Tokoh Sedulur Sikep
Gunretno mengatakan kalau dirinya sudah menerapkan pertanian organik. Hal itu
terungkap dalam wawancara Anita Dhewy dengannya yang diterbitkan di Jurnal Perempuan, Edisi 90, Vol. 21 No. 3,
Agustus 2016.
Salah satu petikan jawabannya dalam
wawancara yang menarik itu adalah, “Aku tidak hanya berbicara teori tapi sudah
menjalankan pertanian organik selama 20 tahun. Kalau ditanya kenapa, ya
sederhana saja, ketika tanah kita cintai dengan sungguh-sungguh maka sebaliknya
kita juga akan dicintai.”
Pernyataan menarik lainnya adalah, “…ketika aku bertani
organik, targetku bukan untuk mencari untung, targetku adalah aku bisa
mengonsumsi beras yang sehat. Jadi tujuannya memang untuk diri sendiri. Berbeda
seperti misalnya kalau hasil produksiku meningkat aku bisa beli ini itu,..”.
Tersurat dan tersirat bahwa Gunretno
menerapkan pertanian organik adalah demi untuk mengonsumsi pangan sehat. Di
dalamnya juga ada nilai kesahajaan yaitu bertani bukan supaya bisa membeli
aneka produk yang sebenarnya bersifat konsumtif.
Namun
sayangnya, seiring
dengan itu, gerusan ekonomi kapitalistik telah
menghantam sistem perekonomian dan cara hidup masyarakat kita. Dalam ekonomi
kapitalistik tujuan berproduksi adalah untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya
yang kerap tak berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dampak
mengerikan gerusan ekonomi kapitalistik itu juga menghancurkan lingkungan hidup
kita. Untuk mengejar produksi, sistem dan pengelolaan pertanian tak ramah
lingkungan diterapkan. Tambang-tambang yang menghancurkan lingkungan dibuka. Di sinilah
sebenarnya perusakan keutuhan ciptaan terjadi. Bumi atau lingkungan rusak,
masyarakat sekitar terancam kehidupannya. Mereka kehilangan rasa keadilan dan
kesejahteraan karena ada ketimpangan ekonomi yang diakibatkan eksploitasi
lingkungan oleh pihak tertentu secara serakah. Dunia pertanian pun tersentuh semangat kapitalisasi itu. Salah
satunya adalah program Revolusi Hijau yang ditujukan untuk mengejar target
produksi beras.
Revolusi
hijau yang lebih menekankan target produksi telah menciptakan kerusakan
lingkungan. Menurut Gregorius Utomo, Pr dalam Gereja Indonesia Pasca Konsili
Vatikan II-Refleksi dan Tantangan (hal. 316), Revolusi Hijau dengan padi
ajaibnya menghasilkan yang lebih ajaib lagi yaitu hilangnya padi asli para
petani, dibunuhnya bumi dan kaum tani sendiri, sehingga tidak ada kaum muda
desa yang mau menjadi petani lagi.
Kondisi tersebut
sangat mengerikan sebab revlolusi hijau telah menggunakan bibit-bibit yang
sudah direkayasa, memakai pupuk dan obat-obatan pertanian yang justru merusak
lingkungan. Bumi terancam dalam kerusakan. Konsumen produk pertanian pun terancam
dalam bahaya keracunan obat-obat pertanian yang terakumulasi dalam produk pertanian yang kemudian berpindah
ke dalam tubuh konsumen. Jika hal ini dilakukan dalam jangka panjang, maka
kerusakan bumi, krisis lingkungan, dan terancamnya kehidupan manusia sudah
membayang di depan mata.
Menurut Gregorius
Utomo, Pr, menghadapi krisis lingkungan hidup dewasa ini, setiap kaum beriman
dipanggil untuk bersama-sama berpartisipasi dalam kedatangan Kerajaan Allah; bersama-sama
bangkit menghayati imannya dengan segenap hati, segenap budi, dan dengan
segenap kekuatannya. Sehingga hari Sabat dinikmati kembali oleh setiap ciptaan
Allah, seperti digambarkan dalam Kitab Suci (Ibid, hal. 318).
Menurutnya pula, semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia, diberkati bersama agar
masing-masing menjadi berkat satu dengan lainnya.
