Syukur atas
anugerah kehidupan
Ketika membaca narasi penciptaan dalam
Kitab Kejadian, kita merasa takjub. Betapa indahnya, Allah telah menciptakan
segala sesuatu dari ketiadaan. Kalau kita memvisualisasikan dalam pikiran kita,
tampak keindahan di sana. Dan benar, bahwa ciptaan Allah itu sungguh indah. Banyak
orang suka melihat gunung gemunung yang menjulang tinggi kebiruan. Banyak orang
suka bepergian ke pantai. Selain menikmati suasana pantai yang indah, seseorang
bisa dibuat kagum akan kuasa Allah. Gemuruh ombak yang kadang menggelegar,
gelombang air laut yang tak kenal lelah, air yang asin membuat kita takjub pada
Allah Pencipta.
Yang mungkin sederhana namun sering
terlewat adalah keajaiban pohon. Sebuah pohon membuat kita terpana akan
kemahakuasaan Allah. Pohon mengeluarkan oksigen, sehingga membuat udara jadi segar.
Ada narasi indah, ketika berbincang tentang fotosintesa, proses ajaib pohon
dengan bantuan air dan matahari serta karbon dioksida bisa menghasilkan oksigen
sehingga bisa membuat makhluk lain hidup.
Kita pun kagum, alam ini telah
menyediakan segala sesuatunya terutama manusia mulai dari udara, pangan, air
dan tempat hidup. Semua ciptaan itu sungguh indah.
Apa yang terjadi
sekarang?
Sayangnya,
banyak ciptaan Allah yang terancam punah, bahkan tak sedikit yang sudah punah. Tak
terhitung pula ciptaan Allah yang rusak dan tercemar karena ulah manusia dan
semua itu bahkan menuju fase krisis yang mengkhawatirkan bahkan menjadi bencana
ekologis. Mantan Menteri lingkungan hidup RI, A. Sonny Keraf dalam Krisis dan
Bencana Lingkungan Hidup Global (2010) menulis beberapa contoh krisis dan
bencana lingkungan yaitu kerusakan lingkungan hidup (kerusakan hutan, kerusakan
terumbu karang, kerusakan lahan, kerusakan ozon), pencemaran lingkungan hidup (pencemaran
udara, pencemaran air, pencemaran laut, sampah), kepunahan sumber daya alam dan
lingkungan hidup (kepunahan keanekaragaman hayati, kepunahan mata air,
kepunahan sumber daya alam), kekacauan iklim global, dan masalah sosial terkait
dampak lingkungan hidup.
Akhir-akhir ini,
hutan mengalami penggundulan yang masif karena banyak pohon ditebang, kayu-kayu
dijarah. Demikian juga alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur seperti
sawit membuat daya dukung terhadap tanah menururun. Cadangan air menurun.
Terumbu karang
pun mengalami nasib yang serupa. Tak sedikit nelayan yang menangkap ikan dengan
menggunakan peledak. Padahal terumbu karang menjadi habitat biota laut. Tak
jarang pula nelayan menggunakan racun untuk menangkap ikan.
Tanah-lahan saat
ini, karena ulah manusia, mengalami krisis yang mengkhawatirkan. Karena hutan
ditebang, tanah mudah longsor ketika terkena hujan. Penggunaan pupuk kimia yang
berlebihan membuat tanah menjadi tandus. Ini akibat dari kebijakan intensifikasi
pertanian beberapa waktu lalu.
Lapisan ozon
mengalami kerusakan. Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfer yang berfungsi
untuk menyaring sinar ulraviolet sebelum sampai ke bumi. Dengan rusaknya ozon, sinar
ultraviolet langsung terpancar ke bumi dan membahayakan bagi makhluk bumi.
Semua itu akibat dari penggunaan bahan kimia misalnya klorofluorokarbon (CFC), bahan
bakar fosil yang menghasilkan CO2 dan NO2. Lapisan ozon yang rusak menyebabkan
pemanasan global.
Udara saat ini
tercemar oleh gas-gas emisi misalnya asap bahan bakar fosil yang dipakai
kendaraan dan asap pabrik. Udara yang tercemar mengganggu pernafasan manusia. Banyak
orang-orang kota yang saluran pernafasannya terganggu akibat udara yang
tercemar. Pencemaran udara juga menjadi kontributor pemanasan global.
