Berdamainya Ekonomi-Ekologi



Kerapkali terjadi konflik bahkan berujung pada kekerasan ketika terjadi sengketa lahan. Satu pihak merasa lahan yang selama ini merupakan sumber rejekinya tiba-tiba dirampas karena akan digunakan untuk kepentingan industri. Bahkan mereka bisa membuat klaim bahwa hidup dengan mengolah lahan sebagai petani adalah lebih sejahtera dibanding jika hidup di lahan yang selama ini mereka garap lalu kemudian didirikan industri.
Sadar bahwa sebagai petani sungguh bergantung pada kebaikan alam, mereka pun dengan amat sadar berusaha untuk melestarikan lingkungan hidup mereka. Merusak alam adalah aksi bunuh diri. Maka, dengan berbagai upaya, mereka yang hidup sebagai petani akan melindungi ekosistem mereka. Mereka hidup karena alam yang melingkupi mereka terjaga dengan baik.
            Sementara itu, cara pandang investor pengusung industrialisasi adalah cara pandang ekonomis. Peluang-peluang yang ada dipakai untuk meraup keuntungan meski hanya sesaat dan menghancurkan ekosistem dalam jangka waktu yang panjang serta menimbulkan korban yang tak sedikit karena berubahnya ekosistem akibat eksploitasi yang diakibatkan oleh industrialisasi.
            Ada perbedaan kepentingan yang mendasar, yang satu pihak berusaha melestarikan ekosistem selanggeng mungkin, sedangkan yang satu pihak lagi berusaha mengambil keuntungan sebesar-besarnya meski harus merusak ekosistem.

