Berta Caceres adalah seorang guru yang tergerak untuk menghentikan
pembangunan sebuah PLTN dan pertambangan di tanah milik warga asli Honduras. Selama hidupnya dia berusaha melindungi
hak-hak masyarakat adat seperti hak atas tanah dan sumber-sumber alam. Untuk
memperkuat gerakannya, pada tahun 1993 ia mendirikan Dewan Nasional Organisasi
rakyat dan Masyarakat Adat Honduras (COPINH). Berta dibunuh oleh dua orang penyerang
di rumahnya di La Esperanza, Provinsi Intibuca, Honduras. Dia tewas ditembak di
kediamannya pada hari Kamis (3/3/2016).
Salim yang lebih
dikenal sebagai Salim Kancil pun tak luput dari aksi kekerasan ketika hendak
menyelamatkan alam. Salim adalah petani. Dia bersama petani dan warga menolak
tambang pasir di desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Akibatnya, dia harus
berhadapan dengan preman tambang. Dia pun dibunuh oleh para preman itu dengan
didahului penyiksaan di balai desa. Tubuhnya penuh dengan luka akibat
penganiayaan.
Kerap kali
perusakan alam demi pengerukan keuntungan akan sangat dekat dengan konflik
bahkan harus berujung dengan kekerasan. Selain kerusakan fasilitas, nyawa pun
melayang. Akibat lebih parah adalah alam pun rusak, daya dukung kehidupan pun
menurun. Dan semua itu akan berdampak pada warga kehidupan bahkan tak hanya
pada generasi manusia sekarang. Dampaknya terus akan merambat pada generasi
mendatang jika manusia tak segera bertobat dan memperbaiki alam ciptaan ini.
Cara pandang yang
keliru dalam memandang alam ciptaan membuat manusia berusaha untuk menjadikan
alam ini hanya sebagai instrumen pemuas kebutuhan manusia. Bahkan hal itu
melebihi tidak hanya kebutuhan, namun itu menjadi eksploitasi yang berujung
pada foya-foya dan semena-mena.
Dengan cara ini,
manusia akan berusaha memanfaatkan (baca: menguras) sumber alam secara massif
dan tanpa kendali. Tak hanya berdampak pada ketidakadilan ekologis, namun itu
juga berdampak pada ketidakadilan sosial. Tambang-tambang yang tidak ramah
telah berbicara sangat banyak, bahwa eksploitasi alam dengan serakah hanya akan
menyisakan ketidakadilan.
Ada orang yang
mendapatkan keuntungan sangat banyak, sebaliknya ada orang yang alih-alih
mendapat sedikit keuntungan, alam lingkungannya yang selama ini mendukung
kehidupannya pun rusak. Akibatnya kehidupannya terancam.
Manusia melakukan
kekerasan baik terhadap alam, bumi maupun sesamanya (manusia) sendiri ketika
ingin mendapatkan keuntungan dari alam ini. Bukan kelembutan, namun kekerasan,
perkosaan. Bumi dieksploitasi sedemikian rupa. Sementara manusia yang berusaha
menyelamatkan alam ciptaan dibunuh. Manusia tercebur dalam dosa.
Paus Fransiskus
mengingatkan dalam ensiklik Laudato Si’
kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tecermin dalam
gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan para semua
bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum
miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita (LS 2).
Kekerasan itu
begitu mengerikan. Penyanjung budaya kehidupan harus berhadapan dengan maut. Sesuatu
yang amat kontras kehidupan dilawan dengan maut. Mungkin untuk saat ini ada
beberapa manusia yang mendamba kehidupan yang harus mati dibunuh oleh
manusia-manusia rakus demi tetap melangsungkan perusakan alam. Namun, ke depan,
percayalah akan lebih banyak manusia yang kehidupannya terancam karena daya
dukung kehidupan menurun akibat rusaknya alam ciptaan.
Kebanyakan
kasus-kasus konflik dan kekerasan terjadi pada pembukaan tambang. Konferensi
Waligeraja Indonesia melalui Nota Pastoral Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan 2013 menengarai kerugian yang diterima masyarakat
di sekitar tambang. Bagi masyarakat sekitar tambang ganti rugi yang diterima sering
tidak memadai dibandingkan dengan penderitaan yang harus mereka alami karena
kehilangan mata pencaharian dan akibat kerusakan lingkungan. Selain itu,
masyarakat juga tidak lebih sejahtera karena hasil tambang lebih banyak
dinikmati oleh pemilik modal dan para pekerja yang sebagian besar berasal dari
luar daerah penambangan (no. 8.1).
Usaha mengubah ekosistem
memang berisiko amat besar bagi semua makhluk hidup yang ada di dalamnya
termasuk manusia. Manusia yang biasa bertani dan menggarap lahan, tiba-tiba di sekitarnya
dibuat pertambangan, dia akan terganggu. Bisa jadi, pasokan air yang dibutuhkan
untuk pertanian berkurang ataupun mengandung zat-zat berbahaya yang digunakan
untuk proses ekstraksi bijih tambang.
Martir-martir lingkungan hidup tidak berpikir untuk rejekinya
saat ini. Namun, mereka berpikir untuk kelangsungan kehidupan sesamanya dan generasi
penerus yang semestinya mendapat hak hidup di planet ini dengan segala
kelimpahan kekayaan alamnya.
Hal itu terlihat dalam pidato Chico Mendes dalam salah satu kesempatannya.
“Pada awalnya aku berpikir bahwa aku berjuang untuk menjaga keberlangsungan
hidup para penyadap karet, kemudian aku berpikir bahwa aku berjuang untuk
menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang aku sadar, bahwa aku berjuang untuk
kemanusiaan.”
Saya pun yakin, yang diperjuangkan Salim Kancil pun demikian. Dia tidak
berjuang hanya untuk dirinya. Dia berjuang untuk kemanusiaan dan kelestarian
kehidupan generasi penerus. Dia ingin agar kelak kehidupan yang lebih baik bisa
dinikmati oleh generasi mendatang.
Ada suatu perjuangan yang lebih agung daripada perjuangan pribadinya. Bahkan nyawa pun turut dipersembahkan sebelum mereka sempat menikmati
hasil perjuangannya. Demi sebuah kehidupan yang agung, selalu ada kurban yang
dipersembahkan. Dan kurban itu pula yang menyuburkan kehidupan selanjutnya.
Banyak orang terinspirasi
dalam hidupnya. Hidup tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri meski di
sana-sini dirundung kesulitan dan keprihatinan. Namun, berbagi adalah sebuah
hadiah untuk kehidupan meskipun hadiah itu berwujud kematian dirinya. Kehidupan
di alam ciptaan ini pun mengajarkan demikian. Dari biji yang mati di dalam
tanah, maka lahirlah kehidupan. Yesus pun mengajar demikian, “Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati,
ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak (Yohanes 12:24).
Paus Fransiskus menegaskan dalam
ensiklik Laudato Si’, jika bumi
diberikan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran
manfaat, efisiensi dan produktivitas untuk kepentingan pribadi. Kita berbicara
tentang solidaritas antar generasi bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai
soal mendasar keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka yang
akan datang (LS 159).
Posting Komentar untuk "Martir Lingkungan Hidup"
Kesan/Pesan
Posting Komentar