Suatu kali saya
membayangkan kisah kehidupan sebutir biji. Seorang petani mengambil biji itu lalu
memasukannya ke dalam lubang di tanah. Kemudian lubang itu ditutupnya perlahan. Entah apa yang dirasakan biji itu.
Kedinginan, kesepian, atau bergembira karena ia berada dalam media tumbuhnya.
Beberapa saat kemudian, petani itu
menyiraminya. Air dingin itu membasahi tanah tempat biji itu
terletak. Seiring berjalannya waktu, biji itu makin mengembang. Tubuhnya
membesar. Hingga pada suatu ketika, kulitnya pecah lalu akar yang mungil dan
lembut keluar dari pecahan tubuh biji itu. Pelan namun pasti akar itu memanjang
ke bawah. Lalu muncullah tunas secara perlahan yang bergerak ke atas. Dibantu
nutrisi yang menyuburkan di tanah dan air yang cukup, akar makin kuat menjulur
ke bawah, tunas makin tinggi. Bahkan daun-daun kecil mulai bersemi muncul di
permukaan tanah seakan tersenyum pada cahaya matahari yang lembut menyinarinya.
Embun yang sejuk menempel di daun-daun mungil itu.
Pelan
namun pasti serabut akar makin bertambah banyak dan panjang. Sementara itu tunas yang berdaun itu makin meninggi. Jadilah
tumbuhan yang subur. Sungguh indah dan ajaib peristiwa ini. Tumbuhan itu pun
terus mengambil-mengisap air dan nutrisi yang ada dalam tanah. Hingga pada
suatu masa, tumbuhan itu berbunga indah. Kupu-kupu, lebah dan serangga-serangga
menghampirinya. Tanpa sengaja mereka membantu penyerbukan lalu tumbuhan itu
berbuah. Buah makin besar dan masak. Di dalam buah itu terdapat biji yang siap
melanjutkan kehidupan kembali.
Kisah sebutir biji itu sebenarnya
memperlihatkan adanya persekutuan dalam kehidupan ini. Sebutir biji bisa tumbuh
karena ada tanah, air, dan nutrisi. Biji itu tak akan pernah bisa tumbuh
sendiri. Ketika biji mulai bertunas, tumbuh lalu berdaun, ia mulai bernafas.
Udara membantunya untuk tetap bisa hidup. Matahari membantunya dalam proses
fotosintesis. Makhluk hidup dalam komunitas kehidupan. Dia tidak bisa hidup sendiri.
Ketika berbunga, angin maupun serangga membantu penyerbukan sehingga terjadi
pembuahan dan terjadilah biji untuk melanjutkan kehidupan generasi mendatang.
Hingga pada saatnya, biji itu pun akan bertumbuh menjadi tumbuhan ketika
ditanam oleh seseorang atau jatuh dengan sendirinya di atas tanah. Yang tua
mati, yang muda memulai kehidupan baru. Biji itu mati untuk melahirkan
kehidupan baru. Regenerasi kehidupan terjadi.
Alam ciptaan menghadirkan panorama kebijaksanaan hidup yang sebenarnya bisa
menjadi kesadaran bersama bahwa kehidupan hanya mungkin terjadi dalam nuansa
kerja sama dan saling memberi. Jika ada yang mengambil terlalu
banyak, maka akan ada yang berkekurangan dan menderita. Manusia yang terkadang
mengambil terlalu banyak karena lebih menuruti keserakahannya.
Sebatang pohon kecil tumbuh
karena ada unsur-unsur yang mendukung pertumbuhannya. Biji berakar dan bertunas
lalu tumbuh mengandaikan ada unsur-unsur tertentu yang memeliharanya. Relasi-kesatuan antar unsur itu sudah sangat tua bahkan
sejak awal kehidupan. Hingga saat ini kelestarian kehidupan itu jelas disebabkan
oleh relasi-relasi antarciptaan. Yang jelas manusia tidak serta merta menyadari
proses “kerjasama” antar unsur itu dalam menyelenggarakan kehidupan. Manusia
kerap melewatkan begitu saja mukjizat itu.
Ketidaksadaran manusia tentang proses itu adalah wajar karena proses
kehidupan itu lambat bahkan sangat lambat jika dibandingkan dengan aktivitas
kehidupan manusia. Kita bahkan hanya dibuat takjub ketika pada pagi hari
terlihat tunas-tunas kecil di tetumbuhan. Kita bahkan tidak sempat atau tidak
tahu kalau ada saat-saat indah kehidupan itu muncul.
