Bersua dengan Alam Ciptaan



Tuwi Kawilujenganing Jagad yang diselenggarakan Gereja Santo Thomas Rasul Bedono beberapa waktu lalu menjadi salah satu penanda keterlibatan Gereja dalam melestarikan alam ciptaan. Gereja hadir berdialog, merajut relasi yang baik dengan alam ciptaan. Gereja menyapa bumi sebagai rahim pangan bersama. Gereja menyapa siapapun dan apapun.
Menurut Pastor Paroki Bedono Patricius Hartono, Pr, Gereja Bedono ingin bersyukur dengan gerakan-gerakan ekopastoral yang sudah dilakukan. Jangkrik selalu bernyanyi ada atau tidak ada orang. Namun, akan menjadi makin bermakna kalau ada orang yang datang mendekat mendengarkan keindahan suara jangkrik. Demikian pula, gerakan-gerakan ekopastoral di Paroki Bedono tetap dilakukan dengan ada atau tidak ada orang yang datang menengok. Namun akan menjadi semakin bermakna jika ada yang datang bergembira merayakan syukur atas upaya-upaya pastoral yang telah ditempuh di sana bersama-sama. 
Tuwi Kawilujenganing Jagad merupakan wujud kesediaan untuk hadir atau datang bersua alam ciptaan. Datang adalah bentuk sapaan persaudaraan yang istimewa. Dalam tradisi Jawa, menurut Pastor Hartono, ketika orang mau menyampaikan undangan secara lisan, pertama-tama yang disampaikan adalah melihat keadaan-keselamatan-kesehatan-kebaikan orang yang dikunjungi. “Ingkang sepisan tuwi kawilujenganipun ....”

 Menurut Pastor Hartono, bentuk persaudaraan yang utama adalah mau datang. “Tuwi kawilujengan adalah bagaimana kita mau menyisihkan waktu, tenaga kita untuk  mau tahu dengan dunia, dengan saudara-saudara,” katanya.
Di Paroki Bedono, melakukan upaya pelestarian alam ciptaan berarti hadir kepada alam ciptaan, melihat keadaan alam ciptaan, mengenal setiap entitas-jenis-keunikan alam ciptaan di sekitar. Itu semua adalah upaya merajut relasi antara manusia dengan alam ciptaan. Maka, manusia, dalam hal ini, memastikan dirinya akrab dengan alam ciptaan, tahu dan sadar bahwa dirinya terjalin dalam suatu ikatan. Manusia sadar bahwa ada relasi yang kuat, ada imbal balik yang jelas dari relasi itu. Dan manusia sadar, bahwa dirinya adalah bagian dari alam ciptaan ini yang antarsatu dengan yang lainnya saling mempengaruhi, membutuhkan dan menghidupi.    
Terkait dengan kalimat terakhir itu, manusia sadar bahwa dirinya bisa hidup karena makan dan minum dari alam. Alam menjadi lumbung pangan manusia. Maka menjadi sambung ketika Paroki Bedono di salah satu wilayahnya, Sadang, membudidayakan kimpul plocot (talas) sebagai salah satu sumber pangan warga. Pertanian lestari-organik pun dirintis demi keberlangsungan tanah yang lestari supaya tetap memberikan hasil bumi yang baik. 
Tanah dan air disucikan karena dengan demikian, manusia sadar bahwa sebenarnya anugerah Tuhan adalah sesuatu yang suci yang digunakan manusia sesuai kebutuhannya, bukan berdasarkan pada keserakahan. Dengan menyadari kesucian anugerah Tuhan itu, manusia menghargai dan mengelola anugerah itu dengan baik. Sesuatu yang suci itu mesti dijaga dengan baik.
Upaya melestarikan alam ciptaan mestinya memperhatikan konteks budaya masyarakat yang berkembang di tempat tersebut. Paroki Bedono, mayoritas umatnya adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor agraris. Tanah, air dan mineral menjadi penunjang hidup mereka. Maka, kesadaran untuk menjaga alam ciptaan bertolak dari budaya pertanian dan sekaligus menuju pada budaya pertanian tersebut hingga tak ada lagi orang yang bertani dengan cara-cara tak ramah lingkungan. Gerakan ini berusaha melestarikan alam dan sekaligus mengupayakan ketahanan pangan. Dari yang semula hanya berbelanja sayur, berubah menjadi penghasil sayur mandiri. 
Seorang petani yang baik memperhatikan bibit yang baik untuk mempersiapkan masa tanam mendatang. Maka, biasanya seorang petani akan mempersiapkan bibit dengan baik supaya suatu ketika bisa menghasilkan panenan yang baik pula. Demikian pula, upaya ekopastoral. Upaya ini juga dikenalkan pada anak-anak sejak dini. Mereka diajak untuk melihat dan mengenali kebun, mengenali jenis-jenis tanaman dan hewan ternak, bahkan melibatkan mereka dalam aneka usaha cocok tanam dan ternak. Alam menjadi medan permainan mereka. Bahkan mereka berkesenian dengan memakai bahan-bahan dari alam, mengambil kisah-kisah dari alam. Dengan memakai bahan-bahan dari alam mereka memainkan lakon wayang sayur. Doa-doa pun diletakkan dalam ungkapan syukur atas atas alam yang melimpah.
Kebutuhan akan alam ciptaan yang lestari tidak hanya menjadi milik golongan atau agama tertentu. Semuanya membutuhkan kelestarian alam ciptaan. Karena kelestarian alam ciptaan menjadi kebutuhan bersama, di sanalah sebenarnya pintu dialog dan kerja sama terbuka lebar. Agama-agama bertemu, berdialog menjawab kebutuhan akan kelestarian alam. Agama bergeser dari sekadar hanya berbicara dogma menuju pada gerakan-gerakan nyata dalam melestarikan alam ciptaan yang merupakan anugerah Tuhan. Tak perlu lagi berdebat mencari benar atau salah, sesat atau tidak atas suatu agama, namun agama mulai bergeser menuju upaya-upaya nyata dalam pelestarian alam.
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ menyarankan untuk membangun dialog baru. “Saya mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua (LS 14)”.
Demikian pun wajah liturgi tidak hanya sekadar formalitas. Ekaristi yang menjadi sumber dan puncak hidup orang kristiani benar-benar merangkum upaya-upaya pelestarian alam ciptaan. Maka, persembahan diusahakan secara jujur dengan mempersembahkan segala upaya-upaya dan hasil yang selama ini dihidupi dan digumuli. Sebagai petani, ia mempersembahkan hasil pertaniannya yang selama ini diusahakannya. Misalnya, seorang petani salak akan mempersembahkan salaknya. Seorang peternak kelinci akan mempersembahkan kelincinya. Bukan yang lain yang tak pernah diusahakannya. 
Syukur dirayakan dengan ekaristi di alam. Peristiwa ini tidak hanya merupakan misa di alam, tetapi misa bersama alam. Alam ciptaan tidak lagi hanya menjadi locus. Alam ciptaan juga memuji Sang Pencipta dengan caranya sendiri. Tentang hal ini, Santo Fransiskus Assisi pernah menyampaikan kalau daun-daunan pun berbicara tentang Tuhan. Seperti yang ditulis Corinne van Moorselaar dalam Jiwa Kosmis tulisan William Chang, OFMCap, kepada teman-temannya, Santo Fransiskus berkata, ”Apakah kalian mendengar dedaunan pohon membisikkan sesuatu di udara? Suara itu berbicara mengenai Tuhan Pencipta. Tataplah apa yang diciptakan Allah bagi kita, karena kebaikan-Nya yang tak terbatas.  

Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Bersua dengan Alam Ciptaan"