Sakral Saat Makan



Beberapa di antara kita mungkin pernah mendapat nasihat dari orang tua atau tetua yang berpesan kalau pada saat makan hendaknya kita tidak bicara. “Selesaikan makanmu, baru bicara!” begitulah pesan orang-orang tua. Beberapa di antara mereka beralasan kalau makan sambil bicara bisa membuat orang tersedak. Tentu kita pun pernah mendapat pengalaman tersedak akibat berbicara pada saat makan.
Sebagian masyarakat masih melakukan tradisi tersebut. Namun, dalam tradisi tertentu, acara makan justru menjadi saat untuk saling berbicara atau bercengkerama terlebih dalam acara makan bersama. Bahkan dengan makan bersama, di antara mereka bisa saling berbicara dan mendengar berbagai kabar yang menggembirakan. Dan hal ini juga biasa dilakukan dalam keluarga.
Saya beberapa waktu ini mengunjungi Eco Learning Camp atau yang biasa disebut Ecocamp di Bandung. Di tempat tersebut, ada tradisi yang dihidupi yakni makan dengan keheningan dan kesadaran penuh. Selama makan tidak ada yang berbicara untuk sekian waktu. Hingga pada menit tertentu, baru diperbolehkan untuk bisa saling berbicara.
Tentu ini sangat menarik. Kerap kali ketika kita makan, kita melewatkan begitu saja aktivitas makan itu. Karena bisa jadi pada waktu makan, kita sibuk berbicara dengan orang-orang yang bersama kita. Tak jarang pula kita saksikan orang makan sambil menonton televisi. Sementara mulutnya mengunyah makanan, matanya tertuju pada kotak ajaib di depannya. Sementara tangannya yang satu memegang sendok, lalu yang satunya memegang alat pengendali televisi.
Saat ini fenomena yang bahkan berkembang adalah makan sambil bermain ponsel. Pada saat makan, seseorang disibukkan dengan bermain ponsel. Sementara mulutnya mengunyah makanan, matanya tertuju pada layar ponsel canggihnya. Multitasking, katanya. Tangannya sibuk memainkan fitur-fitur yang ada pada ponsel tersebut. Dari hal itu terlihat bahwa makan hanya menjadi kegiatan yang tak bermakna. Makan seolah-olah hanya aktivitas semu. Aktivitas makan kalah menarik dengan aktivitas lain yang dilakukan bersamaan.

Di Ecocamp tersebut, makan dengan hening tanpa bicara dilakukan supaya kita sadar akan aktivitas makan tersebut. Diharapkan yang sedang makan bisa sungguh-sungguh merasa-rasakan makanan tersebut, baik rasa (asin, pedas, manis, dan seterusnya) maupun tekstur makanan yang tersentuh lidah secara sadar. Kita juga diajak untuk melihat secara sungguh makanan itu misalnya warna yang menarik dan susunan penyajiannya. Kita diminta untuk dengan sadar menghirup aroma makanan yang nikmat dan menggugah selera itu.
Sebenarnya, dengan hening/diam dan sadar kita pun bisa merenungkan keajaiban alam. Makanan yang kita santap adalah bahan-bahan yang diperoleh dari alam. Alam lah yang membuatnya terjadi sedemikian rupa. Mungkin ada makanan yang berasal dari biji yang mungil, lalu kemudian bertunas, tumbuh, dan hingga akhirnya siap dipanen dan dimasak. Dalam proses perkembangan itu kita bisa merasakan proses penciptaan yang ajaib. Kita pun merasakan, bahwa alam memberi dirinya demi kehidupan kita. Proses kehidupan tumbuhan yang menjadi bahan pangan itu adalah proses yang menarik. Ada peristiwa-peristiwa yang detil dan pelan terjadi yang selama ini luput dari perhatian manusia. Tentu kita tidak tahu saat-saat biji itu merekah dan mengeluarkan akar serta tunas. Dan tentu kita tidak tahu saat-saat indah tunas mulai muncul, bertumbuh lalu menjadi tumbuhan yang dewasa hingga pada suatu ketika tangan-tangan manusia memetiknya dan memasaknya menjadi hidangan yang nikmat. Alam yang sungguh baik dan ajaib.