Atau kita hanya dibuat kagum ketika di pagi hari, tiba-tiba kita terbangun
oleh aroma Anggrek yang harum semerbak sehingga mimpi indah kita pun terganggu
oleh wanginya Anggrek itu. Kita bangun dan diliputi rasa kekaguman yang luar
biasa. Kita kerap tidak menyadari bahwa ada mukjizat penciptaan yang sedang
terjadi. Dan itu sungguh indah dan penuh kejutan meskipun peristiwa itu sudah
sangat lama.
Mungkin baik, kalau sesekali kita menikmati keindahan ciptaan ini sesadar-sadarnya
dari waktu ke waktu. Ada kisah orang-orang yang menunggu mekarnya bunga
Wijayakusuma pada malam hari. Konon supaya mereka mendapat rejeki. Mereka
menunggui kuncup bunga Wijayakusuma itu mekar di malam hari. Terlepas dari
berbagai mitos, sebenarnya kegiatan tersebut merupakan upaya menunggu keajaiban
alam terjadi.
Atau mungkin pada waktu-waktu tertentu, kita bisa mencoba menunggu kuncup
bunga jenis lainnya yang juga mekar pada malam hari. Lalu dengan decak kagum
kita menghirup wanginya yang semerbak. Memang untuk melakukan ini kita
membutuhkan pengorbanan. Kita melawan rasa kantuk.
Dari hal itu jelas, ada ritme kehidupan yang berbeda dan bahkan tak terselami
oleh manusia. Bisa jadi, sebut saja misalnya petani, dia mengolah lahan,
memupuk tanaman dan memberi nutrisi sedemikian rupa. Namun, setelah itu dia
melewatkan begitu saja. Hingga tahu-tahu, biji sudah mulai bertunas, atau
tiba-tiba daun mulai tumbuh. Atau pada hari yang lain buah-buah
kecil sudah muncul. Dari hal itu,
tampak bahwa ritme kehidupan manusia dan alam memang berbeda. Bahkan kalau
manusia diminta untuk menyadari dan menikmati ritme kehidupan tumbuhan akan
sangat sukar mengingat hal itu terjadi amat lambat.
Dari hal itu kita bisa memaknai bahwa ada peristiwa kehidupan yang sedang
berlangsung yang sebenarnya saling berkaitan antar satu dengan yang lainnya. Terganggunya
satu unsur kehidupan, proses kehidupan makhluk ciptaan yang lainnya pun
terganggu.
Dan sebenarnya di antara sekalian makhluk ciptaan yang ada di sekitar kita,
terjadi banyak sekali peristiwa kehidupan dengan berbagai ritme yang unik dan
bahkan tak terpahami. Kita, manusia kadang hanya dibuat kagum dan terkejut. Kita
pun kadang tak habis mengerti kalau ada bunga bermahkota biru, ada juga yang
merah, ataupun ungu. Warna yang muncul itu memperlihatkan peristiwa kehidupan
yang ajaib.
Ada relasi-relasi yang saling mendukung antarkehidupan itu. Bahkan antara manusia dengan hewan maupun tetumbuhan
pun terjalin relasi yang kuat dan saling mempengaruhi. Hanya saja, dalam relasi
itu manusia dengan kelebihan yang disalahgunakan justru merusak alam ciptaan
lain.
Padahal rusaknya ciptaan tertentu akan mempengaruhi ciptaan yang terkait
dalam pola relasi yang sudah terjalin sudah sangat lama dan itu membentuk
peristiwa kehidupan. Manusia dalam hal itu sebenarnya sedang mengoyak-ngoyak
relasi yang sudah terjalin dengan amat baik. Terkoyaknya relasi itu berakibat
pada rusaknya kelangsungan hidup antarciptaan itu. Yang satu terganggu, yang
lain juga terganggu karena daya dukung kehidupannya juga melemah sehingga tidak
bisa menguatkan kehidupan lainnya yang selama ini telah terjadi.
Kisah sebutir biji sebenarnya menjadi ajakan bagi kita untuk melihat betapa
menakjubkannya alam ciptaan ini diselenggarakan oleh Sang Pencipta. Kita adalah
salah satu mata rantai dalam kisah itu. Kehadiran kita dalam kisah itu bisa
menjadi berkat bagi kisah penciptaan itu. Namun, juga sebaliknya. Jika kita
hadir dengan membawa semangat egois yang tinggi, kita sedang merusak tatanan
yang sudah berlangsung sangat lama. Cara hadir manusia yang salah menjadikan sistem
pada alam ciptaan ini rusak. Kerusakan itu menimbulkan ketidakseimbangan yang
pada akhirnya akan memunculkan bencana bahkan kepunahan. Kita, manusia akan
memilih yang mana?
Posting Komentar untuk "Kisah Sebutir Biji"
Kesan/Pesan
Posting Komentar