Pencemaran air
saat ini begitu mengerikan. Banyak sungai-sungai yang terkena limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan bahan-bahan kimia berbahaya.
Akibatnya, air tidak lagi layak untuk diminum. Sungai bagaikan tempat sampah
raksasa. Orang harus membeli air kemasan untuk minum air minum. Dengan demikian
air menjadi semakin mahal.
Pencemaran laut juga
terjadi. Hal itu karena sungai yang tercemar oleh polutan atau sampah yang mengalir
dari hulu ke muara dan masuk ke lautan. Demikian juga pencemaran laut terjadi
karena tumpahan minyak pengeboran minyak lepas pantai atau dari kapal tanker
yang bocor. Banyak makhluk hidup di laut yang terganggu kehidupannya bahkan
harus mati.
Akibat
industrialisasi dan pola konsumsi yang berubah, sampah makin banyak. Jika dulu
sampah di kebun hanya dedaunan atau satu dua bungkus plastik, sekarang berbagai
sampah bekas pembungkus berbahan plastik, kaca, dan styrifoam banyak bertebaran.
Padahal kedua sampah jenis itu susah diurai. Hal itu tidak diimbangi dengan
pengelolaan sampah yang baik. Sampah bisa dihasilkan oleh pabrik maupun rumah
tangga. Akibatnya sampah menjadi permasalahan.
Kepunahan sumber
daya alam dan lingkungan hidup makin nyata. Banyak spesies burung yang punah. Demikian
juga beberapa spesies yang lainnya. Semua itu karena lingkungan hidup spesies
tersebut yang rusak dan karena perburuan liar. Mata air banyak yang kering
karena sudah tak didukung oleh hutan atau tetumbuhan penyimpan air akibat
penggundulan liar tanpa reboisasi. Bank Dunia meramalkan tahun 2025 dua pertiga
penduduk dunia akan kesulitan memperoleh air bersih dan air minum (Suhardi
Suryadi, dalam, “Air: Hak atau Komoditas,” Kompas, 23 Maret 2010, hlm 6). Debit
air sungai juga menurun. Cadangan energi pun menipis karena penggunaan energi
yang berlebihan.
Iklim global
telah kacau. Suhu bumi mengalami kenaikan akibat pemanasan global. Yang
mestinya musim kemarau, hujan dengan frekuensi yang tinggi. Yang mestinya musim
hujan, ternyata lebih banyak keringnya. Yang satu kekeringan dalam waktu
bersamaan yang lain kebanjiran. Cuaca-musim kacau. Akibatnya, dunia pertanian
mengalami gangguan dan gagal panen. Kekacauan iklim juga memunculkan badai
tropis dan penyakit-penyakit aneh.
Akibat
lingkungan hidup yang rusak muncul masalah sosial yang menciptakan
ketidakadilan. Pemilik modal lebih banyak mendapatkan keuntungan karena bisa
mengeksploitasi sumber daya alam, sementara rakyat yang di sekitar sumber daya
hanya mendapat dampak buruknya saja. Ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan. Ketidakadilan
juga terjadi antara generasi terdahulu dengan generasi yang akan datang.
Lingkungan yang rusak juga mengancam
ketahanan pangan. Akibat panenan gagal yang disebabkan oleh iklim-cuaca yang
kacau maka produksi pangan berkurang. Intensifikasi pertanian yang memakai
pupuk dan pestisida kimiawi juga meninggalkan bahaya pada manusia maupun
spesies lainnya yang mengonsumsinya.
Budaya membuang yang parah telah menjadi
bagian hidup kita. Kita kerap kali memakai barang sekali pakai, sehingga
menimbulkan sampah yang menggunung. Kita terkena budaya instan.
Jika demikian, seperti yang ditanyakan
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si (LS) harus kita jawab. “Dunia macam
apa yang ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak
yang kini sedang dibesarkan? (LS 160). Terlebih, kita pada saat ini sudah
menikmati dan mengambil berkat dari ciptaan yang dianugerahkan Allah pada kita.
Masihkah kita tega mengambil semuanya, hanya untuk kita, tanpa mewariskan
kepada anak-cucu kita? Apakah kita akan merampok dan merebut hak waris
anak-cucu kita hanya untuk kita nikmati saat ini?