Dalam rangka
melindungi keutuhan ciptaan, maka perlu upaya pertobatan ekologis supaya manusia benar-benar menjadi
berkat bagi sesama ciptaan. Pertanian organik yang sebenarnya sudah
dilakukan nenek moyang kita
dulu menjadi jalan menuju pertobatan tersebut. Pertanian organik merupakan pertanian yang berusaha menyelamatkan kehidupan
baik manusia maupun ciptaan lainnya dan tempat hidupnya supaya semakin lestari
dan tetap memiliki daya dukung kehidupan. Di samping demi menghasilkan produk
pangan yang sehat, lingkungan hidup atau ekosistem pun tetap selamat. Olah tani
organik bukan untuk menggapai keuntungan produksi sehingga si petani bisa hidup
glamour dan mewah. Namun, sebenarnya itu semua demi kehidupan yang makin
berkualitas dan bermartabat, yang menghormati keutuhan ciptaan baik manusia,
ciptaan lainnya, maupun tempat hidupnya. Maka, wajar jika
Gunretno seperti
tertulis di bagian awal tulisan ini mengatakan, “ketika tanah kita cintai dengan
sungguh-sungguh maka sebaliknya kita juga akan dicintai”. Dalam situasi itulah sebenarnya
masing-masing ciptaan benar-benar saling menjadi berkat satu dengan yang lain.
Seiring dengan pertanian organik, maka
hidup organik mesti dikembangkan terus menerus. Hidup organik ini bisa dilakukan baik produsen (petani) maupun konsumen
atau pihak-pihak
yang berada di antara produsen dan konsumen. Ketiga pihak itu, jikalau mau
menerapkan semangat hidup organik, maka dalam cara hidup dan cara berekonominya
mestinya menghormati keutuhan ciptaan. Produk yang dihasilkan adalah produk
yang sehat dan tidak mengancam kehidupan. Cara hidupnya pun adalah cara hidup
yang ramah pada ciptaan lainnya.
Untuk menerapkan hidup organik
seseorang tidak harus menjadi petani. Namun, siapapun orang dengan berbagai
profesi yang dicintainya, dia bisa menerapkan hidup organik tersebut. Semua itu
semata-mata demi keutuhan ciptaan, martabat,
kesejahteraan umum dan keberlangsungan generasi mendatang. Tuhan sudah
menciptakan segala sesuatunya baik adanya.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ tentang Merawat Bumi sebagai
Rumah Bersama menegaskan kalau konsep
kesejahteraan umum juga meluas kepada generasi mendatang. Krisis ekonomi global telah
menunjukkan sangat jelas kerugian yang diakibatkan bila kita mengabaikan nasib
kita bersama yang juga menyangkut orang-orang yang datang sesudah kita. Kita
tidak bisa lagi berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi.
Ketika kita memikirkan keadaan dunia yang kita tinggalkan untuk generasi
mendatang, kita mulai berpikir dengan cara yang berbeda, sadar bahwa dunia adalah
hadiah yang telah kita terima secara gratis dan yang kita bagi dengan yang lain
(LS 159).
Berkat
yang sudah diterima generasi saat ini mesti dikelola dengan baik. Alangkah
tidak adilnya, jika kita yang sudah menikmati berkat yang melimpah dari Tuhan
melalui segala ciptaan-Nya, kita justru menghabiskannya, merusaknya dan memakainya
seturut nafsu ekonomi kita. Sungguh tidak adil, jika anak-cucu kita hanya
melihat gambar-gambar hewan ataupun tumbuhan saja sementara yang aslinya sudah
punah. Dan sampai saat ini, kepunahan spesies masih terus terjadi akibat cara
hidup kita yang tidak ramah lingkungan.
Mungkin
di antara kita ada yang terlibat sebagai pelaku perusakan bumi, langsung
ataupun tidak langsung. Ataupun meskipun kita bukan pelaku, namun kita memilih
diam ketika melihat orang lain sedang merusak bumi ini. Sementara itu, kita
mungkin dengan tenangnya menikmati anugerah Tuhan itu melalui segala yang
tercipta di bumi ini, bahkan kita memperkaya diri kita dengan mengambil segala
sesuatu sebisa kita, bahkan kalau perlu merebut dari sesama kita. Betapa
jahatnya!
Kembali
kepada semangat yang digumuli Gunretno tentang hidup organik yang dilakukannya
dalam pertanian organik demi pangan sehat dan hidup sahaja, rasa saya kita
sudah waktunya untuk melakukan pertobatan ekologis dengan menerapkan hidup
organik tersebut demi masa sekarang maupun demi masa depan. Demi keadilan
antarsesama ciptaan maupun demi keadilan antargenerasi.
Posting Komentar untuk " Hidup Organik"
Kesan/Pesan
Posting Komentar