            Paradigma pembangunan yang hanya berfokus pada pembangunan ekonomi itulah yang selama ini dikenal sebagai paradigma pembangunan developmentalistik. Pembangunan ini lebih cenderung mencari keuntungan sebanyak-banyaknya meski harus menggusur manusia dan merusak alam. Maka sebenarnya, pembangunan jenis ini sarat akan krisis sosial dan krisis ekologis. Disebut krisis sosial, karena pembangunan model tersebut memporakporandakan wajah kemanusiaan. Manusia-masyarakat yang dianggap mengganggu jalannya pembangunan disingkirkan atau digusur. Disebut krisis ekologis, karena pembangunan model developmentalistik dengan mengatasnamakan keuntungan ekonomi merusak ekosistem. Tak jarang kita saksikan di tempat-tempat industri didirikan, di situ tersisa kerusakan alam. Sangat jarang terjadi di tempat industri didirikan, alam utuh.
            Alih-alih membawa kesejahteraan, di samping merusak alam-ekosistem, pembangunan developmentalistik justru makin menyelengsarakan pihak-pihak yang tergusur. Namun sebaliknya, pembangunan itu makin memperkaya pihak-pihak yang berkepentingan.
            Menurut Alexander Sonny Keraf dalam bukunya, “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global”, ada tiga dampak lanjutan dari pembangunan yang memakai model developmentalistik. Pertama, terjadi kemiskinan yang semakin parah dan luas di banyak Negara, khususnya Negara yang sedang berkembang. Kedua, kemiskinan struktural akibat paradigma dan pola pembangunan develomentalistik yang lebih menguntungkan para pemilik modal tersebut memperparah kondisi kesehatan masyarakat miskin di banyak Negara sedang berkembang. Ketiga, kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat setempat yang tergantung hidupnya dari keberadaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tersebut.
            Secara tegas, dalam ensiklik Laudato Si’ tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Paus Fransiskus menulis pernyataan yang dikutip dari Konferensi Waligereja Bolivia, “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin.” (LS 48). Maka, jelas bahwa pembangunan dengan model developmentalistik di samping hanya menguntungkan pihak tertentu, pembangunan itu juga serta merta melemparkan mereka yang miskin pada penderitaan yang amat parah. Ketidakadilan makin meruncing dan tak jarang memicu konflik dan kekerasan yang mengerikan.
            Masyarakat sekarang sudah sangat sadar akan dampak itu. Maka, dengan berbagai cara jika ada korporasi hendak mencaplok lahan tempat hidup mereka, mereka akan melawan. Mereka tidak ingin penderitaan muncul pada era saat ini yang sangat tidak manusiawi sekaligus tidak ekologis yang juga berpotensi pada penderitaan generasi yang akan datang yang saat ini sedang bertumbuh.
Melihat betapa mengerikannya dampak pembangunan dengan model developmentalistik, maka perlu ada perubahan model pembangunan yang lebih ramah baik pada sisi manusiawi maupuan ekologi.
            Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ mengusulkan sebuah solusi mengingat semuanya saling terkait yakni ekologi integral yang mempunyai dimensi manusiawi dan sosial. Paus menyinggung pentingnya ekologi lingkungan, ekonomi dan sosial; ekologi budaya, ekologi hidup sehari-hari; prinsip kesejahteraan umum; dan keadilan antargenerasi.
            Menurut Paus Fransiskus, tidak ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan dan yang lain sosial, tetapi satu krisis sosial-lingkungan yang kompleks. Dengan demikian sebenarnya, manusia tidak perlu memisah-misahkan masalah-masalah tersebut. Yang diperlukan sebenarnya adalah cara pandang integral dalam segala lini kehidupan yang pasti akan bersangkut paut dengan ekologi. Dalam hal ini, ekologi juga tersangkut dengan penghormatan pada kehidupan semua ciptaan dan keutuhan ciptaan.
            Sebuah konsep tentang hidup berdamai dengan alam setempat adalah bioregionalisme yang diperkenalkan oleh Allen Newkirk awal 1970-an. Menurut  Alexander Sonny Keraf dalam “Filsafat Lingkungan Hidup-Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan”, bioregionalisme adalah sebuah aliran filsasat atau sistem pemikiran yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah kelahiran”, tempat asal yang khas dan unik sebagaimana dikenal sejak lahir dan telah menopang kehidupan setiap manusia selama berabad-abad (hal. 154).
            Sonny menegaskan, bioregionalisme adalah sebuah kearifan hidup yang mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan alam setempat, untuk menata seluruh kehidupan kita, untuk membangun kehidupan kita bertumpu pada kapasitas dan batas-batas daya dukung alam sekitar, sesuai dengan kondisi air, udara, iklim dan fauna dan flora di sekitarnya (ibid. hal. 155).
            Bioregionalisme memungkinkan manusia untuk kembali secara sadar hidup sesuai dengan situasi dan kondisi alam yang ada. Manusia yang menyesuaikan diri tanpa harus mengubah tatanan kekayaan alam sedemikian radikal yang mengakibatkan alam kehilangan daya dukungnya. Di sini, kelestarian alam terjaga. Ekonomi tidak meniadakan ekologi. Di sini, ekonomi berjalan seiring dengan ekologi.
            Sebagaimana yang sudah dihidupi para nenek moyang kita sejak dulu kala, mereka menyesuaikan diri dengan alam ciptaan. Budaya yang dihidupi pun diinspirasi oleh alam ciptaan tanpa harus merusak secara radikal. Cara hidup mereka pun menyesuaikan dengan situasi dan kondisi alam setempat. Kegiatan perekonomian mereka menyesuaikan dengan alam setempat.
            Di tengah kerusakan alam ciptaan yang amat parah, manusia saat ini baik melalui individu, korporasi maupun kebijakan publik  dipanggil untuk kembali kepada kesatuan dengan alam ciptaan karena memang sebenarnya antarciptaan satu dengan yang lainnya saling terhubung dan mendukung.
            Pengelolaan ekonomi mau tidak mau harus menyatu secara utuh dengan ekologi. Keduanya tidak bisa saling dipertentangkan. Keduanya tidak bisa saling mengalahkan karena kecenderungan pada satu sisi secara ekstrem hanya akan memunculkan ketidakseimbangan. Perekonomian tidak melawan kondisi dan prinsip ekologis yang sudah berjalan dengan baik.
Hingga pada akhirnya kemajuan peradaban terjadi ketika pengelolaan ekonomi tidak menghancurkan tatanan ekologi. Dengan demikian, kesejahteraan sosial dan ekologis makin nyata terjadi.
           
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Berdamainya Ekonomi-Ekologi"