Akar krisis dan
bencana lingkungan hidup
Kalau diperhatikan, krisis dan
kerusakan-bencana lingkungan hidup banyak diakibatkan oleh manusia demi meraih
keuntungan ekonomi. Sony Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global
(2010:79) menulis, sebab paling fundamental dari krisis dan bencana lingkungan
hidup global dewasa ini bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam
pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, tentang alam, dan tentang
tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Menurut Keraf, kesalahan cara
pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai dan
berharga pada dirinya sendiri, sementara alam dan segala isinya yang lain hanya
sekadar sarana atau alat untuk memenuhi kepentingan manusia. Akibat cara
pandang tersebut, manusia memandang dirinya sebagai penguasa bahkan ia pun
merasa berhak eksploitasi terhadap ciptaan.
Sedangkan Paus Fransiskus dalam LS
menyinggung akar krisis ekologi terdapat pada suatu cara memahami hidup dan
aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga
merugikannya (LS 101). Hal itu terlihat dalam kemajuan teknologi yang meskipun
telah membawa banyak kemajuan, namun juga telah memberikan kekuasaan lebih pada
manusia yang tak jarang juga menimbulkan penyalahgunaan. “....campur tangan
manusia berniat memeras sebanyak mungkin segala benda, sambil mengabaikan atau
melupakan kenyataan yang ada di depannya. Itulah sebabnya manusia dan
benda-benda alam tidak lagi ramah saling mengulurkan tangan; hubungan telah
menjadi konfrontatif. Dari situ orang dengan mudah menerima gagasan pertumbuhan
tanpa batas, yang telah menggairahkan banyak ekonom, pemodal, dan teknolog” (LS
107).
Paradigma teknokratis juga cenderung
untuk mendominasi bidang ekonomi dan politik. Ekonomi menerima setiap kemajuan
teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatif
bagi manusia (LS 109).
Keraf dalam Filsafat Lingkungan Hidup
(2014: 56-57) melihat, munculnya pemujaan akan kemampuan akal budi manusia mempengaruhi
juga cara pandang manusia terhadap alam semesta. Alam tidak mempunyai kemampuan
rasional sebagaimana halnya tubuh. Dan karena itu, alam dianggap tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Alam hanya dipahami bagaikan sebagai
sebuah mesin raksasa yang bisa dimanipulasi dan dieksploitasi sedemikian rupa
demi keuntungan manusia.
Paus Fransiskus menegaskan,
antroposentrisme modern, secara berlawanan, akhirnya menaruh pola pikir teknis
di atas realitas, karena manusia tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang
berlaku, atau sebagai tempat berlindung yang hidup. Ia melihat alam tanpa
prasyarat, sebagai obyek, sebagai ruang, dan bahan untuk dikerjakan. Segalanya
dibuang ke situ, tidak peduli apa yang terjadi (LS 115).
Refleksi: Allah
pencipta, manusia, alam semesta dan ciptaan
Dalam narasi kitab Kejadian khususnya
kisah penciptaan, manusia diciptakan Allah setelah segala sesuatunya diciptakan
lebih dulu. Jadi, manusia adalah ciptaan Allah yang paling bungsu. Dengan kata
lain, sebagai sesama ciptaan Allah, kita semua adalah saudara. Allah melihat
segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kejadian 1:31).
Santo Fransiskus melihat segala ciptaan
Allah sebagai saudara-saudari karena ia melihat semuanya diciptakan oleh Bapa
yang sama. Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus melihat, Santo Fransiskus adalah
contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi yang
integral, yang dihayati dengan gembira dan otentik. Dia adalah mistikus dan
peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan dalam harmoni yang indah dengan
Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri (LS 10).
Thomas Berry menyebut, alam semesta bukanlah kumpulan obyek,
namun persekutuan subyek-subyek. Sebagai subyek, maka masing-masing anggota
alam memiliki hak. Thomas Berry dalam Kosmologi Kristen menulis, dunia
ciptaan membentuk komunitas tunggal dengan bumi. Begitu dekatnya manusia dengan
setiap makhluk lain di planet, sehingga kita perlu mengatakan bahwa komunitas
manusia dan alam akan menuju masa depan sebagai satu komunitas tunggal (127).
