Dua anak kecil bermain di sungai Ciherang, Purwakarta. |
Dua anak kecil duduk di
bebatuan di tengah sungai. Sementara itu di sekeliling mereka, air sungai mengalir
bergemuruh. Mereka tenggelam dalam nuansa penuh keakraban baik antar mereka maupun
mereka dengan alam ciptaan yang ada di sekitar. Mereka berdua bercengkerama,
mungkin berbincang tentang kisahnya di sekolah, atau berbicara tentang
pekerjaan rumah, atau bahkan hanya bersendau gurau biasa. Sesekali mereka mengadu
teriakannya yang nyaring dengan gemuruh suara sungai. Suara mereka pun timbul
tenggelam berkelindan dengan suara sungai membentuk harmoni alam.
Kedekatan manusia
dengan ciptaan lain adalah anugerah yang tak ternilai. Sebab pada dasarnya,
manusia hanya bisa hidup karena ada ciptaan lain. Manusia bergantung sepenuhnya
pada alam ciptaan. Dengan demikian, maka boleh dikatakan bahwa kebersamaan anak-anak
di dekat sungai dan ciptaan sebenarnya adalah perjumpaan yang suci. Perjumpaan
itu merupakan perjumpaan antar sesama makhluk yang digariskan untuk selalu
berelasi. Memutus tali relasi itu, maka manusia pun tak berdaya bahkan mati.
Kehadiran
ciptaan-ciptaan itu menampakkan kehadiran Tuhan itu sendiri. Gregorius Utomo,
Pr dalam “Goliat, Daud, dan Lingkungan Hidup” yang terangkum dalam “Gereja
Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan” menulis, sebenarnya kalau
kita benar-benar mendalami keimanan agama-agama yang ada di dunia ini, baik
Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Tao-Confusius maupun agama-agama asli kita
akan menemukan pengakuan dan peneguhan bahwa seluruh alam semesta merupakan
perwahyuan Sang Pencipta yang selalu mencipta dan bersabda dan tiada sesuatu
yang tidak diciptakan tanpa Sang Sabda. Dengan demikian kehadiran Sang
Emmanuel, Tuhan beserta kita sungguh nyata dan terasa baik dalam konteks
pribadi, sosial, maupun kosmik.
Dalam relasi kosmik,
kita sebenarnya adalah makhluk yang tak bisa saling terpisah. Semua berada
dalam kondisi saling mempengaruhi. Ada sesuatu yang buruk terjadi, maka makhluk
yang lainnya akan terpengaruh dan terkena imbas tersebut.
Kembali ke anak-anak di
dekat sungai tadi. Suasana di sungai itu bagi penulis adalah gambaran kehadiran
yang ilahi melalui ciptaan-ciptaan yang ada di sekitarnya. Anak-anak
bergembira, menemukan Tuhan dalam segarnya air sungai. Mereka tertawa lepas
dalam gemuruh air sungai tiada henti. Itu semua adalah peristiwa puitik yang
memantik para penyair untuk menggubah puisi sebagai cerminan keindahan akan
hidup yang diwarnai kebahagiaan karena relasi kosmik yang terajut dengan amat
baik.
Penulis yakin suasana
itu akan langgeng jika tak ada pihak-pihak yang berusaha mengambil terlalu
banyak, lebih dari yang dibutuhkan. Suasana kedamaian akan langgeng jika
manusia hidup dengan sahaja. Namun, sebaliknya, jika manusia lebih menuruti
hawa nafsunya, ingin menguasai ciptaan demi keuntungannya, maka, kerusakan ada
di depan mata.
Beberapa dekade ini,
bumi dalam keadaan rusak parah karena manusia mengambil terlalu banyak dari
yang dibutuhkan demi keuntungan ekonomi yang berlebihan. Paus Fransiskus dalam
ensiklik Laudato Si’ tentang
Perawatan Rumah Kita Bersama menulis, sumber daya bumi pun dijarah karena
konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka pendek. Hilangnya hutan dan
vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya
yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk makanan tetapi juga untuk
penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya. Berbagai spesies mengandung gen
yang bisa menjadi sumber daya kunci pada tahun-tahun mendatang untuk memenuhi
kebutuhan tertentu manusia dan mengatur beberapa masalah lingkungan (LS 32).
Sementara itu, Mateus
Mali, CSsR menyoroti adanya krisis ekologis yang terjadi di bumi kita dalam “Menyapa
Bumi Menyembah Hyang Ilahi”. Menurutnya, krisis ekologis terjadi karena manusia
mengeruk segala kekayaan alam itu tanpa memperhatikan lagi dampak yang
ditimbulkan oleh penggalian itu, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran yang
ditimbulkan oleh penggalian tersebut, spesies-spesies tertentu di sekitar
lokasi penambangan biasanya punah (hal 147).
Usaha-usaha manusia
yang mengambil terlalu banyak dari kebutuhannya menjadi ancaman keselamatan
warga bumi. Pemanasan global yang diakibatkan industrialisasi tak ramah
lingkungan dan gaya hidup yang berlebihan telah berdampak pada perubahan iklim
dan tenggelamnya negara-negara kepulauan.
