Sejak kecil, kita sudah kerap mendengar
peribahasa hemat pangkal kaya, boros pangkal miskin. Bahkan hal itu
berulang-ulang disampaikan oleh guru-guru di sekolah maupun oleh orang-orang
tua kita. Dan hal itu membuat kita begitu yakin bahwa itu akan terjadi. Tak jarang kita pun berusaha melakukan semua itu. Ada
yang berhasil, namun juga sebaliknya, ada yang tak berhasil. Misalnya, dengan
menghemat uang jajan, kita pada waktu kecil bisa membeli mainan karena hasil
dari penghematan itu kita tabung dan pada saatnya terkumpul cukup banyak uang sehingga bisa untuk membeli mainan yang bagus. Namun,
ada pula yang tidak bisa membeli mainan atau membeli yang diinginkan karena
begitu uang terkumpul cukup banyak, pada saat itu pula ada kebutuhan darurat
dan harus menggunakan uang tersebut. Atau bahkan bisa jadi, ketika uang
terkumpul cukup banyak dan rencananya akan dipakai untuk membeli mainan
tertentu tiba-tiba orang tua atau saudara ada yang membutuhkan. Meskipun demikian, berhemat dalam arti tertentu memberi
keuntungan.
Ada juga orang yang berhemat
sedemikian rupa supaya bisa menjadi kaya. Dan itu sungguh-sungguh terjadi. Namun, ada
bahaya bahwa dengan berhemat sedemikian rupa, orang tersebut hanya ingin
menjadi kaya. Semua itu tertuju hanya pada ambisinya saja. Bahkan karena
terlalu semangatnya, berhemat itu berarti menjadi kikir atau pelit. Untuk mewujudkan ambisinya, dia tidak mau mengorbankan
hartanya dengan alasan
berhemat. Termasuk untuk sumbangan-sumbangan sosial pun dikurangi sedemikian rupa.
Hemat jika tidak hati-hati hanya
akan jatuh pada sikap individualistis semata. Dalam hal ini, hemat hanya
menjadi semangat untuk memperkaya diri sendiri. Entah dalam hemat apapun
seperti uang, makanan, maupun kekayaan-kekayaan lainnya. Namun, sebenarnya
hemat juga bisa berdimensi lebih luas misalnya, berhemat demi kepentingan
keluarga atau kelompok. Seseorang berhemat supaya anak-anaknya, keluarganya
atau saudara-saudaranya bisa mendapatkan kelimpahan atau supaya bisa memenuhi
kebutuhannya. Ini sudah lebih baik daripada berhemat hanya untuk kepentingan
individual. Setidaknya hemat jenis ini sudah atau mau menyentuh orang-orang di
luar dirinya meskipun hanya kelompok orang sendiri dan bisa jadi sebenarnya
orang-orang yang dibantu itu masih memiliki kemampuan mencukupi dirinya
sendiri.
Hemat yang jenis ketiga, selain yang berorientasi individual dan kelompok
adalah hemat dalam arti untuk keselamatan kosmos, bukan hanya keselamatan
(baca: kesuksesan) individu atau kelompok (lingkaran dalam) saja. Dalam hal ini, hemat bukan pangkal kaya
tetapi hemat demi keselamatan. Selamat di sini tidak hanya berarti keselamatan
diri sendiri, tetapi juga sesama manusia maupun kosmos. Hemat dalam
arti ini berkait erat dengan kesederhanaan yang berarti mengambil secukupnya
saja.
Jadi, sebenarnya ada sekumpulan kekayaan yang
dimiliki oleh seluruh warga kehidupan. Termasuk uang, deposito atau kekayaan
yang kita miliki dan disimpan di bank sebenarnya adalah kekayaan kosmos atau
warga kehidupan. Hanya saja kita telah mengubah atau menukarnya menjadi uang. Dengan
semakin banyak uang itu, berarti ada yang terambil dari kekayaan bersama itu. Hutan
ditebang, kekayaan mineral dan bijih-bijih logam diambil dari perut bumi supaya
diubah menjadi harta yang bernilai uang. Akibatnya kerusakan alam terjadi.
Parahnya, kita mengambil terlalu banyak. Akibatnya,
bumi rusak. Bumi ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi
keinginan seorang manusia yang serakah (Mahatma Gandhi).
Hemat benar-benar menjadi pangkal selamat jikalau
warga kehidupan itu hanya mengambil kekayaan kosmos secukupnya. Tidak berlebih.