Percaya atau tidak, segala ciptaan sebenarnya saling
terhubung antar satu dengan yang lain membentuk jaring-jaring kehidupan dan
rantai makanan. Punahnya satu ciptaan akan berpengaruh pada ciptaan yang lain
yang terajut dalam jejaring kehidupan. Manusia hanya bisa hidup dalam relasi
tersebut. Manusia tak bisa terpisahkan dari relasi dengan ciptaan lain. Maka, manusia
adalah makhluk ekologis, yaitu makhluk yang selalu berada dan menggantungkan
hidupnya pada lingkungan hidupnya dan pada ciptaan-ciptaan lainnya.
Panggilan
melestarikan alam ciptaan
Manusia dipanggil untuk menjadi
penjaga ciptaan. Manusia dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara taman
dunia (Kej 2:15). Sementara “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau
mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat,
mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam
(LS 67).
Santo Yohanes Paulus II dalam Pesan
untuk Hari Perdamaian Dunia tahun 1990 menulis, orang-orang Kristen, khususnya,
tahu bahwa tugas mereka dalam dunia ciptaan dan tanggung jawab mereka terhadap alam
dan Sang Pencipta merupakan bagian integral dari iman mereka.
Lingkungan alam adalah harta kita
bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Jika sesuatu
dijadikan milik kita sendiri, itu hanya untuk mengelolanya demi kesejahteraan
semua (LS 95).
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
melalui nota pastoral Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan
(2013) menegaskan di antara segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya makhluk
yang secitra dengan Allah (bdk. Kej. 1:27). Sebagai citra Allah, manusia
mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri,
menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk
ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja Allah dalam menata, menjaga,
memelihara dan mengembangkan seluruh alam semesta. Allah memberikan kepercayaan
kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan bijaksana alam semesta ini
serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara semua ciptaan (bdk.
Kej. 2:15) (no. 10).
Maka, jelas bahwa manusia adalah mitra
Allah dalam mengelola alam ciptaan ini. Sebagai mitra Allah yang telah
menciptakan segala sesuatu baik adanya, maka kita dipanggil untuk menjaga
keutuhan ciptaan itu. Manusia hendaknya tidak merusak ciptaan yang indah.
Apa yang harus
kita lakukan?
Demi keutuhan ciptaan dan keberadaan
dirinya, manusia harus memperbaiki cara hadirnya. Yang awalnya manusia hadir
untuk mengeksploitasi alam ciptaan dan sesamanya karena alasan keuntungan
ekonomi sudah saatnya manusia melakukan pertobatan ekologis. Manusia kembali
menjadi mitra Allah. Manusia menjadi penjaga dan pemelihara alam ciptaan. Ada
aksi konkret yang bisa dilakukan.
Pertama, menerapkan gaya
hidup ekologis. Manusia perlu memperbaiki cara produksi maupun konsumsinya.
Manusia harus mempertimbangkan setiap produk dan jasa yang dihasilkan
dipastikan tidak mengancam keutuhan ciptaan. Misalnya, membangun industri ramah
lingkungan. Dalam hal konsumsi, manusia dipanggil untuk memastikan bahwa produk
yang dikonsumsinya ramah lingkungan. Misalnya, bahan-bahan yang organik, minim
sampah, dan tidak mencemari lingkungan.
Kedua, menghemat penggunaan
energi sedemikian rupa dan beralih kepada energi ramah lingkungan. Saat ini ada
komunitas segawe yaitu sepeda kanggo nyambut gawe, misalnya, itu menjadi
alternatif dalam penyelematan lingkungan dan penghematan energi.
Ketiga, menjaga lahan, hutan,
sungai, air, laut dari ancaman kerusakan. Ada upaya-upaya baik misalnya
memberkati sumber-sumber air supaya disucikan. Dengan demikian, warga
masyarakat menghormati sumber-sumber air tersebut.
Keempat, mengelola
sampah sebisa mungkin. Sampah organik dibuat pupuk organik. Sampah anorganik dikelola
dalam proses reduce, reuse, recycle, dan
sebisa mungkin pantang sampah anorganik misalnya dengan membawa tas belanja
sendiri atau memilih bahan-bahan organik sebagai kemasan.
Keempat, memilih dan
mengonsumsi pangan organik sekaligus mengampanyekannya. Karena dengan demikian,
kita sebenarnya sedang memperjuangkan keutuhan ciptaan.
Kelima, mendorong komunitas adat, Gereja
dan masyarakat untuk melestarikan keutuhan ciptaan.
Keenam, mengadvokasi
korban-korban ketidakadilan ekologi.
Posting Komentar untuk "Mensyukuri Keutuhan Ciptaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar