Melindungi Ibu Bumi

Sukinah, satu dari semibilan Kartini Kendeng


   
Sembilan perempuan yang biasa disebut Kartini Kendeng mengecor kedua kaki mereka dengan semen di seberang istana negara pada 12 April 2016. Dengan melakukan aksi itu, mereka berharap bisa berdialog dengan Presiden Jokowi perihal perjuangannya menolak rencana pendirian pabrik semen di Rembang. Sembilan perempuan pemberani itu adalah Sukinah, Ngadinah, Karsupi, Deni, Surani, Giyem, Ambarwati, Sutini dan Murtini. Sembilan perempuan tersebut sehari-harinya bekerja sebagai petani di sepanjang pegunungan Kendeng yaitu Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan, Jawa Tengah.
            Mereka bersama masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menolak rencana pendirian pabrik semen di sekitar pegunungan Kendeng. Pendirian pabrik semen berpotensi merusak alam, merusak cadangan air maupun budaya yang selama ini telah dihidupi turun menurun.
            Sebagai petani, mereka bersama masyarakat setempat hidup bergantung pada kemurahan alam yang telah dianugerahkan Tuhan. Secara turun temurun, bertahun-tahun, hidup agraris telah mereka jalani. Semua itu demi kehidupan, demi kelangsungan keturunan yakni anak-cucu yang akan meneruskan kehidupan mendatang. Mereka berelasi akrab dengan alam seraya menggantungkan harapan mereka bahwa alam pun berbuat baik sehingga mereka sekeluarga maupun masyarakat pun bisa turut menikmati hasil bumi.

