Sektor
pariwisata menjadi pendapatan negara yang signifikan, terlebih dengan
meningkatnya jumlah wisatawan mengunjungi obyek-obyek wisata di tanah air.
Menurut Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dalam siaran persnya, jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Agustus 2016 kembali
tembus angka di atas 1 juta wisman (1.031.986 wisman) atau mengalami
peningkatan sebesar 13,19% dibandingkan bulan Agustus 2015 yang sebesar 911.704
wisman. Sebelumnya, pencapaian angka 1 juta wisman juga terjadi untuk
pertama kali pada Juli 2016 yang lalu (1.032.741 wisman).
Menurut Menteri Pariwisata
RI Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.
dalam Sambutan Peringatan World Tourism
Day dan Hari Kepariwisataan Nasional 2015, kinerja kepariwisataan nasional,
secara akumulatif sampai bulan Juli 2015 kunjungan wisman sebanyak 5.472.050
wisman atau tumbuh 2,69% dibandingkan periode yang sama (Januari-Juli) 2014
sebanyak 5.328.732 wisman. Penerimaan devisa diperkirakan mencapai US$
5,5 miliar dengan perkiraan pengeluaran wisman per kunjungan sebesar US$
1.187,88.
Tentu, data
tersebut menunjukkan pendapatan yang tak sedikit, belum lagi ditambah kunjungan
wisatawan domestik yang juga semakin menggerakkan roda ekonomi usaha-usaha di sekitar
sektor pariwisata. Intinya, pendapatan dari sektor pariwisata maupun pendapatan
akibat pariwisata menjadi semakin siginifikan melimpah.
Namun, di tengah
pendapatan yang tinggi dari sektor pariwisata, ada jejak-jejak masalah yang
tertinggal yakni, permasalahan rusaknya lingkungan hidup. Kerap kali, ketika
destinasi wisata baru khususnya wisata alam dibuka, pihak pengelola seolah
tidak siap untuk menjamin keselamatan dan kelestarian lingkungan alam tersebut.
Hal itu diperparah oleh tak sedikit wisatawan yang tidak mempunyai kesadaran
tinggi akan pentingnya melestarikan alam dan menjaga keselamatan bersama semua
makhluk ciptaan.
Maka, sudah
seperti menjadi kebiasaan, di samping rusaknya vegetasi, terganggunya fauna di
beberapa area tempat wisata, rusaknya kontur tanah, sampah yang tak terkelola
dengan baik, dapat dengan mudah dijumpai di beberapa tempat. Dan itu sangat
mengganggu keberadaan makhluk hidup.
Jika hal ini
tidak segera ditangani dengan baik, maka, permasalahan dalam dunia pariwisata
akan semakin menggunung. Alih-alih meningkatkan pendapatan, pamor pariwisata justru
semakin melorot tajam. Bahkan bencana ekologis menghadang. Kerugian menanti di
depan mata.
Religiusitas
kepariwisataan
Kerusakan-kerusakan
yang bisa berdampak pada bencana ekologis harus disikapi. Di samping membenahi
cara mengelola pariwisata yang ramah lingkungan, aspek religius kepariwisataan
mesti dihidupi baik oleh pengelola wisata maupun oleh wisatawan itu sendiri. Pengelola
wisata menjadi pihak pertama yang wajib menghayati nilai religiusitas
kepariwisataan.
Menurut mendiang
Mangunwijaya (1982), religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah
dihayati oleh individu di dalam hati dan pada giliran selanjutnya adalah mengamalkannya
dalam tindakan nyata. Religiusitas kepariwisataan menurut hemat penulis adalah penghayatan yang didasarkan pada pengalaman
akan Tuhan melalui kepariwisataan yang merengkuh segala ciptaan Tuhan yang
tersaji dalam obyek wisata.
Dengan
religiusitas kepariwisataan, wisatawan diharapkan bisa mampu bersyukur akan
anugerah Tuhan melalui keindahan alam dalam tempat-tempat wisata. Wisatawan
tidak hanya mengalami kegembiraan atau kesenangan inderawi yang hanya berakhir
pada kenikmatan badani saja. Alam dalam tempat wisata tak hanya diindera tetapi
juga dialami dengan segenap rasa hati dan diolah sebagai pengalaman rohani akan
kebesaran Tuhan sehingga muncul rasa syukur yang tak terperi yang berakibat
pada munculnya komitmen atau panggilan untuk melestarikan alam ciptaan Tuhan
dalam kehidupan sehari-hari di tempat masing-masing.
Baik sistem,
perangkat, maupun insan pariwisata mesti disiapkan untuk mewujudkan
religiusitas kepariwisataan. Salah satu hal praktis
yang
bisa dilakukan
oleh pihak pengelola pariwisata adalah menuliskan petikan filosofi atau ayat-ayat
dari berbagai tradisi dan agama yang berisi ajakan untuk melestarikan ciptaan
di tempat-tempat umum di sekitar obyek wisata.
Tentang hal ini, Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc
menegaskan ada tiga norma
penerapan nilai yang dikandung dalam prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan. Salah satunya adalah, kepariwisataan berbasis
lingkungan. Menurutnya, alam mempunyai kedudukan yang sama sebagai ciptaan
Tuhan, menggunakan alam dan sekaligus melestarikannya agar dapat dimanfaatkan
oleh generasi yang akan datang.
Dr. A. Sonny
Keraf dalam bukunya, “Filsafat Lingkungan Hidup” menegaskan relasi manusia
dengan alam. Manusia membutuhkan kelangsungan ekosistem dengan seluruh isinya
demi kelangsungan kehidupan dan eksistensinya sebagai manusia (Keraf, 2014:91).
Maka, religiusitas
kepariwisataan adalah salah satu jawaban akan jaminan kelestarian alam ciptaan
dan keselamatan manusia itu sendiri melalui sektor pariwisata.
Posting Komentar untuk "Mencecap Religiusitas Kepariwisataan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar