Mengasih Allah melalui Karya Ciptaan-Nya



Akhir-akhir ini, kerusakan alam makin parah. Walaupun ada individu, keluarga, organisasi, maupun elemen lainnya mulai sadar akan cinta lingkungan hidup, namun semua itu tak serta merta memulihkan alam yang rusak. Sebab, masih banyak orang dan pihak lain yang masih bersikukuh untuk merusak alam ini.  Akibatnya, krisis dan bencana lingkungan hidup tetap terjadi. Menurut A. Sonny Keraf dalam Filsafat Lingkungan Hidup, akar penyebab krisis dan bencana lingkungan hidup disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia. Kesalahan perilaku manusia disebabkan oleh karena kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan paradigma berpikir (hal 8).
Paradigma yang sekarang kuat mempengaruhi masyarakat baik sipil-individu, korporasi maupun negara adalah paradigma antroposentrisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu termasuk alam semesta. Dalam pandangan seperti itu, alam hanya menjadi instrumen ekonomi bagi manusia. Akibatnya, manusia berlomba mengeksploitasi alam ciptaan untuk kesejahteraannya (kekayaannya).

Bahkan, antroposentrisme itu juga berlanjut dalam egosentrisme yang menyatakan bahwa aku adalah pusat dari segala sesuatu. Dalam konteks perusakan alam, selain merusak alam, manusia juga berlomba menjadikan dirinya sebagai pusat. Alih-alih peduli pada alam, pada sesama manusia pun antarmanusia satu dengan yang lain tak peduli. Yang dipedulikannya adalah keuntungan bagi dirinya. Hal ini terlihat dari upaya pihak tertentu dalam membuka pertambangan secara serampangan. Di samping merusak alam, dia juga mengancam hidup manusia-masyarakat yang ada di sekitar tempat tersebut, misalnya dengan merusak vegetasi. Akibatnya cadangan air terancam berkurang, kesuburan hilang, kualitas udara pun menurun. Masyarakat yang bertani di sekitar daerah tersebut terancam tidak bisa bertani dengan baik. Akibat selanjutnya adalah gagal panen yang diikuti dengan langkanya bahan pangan. Masyarakat terancam menderita kelaparan.
Setidaknya dengan mengutip  Fritjof Capra dalam  The Turning Point, A. Sonny Keraf menulis ada 3 fase perkembangan paradigma manusia terhadap alam. Fase pertama adalah zaman para filsuf alam dengan tokoh utama Aristoteles, yang memahami alam semesta secara organis sebagai kesatuan asasi di antara berbagai bagian alam semesta. Pemahaman ini bertahan sampai dengan abad pertengahan sampai sekitar tahun 1500 (ibid, hal 54).  
Fase kedua lahir oleh munculnya abad pencerahan yang mengubah seluruh cara pandang tentang alam semesta. Terjadilah perubahan yang meninggalkan paradigma organis tentang alam dengan digantikan oleh paradigma mekanistis tentang alam yang sedemikian mendominasi masyarakat modern (ibid, hal 55).
Fase ketiga adalah paradigma sistemik, organik, holistik dan ekologis yang terjadi pada awal abad ke-20. Paradigma ini menekankan alam semesta sebagai sebuah kesatuan menyeluruh yang organis dan holistis. (ibid, hal 70).
Dalam pandangan ini pun terkuak bahwa manusia adalah makhluk ekologis yang berkembang dan hidup karena terkait dengan ekosistem dan alam di sekitarnya. Pandangan yang ketiga tersebut sebenarnya sudah pernah dihidupi oleh manusia pada waktu-waktu awal. Karena pengaruh pemahaman bahwa alam semesta bersifat mekanistis dan terpisah sedemikian kuat mempengaruhi ilmu pengetahuan, cara berpikir dan bertindak masyarakat, maka untuk kembali kepada paradigma manusia yang bersatu dengan alam dan menyadari dirinya sebagai makhluk ekologis sangat sulit.
