Empat dari Sembilan Kartini Kendeng berkisah tentang kecintaan mereka pada lingkungan |
Empat orang perempuan
mengidungkan Ilir-Ilir. Suara mereka bak melemparkan kesedihan yang mendalam. Seorang
di antaranya pun melantunkan geguritan (puisi Jawa) berjudul Gula Klapa. Lantunan
puisi dan alunan kidung Ilir-Ilir itu saling berkelindan seakan ingin
meneriakkan semangat bersatu melawan ketidakadilan. Geguritan itu menceritakan
tentang harapan di tengah kepahitan yang melingkupi masyarakat, termasuk ancaman
rusaknya pegunungan Kendeng Utara oleh pendirian pabrik semen.
Kidung Ilir-Ilir dan geguritan
Gula Klapa menjadi pengantar 4 dari 9 Kartini Kendeng yang berkisah tentang
perjuangan mereka menyelamatkan pegunungan Kendeng Utara dari perusakan
ekosistem akibat rencana pendirian pabrik semen. Karena kesibukan mereka, hanya 4 orang yang
bisa hadir malam itu.
Perempuan melahirkan
manusia, tapi kalau ibu bumi itu melahirkan air, tanaman yang bisa dimakan oleh
kita semua. Jadi, saya berpikir demikian. Saya berpikir, kita berasal dari
bumi, jadi lain waktu, saya akan kembali ke bumi lagi. Hal itu disampaikan
Sukinah, salah satu dari 9 Kartini Kendeng di Balai Budaya Rejosari, 16 Juli
2016 malam, menjelaskan alasan dirinya ikut aksi menyemen kaki di Jakarta pada
12 April 2016, sebagai bentuk penolakan pabrik semen di Rembang.
Pastor Haryono, MSF yang getol memadukan gerakan budaya dan ekologi |
“Jadi, saya punya
tanggung jawab pada ibu pertiwi yang sudah memberikan air yang sangat melimpah,
kalau dirupiahkan saya tidak bisa menghitung. Jadi saya punya kewajiban itu.
Kemudian dulur-dulur juga saya
nasihati jangan sampai menjadi korban semen karena besok kalau ada pabrik semen
bisa rusak semua,” kata petani perempuan asal Rembang itu.
Menurutnya, pabrik
semen bisa merusak lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang rusak berakibat sangat
buruk bagi dunia pertanian. Dengan demikian, para petani menjadi pihak yang
paling terancam dengan adanya pendirian pabrik semen.
“Daripada sakit besok,
lebih baik sakit sekarang. Semboyan saya itu. Karena kelak kalau gunung habis,
yang kami pikirkan adalah anak cucu yang akan lahir belakangan. Karena kalau
sudah habis semua, kelak kita bisa disalahkan anak cucu. Jadi yang saya pikir
itu, anak cucu jangan sampai menderita karena pabrik semen,” tegasnya.
Sedangkan Sutini dari
Pati yang juga satu dari 9 Kartini Kendeng mengatakan, pabrik semen tidak akan
membuat masyarakat petani sejahtera. “Apa Anda semua pernah mendengar kalau ada
pabrik semen, masyarakat sejahetera?” tanyanya kepada hadirin malam itu yang
sesekali dilatari suara lalu lalang kendaraan di depan balai budaya itu.
Menurutnya, kaum tani akan
mengalami kesulitan kalau lahannya sudah dibuat tambang atau pabrik semen. “Mau
bertani di mana?” tanyanya. Maka, dia pun memohon dukungan dari semua pihak
untuk bersama-sama melestarikan pegunungan Kendeng.
“Saya menyemen kaki
mengingat anak cucu kelak kalau terlanjur ada pabrik semen di Jawa Tengah. Tidak
hanya gunung Kendeng saja yang sengsara, namun sampai ke manapun.
Tekad kami, ayo sama-sama bersatu
melestarikan gunung Kendeng,” katanya.
Deni, seorang petani
dari Grobogan yang juga salah satu
dari 9 Kartini Kendeng mengatakan alasannya rela ikut aksi menyemen kaki. “Semen itu ibaratnya belenggu yang
membuat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kehidupan juga akan mati,” katanya.
Deni merasa prihatin
dengan adanya pendirian pabrik semen. Ia mengaku terlecut oleh ibu-ibu Rembang
yang berjuang menolak semen bahkan dengan mendirikan tenda di lokasi pembangun
pabrik. “Hati saya merasa tergerak dan saya ingin memberikan dengan bahasa
apalagi sih yang bisa sampai kepada pemerintah? Dengan bahasa rembugan tidak
bisa, demo dianggap kekerasan,” katanya. Maka dengan tulus, ia turut menyemen
kakinya di depan istana Negara. Adanya pabrik
semen, menurutnya, seperti mempercepat kiamat.
