Merapi
Memandang lereng
merahmu
Menyala membelah
gelap malam
Bagai permadani
terang
Duduk diam
terkesima
Dibelai angin
Jiwa lirih
tergetar
Masih terus
membayang
Gemuruh
bersahutan
Lembah hijau
terusik
Ribu doa
terpanjat
Makna menghambur
tinggi
Kuterbawa dalam
alun legenda
Betapa kau
dipuja insan sebagai pertanda
Saksi dunia kita
makin menua
Dalam harap
hidup damai kan tetap terjaga
Oh ... engkau Merapi
Oh ... engkau
Merapi
Hadirmu memberi
Kesuburan
sekitar
Dari masa ke masa
Tetap tegar
berdiri
Dingin penuh
wibawa
Itu adalah lirik lagu
berjudul Merapi yang dicipta Katon Bagaskara dalam album Harmoni Menyentuh dan
dirilis pada tahun 1997. Melalui lagu yang diciptanya, Katon berusaha mengungkapkan
kekagumannya pada gunung Merapi di samping menyiratkan sebuah kegentaran akan kedahsyatan
Merapi. Di samping kengeriannya, Katon juga memaparkan “kebaikan” Merapi yang
juga memberikan kesuburan dan penghidupan.
Tentu saja, lahirnya
lagu tersebut diawali dari sebuah proses yang tak seketika. Di dalamnya, ada
proses melihat, menangkap kesan dan merefleksikannya hingga menjadi lirik tertentu. Proses itulah yang
sebenarnya penting, dan baiknya dilalui setiap manusia yang sebenarnya adalah
makhluk yang bisa berefleksi pada gejala atau realitas kehidupan di sekitarnya.
Sayangnya, manusia
zaman sekarang hidup dalam irama yang serba cepat, tergesa bahkan artifisial. Alam
ciptaan yang ada di sekitarnya dan bahkan yang menunjang hidupnya selama ini
dilewatkan begitu saja. Akibatnya, kehadiran alam ciptaan yang sebenarnya dekat
dan menopang hidupnya, tak disadari. Karena tak disadari maka kekaguman tidak
muncul pada manusia atas alam ciptaan itu sendiri. Manusia tidak menemukan
kehadiran Allah Sang Pencipta pada ciptaan yang sangat beragam itu.
Paus Fransiskus melalui
ensiklik Laudato Si’ mengatakan bahwa
banyak orang mengalami ketidakseimbangan mendalam yang mendorong mereka
melakukan segalanya dengan kecepatan tinggi yang memberi mereka perasaan sibuk,
selalu terburu-buru yang, pada gilirannya, menyebabkan mereka melangkahi semua
yang ada di sekitarnya. Hal ini berdampak pada cara mereka memperlakukan
lingkungan (LS 225). Situasi seperti itu sebenarnya mencerminkan kondisi
manusia yang digelayuti ketidakdamaian batin.
Paus menegaskan bahwa
kedamaian batiniah manusia sangat berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan
kesejahteraan umum, karena, bila dihayati secara otentik, damai itu
mengejawantah dalam gaya hidup seimbang, yang disertai kemampuan untuk
terpesona, yang menjadikan hidup kita semakin mendalam. Alam dipenuhi kata-kata
cinta, tetapi bagaimana kita dapat mendengarkannya di tengah-tengah kebisingan
yang kontinyu, kecemasan yang terus mengganggu, atau kultus penampilan? (ibid).
Selain disita oleh
kesibukan, perhatian manusia pada alam ciptaan juga banyak yang terseret pada kuatnya
arus rasio yang berkiblat hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan yang
makin parah adalah alam ciptaan diperlakukan bak mesin yang bisa direkayasa dan
dimodifikasi demi kepentingan manusia. Pada giliran berikutnya, alam ciptaan
hanya menjadi obyek eksploitasi. Dalam kondisi inilah, manusia sebenarnya sudah
kehilangan rasa keheranan dan kekagumannya. Manusia tidak puitis lagi seperti penulis
Mazmur yang kerap mengungkapkan pujian dan kekaguman akan Tuhan dengan
menggandeng ciptaan.
“Haleluya!
Pujilah TUHAN di sorga, pujilah Dia di tempat tinggi! Pujilah Dia, hai segala
malaikat-Nya, pujilah Dia, hai segala tentara-Nya! Pujilah
Dia, hai matahari dan bulan, pujilah Dia, hai segala bintang terang! Pujilah
Dia, hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit!
Baiklah semuanya memuji nama TUHAN, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya
tercipta. Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi
ketetapan yang tidak dapat dilanggar. Pujilah TUHAN di bumi, hai ular-ular naga
dan segenap samudera raya; hai api dan hujan es, salju dan kabut, angin
badai yang melakukan firman-Nya; hai gunung-gunung dan segala bukit, pohon
buah-buahan dan segala pohon aras: hai binatang-binatang liar dan segala hewan,
binatang melata dan burung-burung yang bersayap; hai raja-raja di bumi dan
segala bangsa, pembesar-pembesar dan semua pemerintah dunia; hai teruna dan
anak-anak dara, orang tua dan orang muda! Biarlah semuanya memuji-muji TUHAN,
sebab hanya nama-Nya saja yang tinggi luhur, keagungan-Nya mengatasi bumi dan
langit. Ia telah meninggikan tanduk umat-Nya, menjadi puji-pujian bagi semua
orang yang dikasihi-Nya, bagi orang Israel, umat yang dekat pada-Nya. Haleluya!”
(Maz: 148:1-14).
Kuatnya rasio yang didukung
ilmu pengetahuan dan teknologi kadang dipakai tidak hanya demi kesejahteraan
dan keselamatan bersama namun demi sebuah ambisi menguasai, yakni dengan dengan
rasio dan kepandaiannya, manusia menjadikan yang lain sebagai obyek pemuas
nafsu saja.
Sudah saatnya manusia mengakhiri
gaya hidup yang menganggap dan menjadikan alam ciptaan sebagai mesin yang
direkayasa sedemikian rupa dengan kepongahannya. Kita saatnya kembali kepada
relasi yang mesra dengan ciptaan dan dengan bumi. Kita kembalikan rasa kagum
kita akan keindahan dan kedahsyatan ciptaan Tuhan.
Kita perlu memperlambat
langkah hidup kita. Kita perlu mengamati realitas dengan seksama, mengamati
ciptaan dengan segenap rasa dan hati. Hingga pada saatnya, kita kagum dan
terpesona betapa indahnya ciptaan itu. Betapa agungnya Sang Pencipta yang
tecermin dalam ciptaan itu.
Alam ciptaan bukanlah
mesin yang bisa direkayasa sedemikian rupa sesuai keinginan manusia. Alam
ciptaan adalah guru yang mengajarkan banyak hal. Manusia untuk memperbaiki cara
hidupnya di dunia ini harus belajar dan berguru pada alam ciptaan. Sebab, jika
kita renungkan lebih dalam, manusia hanyalah makhluk kecil dibanding jagad raya
ini. Manusia yang harus menyesuaikan dengan irama dan hukum alam semesta.
Manusia juga dianugerahi
akal budi dan perasaan yang membuatnya bisa menjadi makhluk yang berbudaya.
Manusia juga bisa berefleksi akan kejadian yang terjadi di sekitarnya dan bisa
melakukan tindakan tertentu berdasar kejadian di sekitarnya itu. Namun yang tak
kalah pentingnya manusia adalah makhluk yang bisa menangkap keindahan dan
pesona bahkan kengerian di sekitarnya. Bahkan dari hal itulah lahir puisi
sebagai refleksi akan rasa kagum akan keindahan maupun rasa gentarnya melihat
peristiwa di sekitarnya.
Paus Fransiskus
mengingatkan pentingnya memperhatikan keindahan. Menurutnya, memperhatikan
keindahan, dan mencintainya, membantu kita keluar dari sikap mencari kegunaan
praktis saja. Ketika seseorang tidak belajar mengambil waktu untuk mengamati
dan menghargai apa yang indah, jangan heran kalau segala benda baginya menjadi
obyek untuk digunakan dan disalahgunakan tanpa merasa bersalah (LS 215).
Duduklah di sebuah
tempat, lalu mata memandang beberapa saat pada sebuah gunung di kejauhan sana
dengan hamparan pemandangan yang luas! Itu salah satu cara membantu kita
menangkap keindahan. Dengan berbagai teori dan pengetahun tentang alam kita
kolaborasikan dengan rasa perasaan yang muncul, pasti akan muncul kesan
tertentu. Hal ini perlu dilatih. Mungkin awalnya tidak peka dan sulit, namun
percayalah kita akan mampu menangkap keindahan atau kengerian itu ketika kita
setia merajut relasi dengan ciptaan. Hanya dengan merajut relasi yang erat kita
akan tahu yang sebenarnya akan alam ciptaan ini. Ketika seseorang sampai pada
kekaguman dan kegentaran akan ciptaan, ia akan menghargai ciptaan, dan bahkan
yang terpenting, ia terpesona pada Sang Pencipta yang melampaui ciptaan itu
sendiri.
Posting Komentar untuk "Terpesonalah pada Alam Ciptaan!"
Kesan/Pesan
Posting Komentar