Kita kerap menyaksikan orang lain bahkan diri kita mengambil terlalu banyak
dari alam ciptaan ini. Kita mengubah kekayaan bumi hanya untuk kepentingan
manusia semata tanpa peduli dengan keselamatan makhluk lain, bahkan sesama kita
sendiri.
Di antara sesama terjadi perebutan atau perampasan
kekayaan alam dari suatu kelompok masyarakat oleh kekuatan modal tertentu untuk
meraup keuntungan. Ketidakadilan sosial tercipta. Masyarakat miskin tercipta. Orang
tak lagi bisa mengakses kekayaan alam dengan baik karena telah rusak akibat ulah
kekuatan modal tertentu.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si
menegaskan, banyak bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan yang sangat intensif
tidak hanya menguras sumber daya setempat, tetapi juga melemahkan kemampuan
sosial yang telah mendukung suatu cara hidup yang sejak lama memberi indentitas
budaya serta makna hidup dan bermukim bersama. Hilangnya satu budaya dapat sama
serius dan lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang.
Pemaksaan gaya hidup yang dominan terkait dengan cara produksi tertentu dapat membawa
kerugian sama besar seperti perubahan ekosistem (Laudato Si no 145).
Eksploitasi yang menyebabkan degradasi lingkungan
itu makin massif kalau kita mendukungnya dalam bentuk konsumtivisme liar. Kita berbelanja
secara boros hanya untuk meningkatkan
citra diri. Sementara itu makin banyak kekayaan bumi yang diambil hanya untuk memenuhi
ambisi kita dan ambisi pemilik kekuatan modal.
Saya sungguh kagum pada orang-orang yang memilih
hidupnya dalam kesederhanaan bahkan kemiskinan misalnya hidup para biarawan
atau biarawati. Saya mengapresiasi cara mereka hidup yang berusaha tidak memiliki
kekayaan sedemikian rupa. Cara hidupnya mencerminkan kesederhanaan dan itu
dilakukan dengan gembira. Itu bukan menyiksa diri. Dan saya juga kagum pada
individu-individu yang sebenarnya memiliki kekayaan, namun ia lebih memilih
hidup sederhana. Hartanya digunakan untuk membantu orang-orang yang ada di
sekitarnya supaya bisa hidup lebih layak. Bukannya menyalahkan orang miskin
karena mereka tidak berusaha menjadi kaya atau malas bekerja, mereka dengan
caranya membantu orang-orang miskin itu. Sebab, dia percaya dalam kehidupan ini
ada dosa atau kekuatan yang membuat orang-orang yang mestinya bisa hidup layak
namun menjadi hidup miskin karena sistem atau struktur sosial yang tidak adil.
Sudah saatnya kita
menerapkan hidup sederhana dan berhemat mengingat daya dukung bumi juga
terbatas. Maka, sudah saatnya pula kita membatasi diri dalam mengonsumsi. Kita
mengambil secukupnya sesuai dengan kebutuhan kita, bukan berdasarkan keinginan
liar kita. Dengan berhemat, bumi akan mungkin bisa memberi kehidupan kepada
semua makhluk ciptaan dalam jangka waktu yang panjang. Ada tiga hal baik yang
bisa kita lakukan secara tak berlebihan seperti makan, kepemilikan dan belanja.
Gejala masyarakat saat ini memperlihatkan makan
sebagai gaya hidup yang ternyata banyak menyisakan makanan. Ini sungguh ironis,
ketika yang lain menderita kelaparan, orang lain membuang makanan dengan
percuma. Tentang kepemilikan sudah saatnya kita bijak dalam mengelolanya. Dalam
Laudato Si, Paus Fransiskus menegaskan tentang kepemilikan pribadi. Entah beriman atau
tidak, kita sekarang sepakat bahwa bumi pada
dasarnya adalah warisan bersama; buahnya harus menjadi berkat untuk semua. Bagi orang-orang beriman ini merupakan soal kesetiaan
kepada Sang Pencipta, karena
Tuhanlah yang menciptakan dunia untuk semua. Oleh karena itu, setiap pendekatan ekologis harus meliputi suatu perspektif sosial yang
memperhitungkan hak-hak dasar
masyarakat miskin. (Laudato Si no 93).
Posting Komentar untuk " Hidup Hemat Menyelamatkan Alam Ciptaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar