Berelasi dengan Ciptaan, Berguru pada Ciptaan



 
Berguru pada ciptaan yang ada di sekitar kita
Suatu ketika berjalanlah di kebun ataupun hutan. Amatilah makhluk-makhluk yang ada di sana. Makhluk hidup maupun makhluk tak hidup. Lihatlah secara cepat, lalu pelan-pelan mulai detil mengamati. Jikalau perlu fokuslah pada satu makhluk. Amati secara seksama bagaikan kita sedang bercengkerama dengan seseorang secara hangat. Amatilah secara detil. Kali ini kita mencoba melihat dan merenungkan satu makhluk secara detil. Di situlah kadang kita mengalami sebuah rasa yang penuh pesona pada keindahan makhluk tersebut, kekaguman bahkan kengerian pada makhluk tersebut. Pada saat itulah sebenarnya kita sedang memosisikan diri sebagai makhluk yang tidak sendiri, namun berada bersama makhluk ciptaan lainnya.
            Saya, suatu ketika mengamati sekuntum bunga melati yang baru saja mekar pada malam hari di depan rumah. Harumnya semerbak. Saya pun tertarik untuk terus menghirup aroma wangi itu sekian lama di dekat kuntum melati itu. Sekuntum melati mengantarkanku pada sebuah pesona akan ciptaan. Betapa indahnya Sang Pencipta menjadikan ciptaan-Nya.
Saya menyadari bahwa selama ini saya berjarak pada bunga melati itu, melewatkannya begitu saja meski setiap hari bunga itu ada di depan rumah. Bahkan setelah ditelusur lebih jauh, saya bahkan sangat berjarak dengan ciptaan yang lain, meskipun sebenarnya, saya sangat melekat dengan ciptaan tersebut.
            Di tengah masifnya perusakan alam entah dengan motif ekonomi sesaat atau karena alasan apapun, kita sebenarnya berada dalam pertaruhan hidup. Ada pihak-pihak yang hidupnya terancam, namun ada juga pihak-pihak beruntung dengan mengambil terlalu banyak dari bumi ini. Ada yang menjaga bumi demi kelestarian ciptaan, namun ada juga yang merusak bumi demi memperkaya diri.
            Jika manusia lebih melihat ciptaan atau makhluk hanya sebagai komoditas atau instrumen, maka manusia dengan mudah akan mengeksploitasinya begitu saja. Makhluk lain hanya dipakai sebagai sarana memuaskan kepentingannya baik untuk kekayaan ataupun kesenangannya, tak peduli bahwa tindakan tersebut berpotensi mengganggu baik manusia maupun ciptaan lainnya.

            Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ mengingatkan kita. “Setiap tahun hilang ribuan spesies tanaman dan hewan yang tidak pernah akan kita kenal lagi, dan tidak pernah akan dilihat anak-anak kita, karena telah hilang untuk selamanya. Sebagian besar punah karena alasan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu” (LS 33).
            Dari peristiwa “perjumpaanku” dengan bunga melati, sepertinya kita perlu belajar untuk kagum atau terpesona pada ciptaan. Manusia perlu mengalami jatuh cinta kembali kepada ciptaan yang selama ini sudah ditinggalkannya atau hanya dijadikan instrumen pemuas kebutuhannya. Manusia perlu kembali menyadari bahwa keberadaannya tak pernah bisa lepas dari ciptaan lainnya.
Kalau direnungkan, keberadaan makhluk di luar manusia adalah cerminan manusia itu sendiri. Jika keadaan ciptaan di lingkungannya baik, maka manusia berada dalam kesejahteraan. Karena segala kebutuhan manusia sudah tersedia dengan amat baik di lingkungannya.
            Demikian juga sebaliknya, keadaan manusia juga mencerminkan situasi lingkungan hidupnya. Di balik manusia yang sejahtera, ada lingkungan yang amat baik melingkupinya. Tak bisa diingkari, manusia hanya hidup berkat ciptaan lainnya. Mungkin ciptaan lain bisa hidup tanpa manusia. Karena begitu tergantungnya manusia pada ciptaan lain, maka sebaiknya manusia memperbaiki cara hadirnya yang selama ini cenderung eksploitatif untuk selanjutnya berubah menjadi penjaga. Dengan memperbaiki cara hadirnya, manusia kembali memperbaiki cara berelasinya terhadap ciptaan lain.
