Sukinah, satu dari semibilan Kartini Kendeng |
Mereka
bersama masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK) menolak rencana pendirian pabrik semen di sekitar pegunungan
Kendeng. Pendirian pabrik semen berpotensi merusak alam, merusak cadangan air
maupun budaya yang selama ini telah dihidupi turun menurun.
Sebagai petani, mereka bersama masyarakat setempat hidup bergantung
pada kemurahan alam yang telah dianugerahkan Tuhan. Secara turun temurun,
bertahun-tahun, hidup agraris telah mereka jalani. Semua itu demi kehidupan,
demi kelangsungan keturunan yakni anak-cucu yang akan meneruskan kehidupan
mendatang. Mereka berelasi akrab dengan alam seraya menggantungkan harapan
mereka bahwa alam pun berbuat baik sehingga mereka sekeluarga maupun masyarakat
pun bisa turut menikmati hasil bumi.
Sadar bahwa hasil bumi bukan hanya
hasil jerih payah mereka, namun juga karena sumbangan alam, mereka pun tak
segan berbagi pada yang berkekurangan. Petani sangat mudah berbagi. Tuhan
melalui sistem yang tertata menumbuhkan, membesarkan, membuatnya berbunga,
hingga menghasilkan buah yang berlimpah. Petani mengolah, menanam, memupuk dan
merawat, selebihnya mekanisme alam yang bekerja. Indah sekali.
Menjadi
petani berarti berelasi dengan tanah, air, serta makhluk-makhluk yang berperan
dalam memproduksi hasil pertanian. Mereka menyadari benar bahwa hidup di bumi
ini tidak bisa sendiri. Hidup di bumi adalah hidup bersama makhluk-makhluk yang
juga merayakan kehidupan. Mereka semua terkait antar satu dengan yang lain. Tak
perpisahkan.
Hingga pada suatu ketika ada
pihak-pihak yang mengatasnamakan kesejahteraan mengoyak perayaan kehidupan yang
sudah lama berlangsung. Industri semen akan didirikan. Katanya, dengan adanya industri
semen, lapangan kerja akan terbuka lebar. Kesejahteraan lebih meningkat. Namun,
mereka yang biasa bergumul mesra dengan ibu bumi tahu benar. Bahwa hadirnya
industri di tempat mereka merayakan kehidupan dan menaruh harapan pada
anak-cucu adalah sebuah kesalahan.
Mereka yang bertani sadar betul, bahwa
industri seman di kawasan tersebut mengancam kehidupan pertanian karena dengan
hadirnya industri semen, air akan terganggu, lingkungan rusak, kehidupan
sebagai petani terancam.
Kehidupan petani adalah pemuliaan
kehidupan. Petani ibarat bidan yang membantu melahirkan pangan dari rahim ibu
bumi. Ibu bumi adalah sang pemilik rahim pangan itu. Hanya orang durhaka yang
mencoba merusak rahim ibunya.
Membela ibu bumi sang pemilik rahim
pangan berarti pula menitipkan anak-cucunya kelak di kemudian hari sebagai
penerus kehidupan. Manusia boleh berganti-ganti dan mati, namun, ibu yang
memberi kehidupan hanya satu yakni ibu bumi.
Kepentingan ekonomi semestinya tidak
mengalahkan penghormatan terhadap hak hidup masyarakat secara layak. Paus
Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’
menegaskan dalam hal apapun, harus selalu ditegaskan bahwa laba tidak boleh
menjadi satu-satunya kriteria yang diperhitungkan, dan, ketika ada perkembangan
informasi yang menambah unsur-unsur kritis, harus diadakan evaluasi baru dengan
partisipasi dari semua pihak yang berkepentingan. Diskusi itu dapat
menghasilkan keputusan untuk tidak melanjutkan proyek, mungkin juga
perubahannya, atau pengembangan proposal alternatif (LS 187).
Ibu-ibu bersama masyarakat Kendeng yang
hidupnya bergantung pada pegunungan Kendeng berharap, di wilayah tersebut tidak
ada industri semen demi kelangsungan kehidupan dan kebudayaan mereka. Mereka
yang nyata-nyata telah melestarikan pegunungan Kendeng, karena mereka
bergantung kepada pegunungan tersebut, berharap akan keutuhan pegunungan
Kendeng. Caranya dengan menolak berdirinya industri semen. Pegunungan Kendeng
akan lebih terjaga ketika di sana dikembangkan pertanian. Sebaliknya,
pegunungan Kendeng akan rusak jika di tempat itu didirikan industri semen yang
akan mengeruk bahan-bahan semen di bumi Kendeng sekaligus merusak tata air yang
berimplikasi pada hancurnya budaya agraris.
Seperti kutipan dari Kompedium
Ajaran Gereja 470 yang ditulis kembali oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ 190, ia mengingatkan perlindungan
lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata atas dasar perhitungan finansial
tentang biaya dan laba. Lingkungan adalah salah satu barang yang tidak dapat
secara memadai dilindungi atau ditingkatkan oleh mekanisme pasar.
Ia melanjutkan dalam artikel nomor yang
sama, apakah realistis untuk berharap bahwa orang yang terobsesi dengan
keuntungan maksimal berhenti untuk memikirkan dampak ekologis yang akan ia
tinggalkan untuk generasi mendatang?
Saya menjawab, tidak realistis. Alih-alih
memikirkan konservasi, korporasi lebih mementingkan mengejar keuntungan. Kalaupun
ada dana tanggung jawab sosial perusahaan ataupun tanggung jawab lingkungan pun
tak seberapa. Sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan. Kebanyakan hal
itu hanya untuk pencitraan.
Berdasar pengalaman dari masyarakat
di sekitar industri, nyata bahwa pemulihan lingkungan tidak akan pernah bisa
mengembalikan keaslian lingkungan itu sendiri. Lingkungan yang sudah hancur sangat
sulit disembuhkan, apalagi diikuti ulah oknum korup dan serakah yang
mengangkangi orang-orang lemah.
Sonny Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global mengingatkan
kekeliruan paradigma pembangunan yang dominan mengutamakan ekonomi yang kerap
disebut pembangunan yang developmentalistik. Menurutnya, paradigma dan pola
pembangunan seperti itu terbukti mengabaikan atau memberi perhatian yang sangat
minim terhadap lingkungan hidup dan pembangunan sosial-budaya (hal 85).
Yang menarik dari yang dilakukan sembilan
Kartini Kendeng dan JMPPK, gerakan tolak industri semen dilakukan dengan
cara-cara damai, bukan dengan kekerasan meski mereka sebenarnya dalam arti
tertentu mendapatkan situasi yang tidak nyaman karena hidupnya terancam. Ya,
terancam. Bagaimana tidak terancam, mereka yang sudah turun temurun dan sekian
lama sejahtera menjadi petani tiba-tiba dihadapkan pada suatu gambaran hidup
bertani mereka akan tak sebaik dulu karena daya dukung alam berkurang akibat
eksplotasi pabrik semen. Sukinah misalnya, ia bercerita kalau bertani telah
memberikan kesejahteraan nyata baginya.
Perjuangan dengan cara damai menjadi cara
merayakan kehidupan yang telah lama mereka lakukan. Sehingga tidak mungkin
merayakan kehidupan dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Proses ibu bumi dalam
menyangga pertumbuhan tanaman dari biji hingga berbuah sungguh amat lembut.
Belajar dari hal itu pula, menjaga ibu bumi pun mestinya diwarnai dengan damai
tanpa kekerasan yang saling menyerang.
Posting Komentar untuk " Melindungi Ibu Bumi"
Kesan/Pesan
Posting Komentar