Dalam keheningan dan suasana sadar itu, kita pun tahu bahwa ada orang-orang yang mengusahakan semua itu terjadi yakni petani. Petani dengan gigih mengusahakan pertanian hingga siap dipanen. Dengan tenaga yang tercurah dan cinta yang meluap, petani mengusahakan pertaniannya. Kita bisa membayangkan atau bahkan mengingat aktivitas bertani-kalau kita pernah bertani- bahwa ada saat-saat berat yang harus ditaklukkan demi membudidayakan tanaman tertentu. Itu tidak mungkin dilakukan kalau hanya dilakukan dengan rasa malas. Petani yang bekerja dengan segenap cinta dan semangatlah yang bisa berhasil membudidayakan tanaman pertaniannya. Di sana, kita belajar mengenai kerja keras dan tanggung jawab terhadap kehidupan.
Ada pula orang-orang yang mengusahakan hasil panen itu hingga sampai di dapur. Hasil pertanian dipanen petani. Tentu juga ada orang yang membuat hasil panen itu bisa sampai ke dapur. Ada yang mengangkut panenan itu dengan berbagai cara. Mungkin panenan itu ada yang harus melewati pedagang, pasar, warung atau toko tertentu. Panenan itu melalui perjalanan yang cukup panjang hingga siap di dapur untuk kemudian dimasak.
Makanan bisa disajikan dan siap disantap karena ada orang yang mengolahnya dengan penuh perasaan dan kepiawaian memasaknya sehingga didapati masakan yang sungguh nikmat dan lezat. Tentu di antara kita ada yang pernah terkesan dengan seseorang karena kepiawaian orang tersebut dalam memasak makanan. Ada ungkapan, masakan di restoran manapun tak senikmat masakan ibu. Itu menunjukkan bahwa panenan yang kemudian dimasak dengan cara tertentu oleh orang tertentu dengan penuh cinta akan menghasilkan masakan yang sungguh nikmat.
Dalam nuansa hening dan sadar itu, kita juga sebenarnya sedang berada dalam peristiwa yang sakral. Bahwa peristiwa makan adalah sebuah proses bersatunya saripati hasil bumi dengan tubuh kita demi kehidupan kita. Sari-sari dari makanan yang berasal dari bumi dimasukkan ke dalam tubuh supaya tubuh kita bisa hidup dengan baik. Dan dengan demikian kehidupan kita semakin terjamin.
Kita pun semakin dimudahkan untuk berkarya, membangun dan mengusahakan bumi ini. Dari yang semula bahan-bahan yang berada di ladang-sawah-kebun ataupun di hutan, setelah melalui proses tertentu tibalah makanan itu di meja makan kita dan kita bisa menyantapnya dengan baik. Peristiwa makan yang adalah peristiwa masuknya saripati bumi ke dalam tubuh menjadi peristiwa suci, karena itu menyangkut perayaan kehidupan seorang manusia. Dari sanalah, awal kehidupan manusia. Manusia mana yang bisa hidup tanpa makanan? Kehidupan adalah kesucian. Seperti Tuhan Sang Kehidupan yang mencipta makhluk-makhluk dan memeliharanya melalui segala yang Ia ciptakan.
Peristiwa makan merupakan transformasi dari hasil bumi yang diolah menjadi energi dan nutrisi tubuh. Dari proses itulah sebenarnya kehidupan manusia bisa terjaga. Sel-sel tubuh semakin berkembang. Sel-sel tubuh yang rusak diganti. Kehidupan manusia makin terjamin sehingga manusia bisa membuat karya-karya terbaiknya dalam kehidupan ini.
Dengan makan secara hening dan sadar, rasa syukur kita pun muncul. Bahwa ada pihak-pihak yang sangat baik yang memungkinkan kita bisa makan dengan cukup dan nikmat. Itu adalah berkat yang dianugerahkan Tuhan pada kita. Yesus Kristus memberi contoh pada kita supaya selalu mengucap syukur atas kelimpahan rejeki yang kita terima. Narasi dalam beberapa perikop Kitab Suci menggambarkan Yesus kerap mengucap syukur sebelum perjamuan makan. Dan Yesus pun mengajak kita supaya tetap berdoa, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11). Dan, itu terjadi jika pihak-pihak yang berelasi dengan makanan sejak dari alam, pengusahaan pertanian, pengangkutan, pengolahan makanan pun bisa bekerja sesuai kebutuhannya.
Lalu, apa yang baiknya kita lakukan. Mungkin tak perlu fundamentalis seluruh waktu makan dihabiskan dalam keheningan total jika kita sedang makan bersama. Namun, menyempatkan waktu untuk hening dan menyadari segala hal yang berelasi dengan proses sakral makan itu menjadi penting. Namun, proses itu juga jangan sampai menghilangkan keindahan relasi yang sedang terjadi saat itu dan di tempat itu.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Sakral Saat Makan"