            Sadar bahwa hasil bumi bukan hanya hasil jerih payah mereka, namun juga karena sumbangan alam, mereka pun tak segan berbagi pada yang berkekurangan. Petani sangat mudah berbagi. Tuhan melalui sistem yang tertata menumbuhkan, membesarkan, membuatnya berbunga, hingga menghasilkan buah yang berlimpah. Petani mengolah, menanam, memupuk dan merawat, selebihnya mekanisme alam yang bekerja. Indah sekali.
            Menjadi petani berarti berelasi dengan tanah, air, serta makhluk-makhluk yang berperan dalam memproduksi hasil pertanian. Mereka menyadari benar bahwa hidup di bumi ini tidak bisa sendiri. Hidup di bumi adalah hidup bersama makhluk-makhluk yang juga merayakan kehidupan. Mereka semua terkait antar satu dengan yang lain. Tak perpisahkan.
            Hingga pada suatu ketika ada pihak-pihak yang mengatasnamakan kesejahteraan mengoyak perayaan kehidupan yang sudah lama berlangsung. Industri semen akan didirikan. Katanya, dengan adanya industri semen, lapangan kerja akan terbuka lebar. Kesejahteraan lebih meningkat. Namun, mereka yang biasa bergumul mesra dengan ibu bumi tahu benar. Bahwa hadirnya industri di tempat mereka merayakan kehidupan dan menaruh harapan pada anak-cucu adalah sebuah kesalahan.
            Mereka yang bertani sadar betul, bahwa industri seman di kawasan tersebut mengancam kehidupan pertanian karena dengan hadirnya industri semen, air akan terganggu, lingkungan rusak, kehidupan sebagai petani terancam.
            Kehidupan petani adalah pemuliaan kehidupan. Petani ibarat bidan yang membantu melahirkan pangan dari rahim ibu bumi. Ibu bumi adalah sang pemilik rahim pangan itu. Hanya orang durhaka yang mencoba merusak rahim ibunya.
            Membela ibu bumi sang pemilik rahim pangan berarti pula menitipkan anak-cucunya kelak di kemudian hari sebagai penerus kehidupan. Manusia boleh berganti-ganti dan mati, namun, ibu yang memberi kehidupan hanya satu yakni ibu bumi.
            Kepentingan ekonomi semestinya tidak mengalahkan penghormatan terhadap hak hidup masyarakat secara layak. Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ menegaskan dalam hal apapun, harus selalu ditegaskan bahwa laba tidak boleh menjadi satu-satunya kriteria yang diperhitungkan, dan, ketika ada perkembangan informasi yang menambah unsur-unsur kritis, harus diadakan evaluasi baru dengan partisipasi dari semua pihak yang berkepentingan. Diskusi itu dapat menghasilkan keputusan untuk tidak melanjutkan proyek, mungkin juga perubahannya, atau pengembangan proposal alternatif (LS 187).
            Ibu-ibu bersama masyarakat Kendeng yang hidupnya bergantung pada pegunungan Kendeng berharap, di wilayah tersebut tidak ada industri semen demi kelangsungan kehidupan dan kebudayaan mereka. Mereka yang nyata-nyata telah melestarikan pegunungan Kendeng, karena mereka bergantung kepada pegunungan tersebut, berharap akan keutuhan pegunungan Kendeng. Caranya dengan menolak berdirinya industri semen. Pegunungan Kendeng akan lebih terjaga ketika di sana dikembangkan pertanian. Sebaliknya, pegunungan Kendeng akan rusak jika di tempat itu didirikan industri semen yang akan mengeruk bahan-bahan semen di bumi Kendeng sekaligus merusak tata air yang berimplikasi pada hancurnya budaya agraris.
            Seperti kutipan dari Kompedium Ajaran Gereja 470 yang ditulis kembali oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ 190, ia mengingatkan perlindungan lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata atas dasar perhitungan finansial tentang biaya dan laba. Lingkungan adalah salah satu barang yang tidak dapat secara memadai dilindungi atau ditingkatkan oleh mekanisme pasar.
            Ia melanjutkan dalam artikel nomor yang sama, apakah realistis untuk berharap bahwa orang yang terobsesi dengan keuntungan maksimal berhenti untuk memikirkan dampak ekologis yang akan ia tinggalkan untuk generasi mendatang?
            Saya menjawab, tidak realistis. Alih-alih memikirkan konservasi, korporasi lebih mementingkan mengejar keuntungan. Kalaupun ada dana tanggung jawab sosial perusahaan ataupun tanggung jawab lingkungan pun tak seberapa. Sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan. Kebanyakan hal itu hanya untuk pencitraan.
            Berdasar pengalaman dari masyarakat di sekitar industri, nyata bahwa pemulihan lingkungan tidak akan pernah bisa mengembalikan keaslian lingkungan itu sendiri. Lingkungan yang sudah hancur sangat sulit disembuhkan, apalagi diikuti ulah oknum korup dan serakah yang mengangkangi orang-orang lemah.
Sonny Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global mengingatkan kekeliruan paradigma pembangunan yang dominan mengutamakan ekonomi yang kerap disebut pembangunan yang developmentalistik. Menurutnya, paradigma dan pola pembangunan seperti itu terbukti mengabaikan atau memberi perhatian yang sangat minim terhadap lingkungan hidup dan pembangunan sosial-budaya (hal 85).
            Yang menarik dari yang dilakukan sembilan Kartini Kendeng dan JMPPK, gerakan tolak industri semen dilakukan dengan cara-cara damai, bukan dengan kekerasan meski mereka sebenarnya dalam arti tertentu mendapatkan situasi yang tidak nyaman karena hidupnya terancam. Ya, terancam. Bagaimana tidak terancam, mereka yang sudah turun temurun dan sekian lama sejahtera menjadi petani tiba-tiba dihadapkan pada suatu gambaran hidup bertani mereka akan tak sebaik dulu karena daya dukung alam berkurang akibat eksplotasi pabrik semen. Sukinah misalnya, ia bercerita kalau bertani telah memberikan kesejahteraan nyata baginya.
             Perjuangan dengan cara damai menjadi cara merayakan kehidupan yang telah lama mereka lakukan. Sehingga tidak mungkin merayakan kehidupan dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Proses ibu bumi dalam menyangga pertumbuhan tanaman dari biji hingga berbuah sungguh amat lembut. Belajar dari hal itu pula, menjaga ibu bumi pun mestinya diwarnai dengan damai tanpa kekerasan yang saling menyerang.

Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk " Melindungi Ibu Bumi"