            Dalam relasi itu, manusia diharapkan sampai pada keterpesonaan dan kekagumannya pada ciptaan. Manusia kembali jatuh cinta pada ciptaan dan mengagumi Sang Pencipta yang  begitu kuasa mencipta keindahan melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Manusia yang memiliki cinta adalah manusia yang mau memberikan dirinya. Dalam kaitannya dengan relasi dengan ciptaan, manusia diharap untuk mampu memberikan dirinya, tidak hanya mengambil yang sudah terlalu banyak selama ini.
Paus Fransiskus kembali mengingatkan dalam ensiklik Laudato Si’ akan pentingnya kekaguman pada ciptaan. “Karena semua makhluk terkait, masing-masing harus dihargai dengan kasih sayang dan kekaguman, sebab sebagai makhluk hidup kita semua saling bergantung.” (LS 42).
Orang yang kagum, terpesona apalagi mencintai pasti akan menghormati. Hal itu pun sama dengan relasi antara manusia dengan ciptaan. Seorang mantan pengajar waktu studi di Malaysia dan tinggal di keluarga petani terkesan dengan sepasang petani yang bekerja di ladangnya. Ketika bekerja di ladang, mereka melakukannya dalam keheningan. Hal itu dilakukan mereka sebagai bentuk penghormatan kepada makhluk hidup di sana. Bertani sejatinya adalah meminta tolong ciptaan lain untuk mengusakan hidup manusia. Maka, sebenarnya mereka menggantungkan hidup pada ciptaan lainnya.
Upaya merajut relasi kembali dengan ciptaan maupun dengan bumi terus diupayakan. Banyak orang yang sebenarnya tidak sanggup untuk lepas dari ciptaan atau bumi bahkan untuk seorang perusak ciptaan sekalipun.
Bumi dan ciptaan di dalamnya betapa penuh pesona. Selain memberi kehidupan melalui aneka hasil bumi yang bisa dikonsumsi, dengan segala keindahan dan kengeriannya juga memberikan inspirasi pada manusia akan makna hidup. Dengan kata lain, bumi dan ciptaan yang ada bagaikan kitab kehidupan yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan.
Tak jarang orang yang dilanda stres karena kesibukan di kota, tiba-tiba mengalami pencerahan setelah tinggal untuk sementara di lingkungan yang asri dan dipenuhi tetumbuhan yang lebat.
Inspirasi menarik yang sebenarnya juga terkait dengan keindahan bumi ini tampak dalam film Hannah Montana. Ada percakapan menarik antara Travis Brody (Lucas Till) dengan Hannah Montana (Miley Cirrus). “Hidup adalah sebuah pendakian. Namun, pemandangannya indah.” Kalau kita berfokus hanya pada pendakiannya, tentu beban berat akan semakin menggelayuti. Namun, ketika kita lelah lalu berhenti dan melihat pemandangan di bawah dengan bentangannya yang sangat indah, kita akan mengalami penghiburan. Dalam hal ini, penulis film tersebut melalui dialog aktor dan aktrisnya sedang mengajarkan sebuah nilai kehidupan yang didapat dari pengalaman berelasi dengan ciptaan seperti bukit, lembah, udara ataupun cuaca. Dan itu menjadi sebuah karya yang bisa meneguhkan siapapun dalam mengarungi kehidupan ini yang tak semulus dengan harapan yang dibayangkan.
Membangun relasi dengan ciptaan, dengan bumi adalah bagian hakiki dari persekutuan kehidupan yang tak mungkin bisa dicerai. Manusia hidup karena ada ciptaan lain. Tubuh manusia berkembang karena mengonsumsi makanan yang berasal dari ciptaan lainnya. Kebijakan manusia bertumbuh makin sempurna karena berelasi dengan ciptaan. Jadi, selain memberi kehidupan, ciptaan dan bumi ini adalah guru kehidupan yang senantiasa memantikkan inspirasi-inspirasi kehidupan yang membuat hidup manusia menjadi semakin bermakna. Inspirasi-inspirasi yang didapat dari relasi dengan ciptaan itulah yang membuat manusia bisa bertahan dalam kehidupan ini dan bisa memaknai kehidupan ini dengan penuh kebijakan.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk " Berelasi dengan Ciptaan, Berguru pada Ciptaan"