Koordinator Balai
Budaya Rejosari Pastor Yohanes Berchmans Haryono, MSF dalam kesempatan itu
mengatakan, tujuan diadakan acara Temu Dulur 9 Kartini Kendeng adalah supaya terjadi
proses saling mengenal dan pada akhirnya bisa bersaudara. “Kalau yang namanya
saudara itu tahu keprihatinan yang sedang dirasakan saudaranya. Maka, kita mengajak
para ibu 9 Kartini Kendeng supaya bisa bercerita kepada kita. Dan kita yang
adalah saudara siapa tahu bisa menangkap apa yang menjadi keprihatinan dan
seumpama nanti ada yang bisa dilakukan bersama selaku saudara untuk membangun
bangsa dan membangun pantura semakin asri, ijo royo-royo, juga pantura semakin
baik,” katanya.
Pastor Lukas Heri Purnawan, MSF menyanyikan lagu Tikar Plastik-Tikar Pandan” dan “Bunga dan Tembok” |
Tokoh Sedulur Sikep, Gunretno yang hadir
bersama 4 dari 9 Kartini Kendeng itu menegaskan bahwa gerakan yang dilakukan
dalam naungan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) untuk
menolak pendirian pabrik semen dilakukan dengan cara-cara damai dan antikekerasan.
Lelaki yang kerap memakai ikat kepala
dan berpakaian serba hitam itu mengaku tidak berkecil hati atau berat bahkan
rela memasang badan dalam melakukan aksi tolak semen. Namun yang membuatya agak
berat adalah membuat semua masyarakat bersatu. “Kerukunan kita semua selalu
dipecah belah,” katanya.
Lahirnya
9 Kartini Kendeng bermula ketika pada April 2015, bersama ibu-ibu, Gunretno datang ke Jakarta untuk melakukan
aksi “mencari Jokowi”. Di depan istana
Negara, dia menabuh lesung bersama ibu-ibu. Di sana pula, Gunretno menulis
surat yang ditujukan kepada Jokowi. Setelah ditunggu sekian lama, tak ada
perkembangan positif, perlawanan dilanjutkan dengan aksi 9 Kartini Kendeng
menyemen kaki di depan istana.
Dengan aksi tersebut, Gunretno
berharap, hati para pejabat pemerintah bisa terketuk bahkan masyarakat umum pun
terketuk untuk berpihak pada masyarakat di sekitar Kendeng Utara.
Seorang dokter dari
Surabaya yang kerap melibatkan diri menyelamatkan pegunungan Kendeng, dr
Alexandra Herlina mengatakan alasannya ikut berpihak. “Saya hanya berpikir
bahwa saya ada di bumi yang sama. Kita semua juga sama-sama minum air, sama-sama
bernafas, membutuhkan udara yang bersih,” katanya. Menurutnya, alasan menolak
pabrik semen sudah tepat. “Tidak ada untungnya semen. Gak ada untungnya. Bayangkan
Negara besar Cina saja, sudah ratusan pabrik semen ditutup, dengan alasan
ekologis. Lah, kok di Indoensia dibuka kran selebar-lebarnya,” katanya.
Anak-anak Wiji Kendeng |
Suster Stefanie SPSS
yang juga aktif membela masyarakat peduli Kendeng mengatakan kalau sebenarnya semua
ciptaan Tuhan adalah saudara. “Jadi, bumi dan isinya itu adalah saudara tua
kita. Dan kita ini adalah anak bungsu. Diciptakan Allah yang terakhir,”
katanya. Suster Stefanie berharap manusia bisa berelasi baik dengan seluruh
ciptaan dan merangkul mereka sebagai saudara tua. Dia juga mengajak supaya
masyarakat juga mendidik anak-anak untuk mencintai sedulur tua (saudara tua), sehingga mereka bisa memperlakukan
ciptaan dengan baik.
Acara Temu 9 Kartini
Kendeng itu dihadiri para pemerhati lingkungan dari Kudus, Pati, maupun
Semarang. Pada awal acara anak-anak berusia sekolah dasar yang tergabung dalam
kelompok Wiji Kendeng menyanyikan lagu-lagu Jawa dengan iringan gamelan.
Pastor Lukas Heri Purnawan,
MSF dalam kesempatan itu meramaikan acara sarasehan dengan menyanyikan dua lagu
yang digubah dari puisi karya Wiji Thukul “Tikar Plastik-Tikar Pandan” dan
“Bunga dan Tembok”. Menurutnya, dalam kasus penolakan semen, keberpihakan pada
yang benar harus jelas. Seseorang tidak bisa berdiri di wilayah abu-abu.
Tokoh Sedulur Sikep Gunretno (berbaju hitam) yang gigih melestarikan pegunungan Kendeng |
Posting Komentar untuk "Anak Cucu Jangan sampai Menderita karena Pabrik Semen"
Kesan/Pesan
Posting Komentar