Manusia tak lagi mampu
memandang ciptaan Tuhan dengan rasa takjub dan rasa syukur. Manusia hanya
memandang ciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang bisa menjadi sarana pemuasan
hasrat ekonominya. Begitu ada potensi ciptaan yang bisa dikapitalisasi, manusia
pun segera menguasai dan mengeksploitasinya bahkan tanpa batas.
Kerusakan bumi makin
terjadi. Makhluk-makluk hidup terancam. Ketidakadilan terjadi, karena ada yang
mendapat terlalu banyak, namun sebaliknya, ada yang mendapat terlalu sedikit. Kehidupan
anak-anak masa depan, juga terancam. Mereka bisa jadi tidak mendapatkan sesuatu
yang sudah kita dapatkan.
Lalu, kadang-kadang
kita pun hanya menyayangkan mereka dan menganggap mereka sebagai generasi manja
yang jauh dari alam dan lingkungan hidup mereka. Dan selanjutnya menertawai
mereka karena mereka, khusus orang-orang kota, tidak tahu wujud daun kacang
panjang meski kacang panjangnya biasa dikonsumsi atau tak tahu daun jagung
meski mereka pernah memakan jagung. Kalau ditilik lebih jauh, semua itu
sebenarnya salah siapa? Secara tegas, itu adalah salah orang-orang dewasa yang
telah menjadikan bumi ini makin rusak, sehingga makin tak layak huni bagi
sesama manusia yang miskin, maupun generasi-generasi mudanya. Kedua, itu adalah
salah orang dewasa karena telah memperkosa Ibu Bumi hanya untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi, terlalu rakus merampok hak sesama sehingga ada orang yang
amat kaya namun juga ada orang yang amat miskin meski hidup di bumi yang sama.
Ketiga, itu adalah salah orang-orang dewasa karena telah mengasingkan anak-anak
mereka, tidak mengajak anak-anaknya untuk hidup akrab dengan alam ciptaan. Orang-orang
dewasa justru menciptakan budaya dan teknologi yang membuat anak-anak muda
makin terasing dengan alam ciptaan.
Pada gilirannya,
orang-orang dewasa hanya bisa menyalahkan anak-anak muda yang tak mempunyai
kedekatan dengan alam. Anak-anak muda disalahkan karena hanya mau dekat dengan
gawainya daripada hidup dalam dunia nyata dan alam lingkungannya. Anak-anak
muda menjadi makin manja menaiki mobil atau sepeda motor canggihnya daripada
berjalan kaki ataupun naik angkutan umum. Sekali lagi penulis tegaskan,
bukankah itu salah orang-orang dewasa, baik yang memproduksi sarana-sarana itu maupun
yang mengonsumsinya dan ikut mengondisikan anak-anak mereka memakai
sarana-sarana tersebut?
Lalu, jika Ibu Bumi
sudah telanjur rusak, siapa yang akan menebusnya? Orang-orang dewasa sudah
terlalu kenyang dengan kerakusannya. Sebagian sudah mati, sebagian akan mati
dalam waktu dekat. Lalu, anak-anak penerus kehidupan ini yang akan menebus dosa-dosa
manusia pendahulunya? Oh, ini sungguh tidak adil. Orang-orang dewasa harus meminta
maaf pada anak-anak mereka dan segera menebus kesalahan mereka pada Ibu Bumi
yang juga berimbas pada kehidupan.
Peristiwa dua anak
kecil duduk di bebatuan di sungai bagi penulis menjadi pemantik orang-orang
dewasa segera untuk melakukan penebusan atas kesalahan yang telah diperbuat. Masih
ada kesempatan untuk melakukan penebusan dan pertobatan ekologis meski selama ini
manusia dilanda sifat rakus dan hidup dalam alam ciptaan yang diwarnai
kerusakan. Anak-anak masih bisa dekat dengan alam ciptaan karena sebenarnya
mereka memendam kerinduan kembali pada Ibu Bumi. Anak-anak kota yang tak
memiliki sungai, begitu melihat sungai, mereka selalu ingin menceburkan diri di
sungai dan bermain air sepuasnya. Maka, orang-orang dewasa melalui teknologi
yang dibuatnya, segera bertobat, tidak lagi menceraikan anak-anak dengan
lingkungan hidupnya.
Pertanyaan retorik Paus
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si,
pantas kita ulang terus menerus, “Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan
untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini sedang dibesarkan?
Masalah ini bukan hanya menyangkut lingkungan tersendiri, karena kita tidak bisa
mendekati masalah ini secara fragmentaris. Ketika kita bertanya tentang dunia
yang ingin kita tinggalkan, kita terutama berbicara tentang arahnya secara
keseluruhan, maknanya, nilai-nilainya (LS 160).”
Mari kita jawab
bersama-sama.
Posting Komentar untuk "Jangan Menceraikan Anak-anak dari Alam Ciptaan!"
Kesan/Pesan
Posting Komentar