Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan Hidup

Kita masih ingat berita di media dan jejaring sosial yakni tanaman Amarilis yang berbunga indah di desa Salam, Patuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyedot perhatian masyarakat. Dalam beberapa saat, kebun bunga itu didatangi pengunjung untuk berfoto selfie ataupun wefie. Sayangnya,  tak berapa lama, bahkan dalam waktu yang teramat singkat, tanaman-tanaman itu rusak terinjak-injak. Parahnya, ada orang yang berfoto selfie dengan merebahkan diri di kumpulan bunga itu. Dia berpose tiduran menghadap ke langit, sementara itu, bunga-bunga Amarilis itu tertindih tubuhnya. Alhasil, keindahan yang terpancar dari bunga-bunga itu pun sirna. Padahal konon, tanaman di kebun yang diusahakan Sukadi sejak 2006 itu hanya berbunga pada saat-saat tertentu saja, bukan tanaman yang berbunga sepanjang musim. Artinya, untuk menikmati keindahan bunga itu lagi, kita harus menunggu lama.
Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa yang terjadi pada peristiwa rusaknya bunga-bunga Amarilis tersebut sebenarnya adalah peristiwa pengumbaran egoisme dan keserakahan. Mereka ingin menikmati bunga-bunga itu untuk dirinya sendiri. Tak peduli pada orang lain yang juga ingin menikmati keindahan bunga itu, apalagi peduli pada bunga-bunga itu sendiri. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri, menyenangkan dirinya sendiri sehingga mereka tidak peduli kalau bunga-bunga itu terinjak-injak, bahkan sengaja diinjak hanya untuk menikmati keindahan bunga-bunga itu sendiri.

