatnya yang
menghancurkan lingkungan hidup (hal. 151).
Yang muncul berikutnya
adalah ekonomi modern yang haus eksploitasi. Pada gilirannya ekonomi modern ini
mengancam dan membahayakan alam, tempat tinggal, rumah, habitat, oikos, beserta seluruh keragaman hayati dan
keragaman budaya yang tersebar di berbagai tempat, dan melalui itu memiskinkan
manusia secara ekonomi, sosial, budaya dan eksistensial.
Beberapa bukti sudah
menunjukkan hal tersebut. Bukan hanya kerusakan alam yang terjadi akibat
eksploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam. Namun, kehidupan sosial berupa
ikatan relasi sosial pun terpecah akibat munculnya ketidakadilan. Budaya
agraris yang selama ini dihidupi masyarakat dan menjadi tulang punggung ekonomi
hancur. Eksistensi masyarakat pun terganggu. Ini sungguh mengerikan. Hadirnya
sebuah korporasi, sebut saja misalnya perusahaan semen yang dengan serakah mengambil
bahan-bahan semen di pegunungan yang selama ini menjamin kehidupan masyarakat
karena berlimpahnya air sehingga budaya agraris berjalan baik, bisa mengancam. Padahal, perusahaan macam itu,
tak bertahan lama, hanya selama persediaan bahan baku ada. Sementara pertanian
bisa bertahan lama, karena mensyaratkan relasi yang ekologis antara petani
dengan alam. Ini adalah relasi yang saling menjaga.
Pertanian yang lestari
bisa berjalan sampai kapan pun. Takdir petani adalah hidup berdampingan dengan
alam. Alam memberi kehidupan, manusia merawat kehidupan. Maka, petani sangat menghargai
dan menghormati pegunungan sebagai altar kehidupan karena dari sanalah sumber
air mengalir yang menjadi kehidupan segala makhluk. Tumbuhan, hewan dan manusia
bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dan memang satu pegunungan,
sejuta nyawa.
Posting Komentar untuk "Satu Pegunungan Sejuta Nyawa"
Kesan/Pesan
Posting Komentar