Suatu ketika saya mengikuti acara tamasya ke laut. Di sana terbentang pemandangan yang sangat indah baik pemandangan pantai maupun pemandangan bawah laut. Kami, sekurang-kurangnya saya pribadi merasa takjub dengan keindahan alam tersebut. Di beberapa tempat, saya menjumpai pantai berpasir putih yang sangguh indah. Keindahan itu semakin kuat terpancar ketika vegetasi pantai yang hijau tampak begitu sejuk. Hijau penuh daya tarik. Seperti ada magnet yang selalu menarikku untuk tidak melepaskan pemandangan itu.
Keindahan makin lengkap ketika saya berenang di permukaan air. Dan dengan alat bantu pernafasan, saya bisa melihat pemandangan bawah air yang penuh pesona. Sesekali, saya menyelam di dalam air. Di sana tampak terumbu karang yang sungguh indah. Ikan-ikan yang berwarna indah berenang di depan, samping kiri dan kanan saya. Saya berenang-renang bersama ikan-ikan itu.
Peristiwa itu memunculkan decak kagum saya pada Sang Pencipta yang sungguh kreatif membuat alam yang indah ini. Betapa hebatnya, Sang Pencipta mencipta alam ini. Keindahannya memberikan rasa syukur pada diri saya.
            Namun, di antara semua itu, kita perlu bertanya kritis. Kehadiran kita di tempat itu sebenarnya menjadi kutuk atau berkat bagi alam ciptaan yang ada di sana? Mungkin pertanyaan ini hanya akan melahirkan nyinyir bagi orang-orang tertentu. Mau tamasya saja serius sekali.

            Bagi saya ini adalah serius. Ini menyangkut cara hadir kita di planet ini cenderung sebagai pembawa berkat atau kutuk. Sebagai sesama ciptaan Tuhan dan diberi kelebihan untuk menggunakan akal dan budi apakah manusia sudah memakainya sedemikian rupa sehingga kehadirannya benar-benar menjadi berkat bagi alam ciptaan?
            Jika kita tak berefleksi sedemikian rupa, bisa jadi kehadiran kita di tempat itu hanyalah kehadiran yang eksploitatif. Kita berusaha menyenangkan diri, memuaskan hasrat kesenangan kita, bahkan melampiaskan segenap pikiran kita yang tertekan oleh kesibukan sehari-hari dengan berbuat semau kita. Kita berfoto ria sedemikian rupa sehingga kita merasa terpuaskan dan senang. Kita tidak tahu nasib ciptaan di sana selanjutnya, karena kita hanya berorientasi pada kepuasan diri kita sendiri saja. Bukankah ini sebenarnya relasi yang eksploitatif?
            Apa yang didapat oleh makhluk yang menjadi obyek kesenangan kita di sana? Apakah mereka menjadi nyaman dengan kehadiran kita? Atau justru mereka lebih nyaman tanpa kehadiran kita?
Saya sadar, kapal yang kami tumpangi mungkin karena perawatan yang kurang baik di saluran gas buangnya sehingga menetes cairan hitam yang menetes ke laut. Saya tidak tahu apakah itu berbahaya bagi biota laut atau tidak. Demikian juga, beberapa di antara kami memakai tabir surya. Saya juga tidak tahu apakah tabir surya itu bersifat toksin bagi biota laut atau tidak ketika yang bersangkutan masuk ke air laut.
Di laut, kami juga makan dan minum. Beberapa dari kami, tidak tahu persis, ke mana sampah-sampah bungkus makanan dan minuman. Apakah terbuang di laut atau dibuang di tempat sampah namun juga belum tentu terkelola dengan baik.
Ketika kami membilas diri dengan air tawar usai berenang di laut, kami tak bisa pastikan apakah sabun dan sampo yang kami pakai bersifat ramah lingkungan atau tidak. Sabun itu berbahaya atau tidak bagi biota laut?
Bahkan ketika di rumah, lalu kita membuka foto-foto ketika kita mengunjungi tempat-tempat tersebut. Kita mungkin hanya terkenang akan keindahannya dan merasakan kepuasannya berada di sana. Namun, kita tidak tahu nasib ciptaan yang menjadi latar belakang ataupun latar samping kita berfoto. Apakah mereka semakin baik atau semakin buruk setelah kita hadir di sana?
Jika semua rombongan tamasya melakukan hal yang sama seperti yang telah diceritakan di sini, bukankah kehadiran para wisatawan hanya menjadi ancaman dan bencana bagi ciptaan di sana?
Mengapa sedemikian repot harus mempertimbangkan semua itu? Bagi saya ini sangat penting karena ini menyangkut cara hadir kita di planet ini sebagai berkat atau kutuk bagi penghuni yang lain di planet ini. Sebagai sesama ciptaan dari satu Bapa, kehadiran kita memang menjadi berkat atau kutuk bagi saudara-saudari kita di planet ini atau tidak? Apakah pantas sebagai saudara-saudari, kehadiran kita menjadi ancaman antar satu dengan yang lainnya?
Kita perlu memikirkan semua itu karena kita ingin mengekspresikan cinta kepada sesama. Cinta menuntut kreativitas yang tinggi dan tak henti-hentinya selalu mencari cara supaya relasi kita menjadi relasi yang saling membebaskan, bukan relasi yang eksploitatif. Bahkan demi cinta, kita perlu berkorban dan menahan penderitaan dengan laku menahan kesenangan kita. Kita menghindari hal-hal yang mengancam keberadaan yang kita cintai. Demi cinta, kita hidup asketis. Ini juga berlaku bagi relasi kita dengan ciptaan.
Pesona yang terpancar dari keindahan ciptaan Tuhan menggerakkan kita untuk selalu kreatif mencari alternatif baru cara mencintai. Cinta itu saling melindungi. Tidak ada yang merasa terancam dengan kehadiran kita.
Cinta itu juga melahirkan keindahan seperti penulis kitab Mazmur yang menggubah syair cinta kepada Tuhan setelah ia melihat keindahan ciptaan Tuhan. Ia terpesona akan ciptaan Tuhan dan merasa kekecilan dirinya. Keagungan Tuhan terpancar melalui ciptaan-ciptaan-Nya yang penuh pesona.
            Santo Fransiskus dari Assisi pun menggubah puisi yang indah setelah berelasi dengan ciptaan Tuhan. Keterpesonaan manusia pada ciptaan Tuhan mendorongnya untuk semakin dekat dengan Tuhan. Bukankah Tuhan sedemikian kreatif mencintai manusia dengan menghadirkan saudara-saudari seciptaan di kehidupan ini?
            Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ melihat keterpesonaan Santo Fransiskus Assisi pada ciptaan sebagai sikap yang ekologis. Fransiskus Assisi membantu kita untuk melihat bahwa ekologi yang integral membutuhkan keterbukaan terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika dan biologi, dan membawa kita kepada hakikat manusia. Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada seseorang, setiap kali Fransiskus menatap matahari, bulan, atau bahkan hewan terkecil, ia mulai bernyanyi, sambil mengikutsertakan semua makhluk lain dalam pujiannya. (LS 11)
Paus Fransiskus lebih lanjut mengajak kita supaya keterpesonaan itu melahirkan relasi yang intim antar ciptaan. Jika kita memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan. (Ibid)
Jadi sebenarnya, kita semua, para ciptaan ini terangkai dalam relasi cinta yang saling terhubung antara satu dengan yang lain.
           


Post a Comment

Kesan/Pesan