Manusia-masyarakat sudah terlanjur meyakini pandangan bahwa alam bersifat mekanistis seperti mesin dan bagian-bagian di dalamnya bisa dipisah-pisahkan tanpa merusak bagian yang lebih besar. Dan hal itu berlanjut pada upaya eksploitasi yang masif dengan mengatasnamakan kesejahteraan. Bahkan tak hanya eksploitasi alam, eksplotasi pada sesama manusia pun dilakukan. Setidaknya, hal itu juga melanggar hak hidup sejahtera manusia lain yang ada di planet ini.
Upaya untuk mengajak dan menyadarkan manusia kembali  kepada paradigma sistemik, organik, holistik dan ekologis ini menjadi pekerjaan semua pihak. Sebab menyelamatkan bumi diawali dengan paradigma yang tepat sebelum akhirnya maju pada upaya-upaya yang lebih praktis. Dalam hal inilah sebenarnya melek ekologi menjadi penting.
Fritjof Capra menekankan pentingnya melek ekologi (ecoliteracy) yang bisa dihidupi tidak hanya individu namun juga masyarakat yang tecermin dalam perubahan pola, tindakan, praksis dan gaya hidup mereka demi menuju masyarakat berkelanjutan. Melek ekologi (ecoliteracy) menggambarkan tentang bangkitnya kesadaran individu-masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup dan hidup harmonis dalam bagiannya.
Prinsip penting, yang dikenalkan Fritjof Capra yang ditulis oleh A. Sony Keraf dalam bukunya, yang membantu melek ekologis adalah pemahaman akan prinsip-prinsip ekologis yakni jejaring (networks), siklus (cycles), energi surya (solar energy), kemitraan (partnership), keanekaragaman (diversity), dan keseimbangan dinamis (dynamic balance).  
Dengan memahami prinsip ekologis ini, manusia diharapkan dapat menyesuaikan diri dalam prinsip-prinsip tersebut demi terwujudnya masyarakat yang berkelanjutan. Dalam situasi ini masyarakat baik sipil, korporasi maupun negara melalui pemerintahnya mempunyai kesadaran baru perihal cara beradanya di muka bumi ini mengingat dirinya adalah salah satu makhuk yang menjadi penghuni bumi. Dari kehidupan yang lebih besar, manusia juga bergantung sepenuhnya demi kelangsungan hidupnya.
Menurut A. Sony Keraf, kesadaran tersebut menjiwai seluruh penataan kehidupan manusia, mulai dari konsumsi kebutuhan pokok, konsumsi energi, penggunaan teknologi dan seluruh peralatan rumah tangga, penggunaan fasilitas dan sarana transportasi, penataan bangunan rumah dan perawatan rumah, sampai pada pola pertanian atau mata pencaharian lainnya, pengembangan industri dan pengelolaan organisasi atau kantor di tempat kerja, pengembangan bisnis, ekonomi, politik, pendidikan dan seterusnya (ibid, hal 126).
Dalam hal ini melek ekologi akan terkait dengan kecerdasan ekologis seseorang, masyarakat, korporasi maupun pemerintah. Kecerdasan ekologis mengandaikan mereka bisa memilih produk yang ramah lingkungan. Sebelum mengonsumsi sebuah produk mereka melakukan analisa mengenai baik buruk, dampak terhadap lingkungan, boros tidaknya terhadap pemakaian energi dan sebagainya. Kecerdasan ekologis mengandaikan seseorang melek ekologi dan mempertimbangkan pemakaian produk-produknya dalam kerangka prinsip ekologi.
Dengan demikian kecerdasan ekologis menghindari seseorang serampangan dalam mengonsumsi produk tertentu. Kecerdasan ekologis mengajak seseorang untuk berhati-hati dalam mengonsumsi bahkan dalam memproduksi produk-produk tertentu.
Bagaimana iman berada dalam situasi itu? Paus Fransiskus dalam suatu misa pagi mengingatkan akan panggilan orang Kristiani dalam melestarikan alam. Menurutnya, seorang Kristiani yang tidak melindungi ciptaan, yang tidak membiarkannya tumbuh, adalah seorang Kristiani yang tidak peduli akan karya Allah, bahwa karya itu lahir dari kasih Allah bagi kita. Kita pun berefleksi, jika Allah mengasihi kita melalui karya ciptaan-Nya, bagaimana mungkin kita mengabaikannya bahkan merusaknya? Kita merusak kasih Allah? Bukankah sebaiknya, kita mengasih Allah melalui karya ciptaan-Nya?



Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Mengasih Allah melalui Karya Ciptaan-Nya"