Martir Lingkungan Hidup




Pembelaan dan perlindungan pada kelestarian alam ciptaan membuat sejumlah orang menjadi martir. Sebut saja, Chico Mendes, Berta Caceres, dan yang dari Indonesia Salim Kancil. Chico Mendes adalah seorang seringueiros (penyadap karet) dari Brasil yang bersama masyarakat setempat berusaha menyelamatkan hutan hujan Amazon dari pembukaan lahan peternakan yang dilakukan pengusaha dan pemerintahnya. Akibatnya pepohonan di hutan itu dibabat. Melihat hal itu, dia bersama masyarakat berusaha untuk menentang proyek tersebut. Namun ia dibunuh oleh penembak gelap di sekitar rumahnya pada tanggal 22 Desember 1988.
Berta Caceres adalah seorang guru yang tergerak untuk menghentikan pembangunan sebuah PLTN dan pertambangan di tanah milik warga asli Honduras. Selama hidupnya dia berusaha melindungi hak-hak masyarakat adat seperti hak atas tanah dan sumber-sumber alam. Untuk memperkuat gerakannya, pada tahun 1993 ia mendirikan Dewan Nasional Organisasi rakyat dan Masyarakat Adat Honduras (COPINH). Berta dibunuh oleh dua orang penyerang di rumahnya di La Esperanza, Provinsi Intibuca, Honduras. Dia tewas ditembak di kediamannya pada hari Kamis (3/3/2016).
Salim yang lebih dikenal sebagai Salim Kancil pun tak luput dari aksi kekerasan ketika hendak menyelamatkan alam. Salim adalah petani. Dia bersama petani dan warga menolak tambang pasir di desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Akibatnya, dia harus berhadapan dengan preman tambang. Dia pun dibunuh oleh para preman itu dengan didahului penyiksaan di balai desa. Tubuhnya penuh dengan luka akibat penganiayaan.

Kerap kali perusakan alam demi pengerukan keuntungan akan sangat dekat dengan konflik bahkan harus berujung dengan kekerasan. Selain kerusakan fasilitas, nyawa pun melayang. Akibat lebih parah adalah alam pun rusak, daya dukung kehidupan pun menurun. Dan semua itu akan berdampak pada warga kehidupan bahkan tak hanya pada generasi manusia sekarang. Dampaknya terus akan merambat pada generasi mendatang jika manusia tak segera bertobat dan memperbaiki alam ciptaan ini.
Cara pandang yang keliru dalam memandang alam ciptaan membuat manusia berusaha untuk menjadikan alam ini hanya sebagai instrumen pemuas kebutuhan manusia. Bahkan hal itu melebihi tidak hanya kebutuhan, namun itu menjadi eksploitasi yang berujung pada foya-foya dan semena-mena.
Dengan cara ini, manusia akan berusaha memanfaatkan (baca: menguras) sumber alam secara massif dan tanpa kendali. Tak hanya berdampak pada ketidakadilan ekologis, namun itu juga berdampak pada ketidakadilan sosial. Tambang-tambang yang tidak ramah telah berbicara sangat banyak, bahwa eksploitasi alam dengan serakah hanya akan menyisakan ketidakadilan.
Ada orang yang mendapatkan keuntungan sangat banyak, sebaliknya ada orang yang alih-alih mendapat sedikit keuntungan, alam lingkungannya yang selama ini mendukung kehidupannya pun rusak. Akibatnya kehidupannya terancam.
Manusia melakukan kekerasan baik terhadap alam, bumi maupun sesamanya (manusia) sendiri ketika ingin mendapatkan keuntungan dari alam ini. Bukan kelembutan, namun kekerasan, perkosaan. Bumi dieksploitasi sedemikian rupa. Sementara manusia yang berusaha menyelamatkan alam ciptaan dibunuh. Manusia tercebur dalam dosa.
Paus Fransiskus mengingatkan dalam ensiklik Laudato Si’ kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tecermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan para semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita (LS 2).
Kekerasan itu begitu mengerikan. Penyanjung budaya kehidupan harus berhadapan dengan maut. Sesuatu yang amat kontras kehidupan dilawan dengan maut. Mungkin untuk saat ini ada beberapa manusia yang mendamba kehidupan yang harus mati dibunuh oleh manusia-manusia rakus demi tetap melangsungkan perusakan alam. Namun, ke depan, percayalah akan lebih banyak manusia yang kehidupannya terancam karena daya dukung kehidupan menurun akibat rusaknya alam ciptaan.
Kebanyakan kasus-kasus konflik dan kekerasan terjadi pada pembukaan tambang. Konferensi Waligeraja Indonesia melalui Nota Pastoral Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan 2013 menengarai kerugian yang diterima masyarakat di sekitar tambang. Bagi masyarakat sekitar tambang ganti rugi yang diterima sering tidak memadai dibandingkan dengan penderitaan yang harus mereka alami karena kehilangan mata pencaharian dan akibat kerusakan lingkungan. Selain itu, masyarakat juga tidak lebih sejahtera karena hasil tambang lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan para pekerja yang sebagian besar berasal dari luar daerah penambangan (no. 8.1).
Usaha mengubah ekosistem memang berisiko amat besar bagi semua makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia. Manusia yang biasa bertani dan menggarap lahan, tiba-tiba di sekitarnya dibuat pertambangan, dia akan terganggu. Bisa jadi, pasokan air yang dibutuhkan untuk pertanian berkurang ataupun mengandung zat-zat berbahaya yang digunakan untuk proses ekstraksi bijih tambang.
Martir-martir lingkungan hidup tidak berpikir untuk rejekinya saat ini. Namun, mereka berpikir untuk kelangsungan kehidupan sesamanya dan generasi penerus yang semestinya mendapat hak hidup di planet ini dengan segala kelimpahan kekayaan alamnya.
Hal itu terlihat dalam pidato Chico Mendes dalam salah satu kesempatannya. “Pada awalnya aku berpikir bahwa aku berjuang untuk menjaga keberlangsungan hidup para penyadap karet, kemudian aku berpikir bahwa aku berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang aku sadar, bahwa aku berjuang untuk kemanusiaan.”
Saya pun yakin, yang diperjuangkan Salim Kancil pun demikian. Dia tidak berjuang hanya untuk dirinya. Dia berjuang untuk kemanusiaan dan kelestarian kehidupan generasi penerus. Dia ingin agar kelak kehidupan yang lebih baik bisa dinikmati oleh generasi mendatang.
Ada suatu perjuangan yang lebih agung daripada perjuangan pribadinya. Bahkan nyawa pun turut dipersembahkan sebelum mereka sempat menikmati hasil perjuangannya. Demi sebuah kehidupan yang agung, selalu ada kurban yang dipersembahkan. Dan kurban itu pula yang menyuburkan kehidupan selanjutnya.
Banyak orang terinspirasi dalam hidupnya. Hidup tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri meski di sana-sini dirundung kesulitan dan keprihatinan. Namun, berbagi adalah sebuah hadiah untuk kehidupan meskipun hadiah itu berwujud kematian dirinya. Kehidupan di alam ciptaan ini pun mengajarkan demikian. Dari biji yang mati di dalam tanah, maka lahirlah kehidupan. Yesus pun mengajar demikian, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak (Yohanes 12:24).
Paus Fransiskus menegaskan dalam ensiklik Laudato Si’, jika bumi diberikan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi dan produktivitas untuk kepentingan pribadi. Kita berbicara tentang solidaritas antar generasi bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai soal mendasar keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka yang akan datang (LS 159).

Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Martir Lingkungan Hidup"