Di antara kita mungkin
masih teringat peristiwa memilukan yaitu bencana longsornya sampah di tempat
pembuangan sampah (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari 2005.
Bencana itu memakan korban nyawa 157 orang. Di samping korban nyawa, musibah
itu juga mengakibatkan kampung Cilimus dan Pojok tertimbun. Atas desakan
berbagai pihak, berdasarkan kejadian tersebut pemerintah mencanangkan 21 Februari sebagai Hari Peduli
Sampah Nasional (HPSN). Pesan dari musibah TPA itu adalah sampah jika tidak
dikelola dengan baik akan menjadi monster bagi manusia itu sendiri. Sampah
kalau tidak dikelola dengan baik akan mengancam kehidupan makhluk hidup.
Peringatan HPSN pun
ditanggapi berbagai pihak baik secara positif maupun tidak. Ada yang merespon
dengan melakukan upaya pengelolaan sampah. Namun ada pula yang tak berbuat
apa-apa, karena menurutnya, persoalan tersebut tidak terlalu penting dan
mendesak.
Lebih lanjut, secara
spesifik, pada HPSN 21 Februari 2016, pemerintah memberlakukan kantong plastik
berbayar melalui Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik
Berbayar. Konsumen yang semula kalau berbelanja mendapat kantong plastik gratis,
mulai hari itu konsumen kalau menghendaki kantong plastik, maka dia harus
membayar sebanyak 200 rupiah.
Pemberlakuan kebijakan
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik yang makin hari
makin menggunung. Kebijakan
plastik berbayar menjadi pilihan tepat pada saat masyarakat kurang
memperhatikan aspek pengelolaan sampah, khususnya plastik.
Menurut
Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang telah 10 tahun mengikuti isu
sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per
tahun. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/menyambut-hari-peduli-sampah-nasional-2016).
Bisa dibayangkan jika kita masih membiarkan
kebiasaan ini. Padahal kantong plastik itu banyak yang hanya dipakai sekali.
Begitu selesai pemakaian, plastik langsung dibuang, meskipun sebenarnya bisa
dipakai ulang. Kita bisa membayangkan masa depan bumi ini akan diliputi
sampah-sampah plastik yang merusak ekosistem baik di daratan maupun di
perairan. Dan ketika sampah plastik itu tiba di perairan, biota laut akan
terancam, karena banyak ikan dan makhluk laut yang memakan remah-remah plastik
tersebut.
Kantong
plastik biasa membutuhkan waktu sepuluh sampai 12 tahun untuk terurai. (http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150314083106-255-39061/jenis-sampah-dan-lama-proses-penghancurannya/). Bahkan dalam lingkungan tertentu, penguraian kantong plastik
bisa lebih lama dari itu.
Bagi
saya, demi kelestarian alam ini, jika tidak bisa mengelola sampah dengan baik,
lebih baik mengurangi sampah. Menurut saya kebijakan pemerintah tersebut perlu
didukung bahkan, kita bisa lebih dari itu. Misalnya, kita
menghentikan-mengurangi penggunaan kantong plastik lalu berusaha untuk memakai
kantong yang kita bawa dari rumah yang bisa dipakai berulang-ulang. Dengan demikian alam yang merupakan anugerah
Tuhan bisa kita lestarikan. Kita menghindari diri untuk tidak turut
beramai-ramai merusak anugerah Tuhan tersebut. Karena walau bagaimanapun juga,
kita tidak pernah bisa menciptakan bumi ini. Kita tinggal hidup di bumi ini. Tumbuhan,
hewan dan segala makhluk yang lain sudah tersedia. Kita tidak pernah mampu
menciptakan mereka. Namun, sebenarnya kita dipanggil untuk mengelola semua
ciptaan demi kesejahteraan kosmos itu sendiri. Rusaknya satu makhluk berpotensi
mengganggu relasi kehidupan makhluk yang lain hingga akhirnya merusak tata
ekosistem yang terajut dalam jejaring kehidupan.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ tentang Perawatan Rumah Kita
Bersama mengritisi budaya membuang yang menjadi habitus manusia di planet ini. Kita
belum berhasil mengadopsi model produksi yang melingkar, yang mampu
melestarikan sumber-sumber daya untuk generasi sekarang dan masa depan, dengan
membatasi sebanyak mungkin penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan,
meminimalkan penggunaannya, memaksimalkan penggunaan yang efisien, dengan cara
penggunaan kembali dan daur ulang. Memberi perhatian serius kepada
masalah-masalah ini menjadi salah satu cara menangkal budaya ‘membuang’ yang
akhirnya mempengaruhi seluruh planet (LS 22).
Mungkin
kita merasa, (mengurangi penggunaan) tidak memakai kantong plastik adalah
urusan kecil, namun di balik itu sebenarnya terangkum proyek kehidupan yang
amat agung.
Posting Komentar untuk "Mengurangi (Menolak) Kantong Plastik"
Kesan/Pesan
Posting Komentar