Demikian juga, kita kerap melihat aksi paradoks sebagian dari mereka yang menyebut diri kelompok pecinta alam. Mereka mendaki gunung. Sesampai di puncak gunung mereka berfoto-foto. Dalam proses pendakian, mereka pun meninggalkan sampah-sampah mereka begitu saja. Bahkan ada beberapa tanaman yang hanya hidup di daerah gunung pun diambil. Alasannya, mereka ingin menjadikan tanaman itu sebagai kenang-kenangan. Ini pecinta alam atau perusak alam?
Akar masalah ini pada dasarnya juga sama dengan yang terjadi pada eksploitasi alam misalnya tambang. Kebanyakan yang terjadi, selain tidak bertanggung jawab kepada keselamatan masyarakat sekitar, penambang berusaha mengeruk kandungan mineral di dalam perut bumi sebanyak mungkin. Mereka tak peduli pada masyarakat yang berada di sekitar tambang yang selama ini menggantungkan hidupnya pada alam. Akibatnya, masyarakat yang selama ini bisa mendapatkan kelimpahan air dari alam, akhirnya terganggu karena air dari alam itu tak bisa tersimpan dengan baik, akibat alam yang rusak itu. Terjadilah krisis air.
Ketika ada pihak-pihak yang berusaha menghentikan penambangan itu, pihak tambang akan berusaha mempertahankan pendiriannya meski sebenarnya sudah jatuh korban baik masyarakat maupun lingkungan hidup di sekitar  penambangan tersebut.
Padahal menurut Sonny Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (2010), krisis air pada gilirannya juga akan bermuara pada krisis pangan. Ini terjadi karena semakin banyak areal pertanian yang tidak mendapat pasokan air yang memadai. Dan ini pun akan memicu konflik baik di antara para petani, petani dan peternak, maupun di antara petani dan dunia industri yang sama-sama membutuhkan air untuk kegiatan produktifnya.
Alam yang sebenarnya adalah anugerah untuk semua warga kehidupan dikuasai oleh sekelompok atau seseorang tertentu hanya untuk meraup keuntungan. Dalam kasus bunga Amarilis itu, alam dikuasai hanya untuk kesenangan diri sendiri.
Manusia tak lagi bisa bersyukur kalau semua itu anugerah Tuhan. Manusia tak bisa menciptakan semua keindahan alam itu. Manusia hanya bisa menemukannya saja, memakainya, mengelolanya sedemikian rupa. Dan demi kelangsungan hidupnya, manusia semestinya melestarikannya dengan segenap tenaga, pemikiran dan upayanya.
Kerakusan yang dilakukan dalam mengambil kekayaan alam mungkin dalam waktu sesaat bisa menguntungkan orang tersebut. Namun, dalam waktu-waktu mendatang, hal itu bisa memunculkan kerugian dan kerusakan alam yang tidak hanya menghantam orang-orang tertentu, namun, semua orang dan warga kehidupan ini bisa terkena dampaknya langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini kerakusan apalagi yang disertai dengan kecerobohan dalam mengelola lingkungan hidup akan menimbulkan krisis dan bencana lingkungan hidup, bahkan konflik perebutan sumber-sumber kehidupan dari alam.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si tentang Perawatan Rumah Kita Bersama menegaskan bahwa, dalam menyelamatkan alam, umat manusia harus berubah. “Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk (LS 202).
Semua kehidupan di bumi ini berasal dari unsur-unsur yang sama. Unsur-unsur yang ada dalam tubuh manusia juga berasal dari bumi. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya diciptakan oleh Pencipta yang sama. Dengan demikian, semua makhluk adalah saudara karena kita diciptakan oleh Pencipta yang sama, sama halnya anak pertama dan anak kedua adalah saudara karena mereka dilahirkan dari orangtua yang sama.
Sebagai saudara atau warga kehidupan, kita semestinya hidup saling memiliki dan menjaga. Semua dipanggil untuk mempunyai peran dalam kehidupan ini untuk saling menghidupi. Tidak ada makhluk yang bisa hidup sendiri. Semua bergantung kepada kehidupan makhluk lainnya.
Sebagai makhluk yang sudah menikmati anugerah Tuhan, selain berbagi dengan sesama yang segenerasi, kita semestinya juga berbagi dengan para penerus kehidupan ini. Anak cucu kita berhak menerima anugerah seperti yang kita nikmati pada hari ini. Dan demi kelestarian alam ini pula, kita semestinya mendidik anak cucu kita supaya mensyukuri segala anugerah Tuhan melalui semua ciptaan-Nya. Kita mewariskan keutamaan cinta terhadap ciptaan Tuhan. Dengan demikian, anak-cucu generasi mendatang pun menjadi penjaga-penjaga alam ini. Maka, mereka harus diberi keteladanan terkait kecintaan kita pada lingkungan hidup.
Jadi, ada dua hal yang perlu dilakukan manusia saat ini, pertama, mencintai alam ciptaan, karena dengan demikian, kita sebenarnya juga mencintai anak-cucu kita. Kedua, mendidik generasi muda-anak-anak supaya cinta pada alam ciptaan.
Jika kita renungkan lebih lanjut, ketika kita membuang satu per satu sampah yang tak bisa diurai dengan baik, dan baru terurai setelah puluhan bahkan ratusan tahun, sebenarnya kita sedang melempar sampah-sampah itu kepada anak-cucu kita. Mungkin, kita si pelempar sampah suatu ketika sudah mati, namun anak cucu kita yang meneruskan kehidupan ini menghadapi penderitaan akibat ulah kita. Mereka mungkin kesulitan mencari makan, karena sumber makanan mereka entah dari tumbuhan atau hewan menjadi semakin sedikit dan semakin tidak sehat. Dengan demikian, bukankah sebenarnya, kita sedang dan telah menciptakan penderitaan pada anak cucu kita? Di sini jelas ada hubungan antara sampah plastik dengan penderitaan mereka kelak. Mungkin mereka sudah tidak bisa tinggal dengan baik di bumi ini karena lingkungan yang makin tidak sehat akibat warisan kita selama hidup kita. Ini serius, pertobatan ekologis bukan main-main.
Paus Fransiskus  menegaskan, lingkungan alam adalah harta kita bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Jika sesuatu dijadikan milik kita sendiri, itu hanya untuk mengelolanya demi kesejahteraan semua. Jika tidak, kita memberatkan hati nurani kita dengan beban menyangkal keberadaan orang lain (LS 95).
Sonny Keraf dalam Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (2010) menegaskan perlunya perubahan cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Yang dibutuhkan adalah sebuah kesadaran baru bahwa alam dan lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Bahwa alam itu berharga. Alam tidak sekadar mempunyai nilai instrumental bagi kepentingan manusia. Dan karena itu, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup, terlepas dari kegunaannya bagi kepentingan manusia (hal. 115).
Menyelamatkan dan melestarikan alam ciptaan adalah mendesak dan penting.


Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan Hidup"