Beberapa kasus
yang akhir-akhir ini terjadi adalah konflik antara masyarakat dengan pihak
pengembang yang akan membangun apartemen atau hotel. Setidaknya ada dua
pemaknaan yang berbeda mengenai tanah. Bagi pihak masyarakat, tanah menjadi
tempat dan sumber hidup manusia. Sementara bagi investor, tanah adalah wahana
untuk mendulang keuntungan meskipun dengan cara yang akhirnya juga merusak
tanah itu sendiri. Dalam hal ini tanah tidak berbeda dengan barang modal yang
setara dengan mesin produksi.
Reduksi makna
atas tanah inilah yang membuat manusia tidak lagi bisa menghargai tanah sebagai
anugerah Tuhan, yang sampai hari ini pun, belum ada manusia yang bisa membuat
tanah. Segala makhluk hidup tak bisa lepas dari peran tanah baik langsung
maupun tidak langsung. Terlebih manusia, ia bisa dan hanya bisa hidup karena
tanah. Semua yang dikonsumsinya terkait dengan tanah.
Mungkin karena
perkembangan budayanya yang mulai meninggalkan dunia agraris, manusia menjadi makin
berjarak setidaknya dalam hal pemaknaannya pada tanah atau alam. Padahal jelas,
manusia sangat dekat dengan tanah dan alam karena makanan dan minuman yang
dikonsumsi tiap hari tak bisa lepas dari tanah dan alam.
Menurut Y.
Wartaya Winangun SJ dalam Tanah Sumber Nilai Hidup (2004:73-77), makna yang
melekat pada tanah bagi manusia kurang lebih demikian.
Pertama, tanah
merupakan sawah/ladang garapan. Tanah digarap untuk menghasilkan barang-barang
kebutuhan hidup manusia. Bagi para petani,
misalnya, tanah menjadi satu-satunya sumber hidup.
Kedua, tanah mempunyai
makna ruang di mana manusia hidup dan berada. Tanah merupakan tempat di mana
manusia hidup dan berkembang. Tempat untuk tinggal, merajut relasi dan cinta
dengan sesamanya.
Ketiga, tanah mempunyai makna sebagai kawasan
lingkungan hidup bagi manusia. Juga kalau kawasan itu tidak dimilikinya,
kawasan lingkungan mempengaruhi dan menentukan gaya hidup orang.
Keempat, tanah
sebagai mata rantai sejarah manusia. Tanah menjadi penghubung antara mereka
yang masih hidup dengan mereka yang sudah meninggal, karena ada rasa
keterikatan dengan leluhur mereka yang telah meninggal.
Dari hal itu
jelas, bahwa tanah menduduki posisi penting dalam hidup manusia. Sekali lagi karena
perkembangan budaya yang makin meninggalkan dunia agraris maka manusia menjadi
makin berjarak dengan tanah dan alam.
Manusia saat ini
sehari-harinya yang bukan berada di dunia agraris, selalu disibukkan dengan
aneka piranti dalam pekerjaannya namun yang sama sekali tak menyentuh hal-hal
yang bersifat agraris. Bergumul dengan mesin, alat tulis, mesin produksi, maupun
dalam sektor niaga dan jasa semakin menguatkan manusia untuk makin berjarak
dengan tanah.
Padahal kalau
dimaknai secara sungguh ketika manusia makan dari hasil pertanian, ia
sebenarnya sedang berada dalam rangkaian aktivitas agraria di bagian hilir. Sebagai
orang yang tak mengolah tanah namun menikmati hasil tanah/bumi, ia menjadi mata
rantai dunia agraris yang berada di ujung. Sementara di ujung satunya adalah
para petani yang berjuang membanting tulang menyemai kehidupan dengan aktivitas
agrarisnya.
Karena dinilai
menghasilkan nilai mata uang yang kecil, dunia agraris dipandang sebelah mata
jika dibanding dengan usaha lainnya. Bahkan nilai tanah yang hanya difungsikan untuk
aktivitas agraria lebih murah jika dibandingkan dengan tanah yang dipakai untuk
tempat usaha niaga, produksi ataupun properti. Maka, tanah yang semula untuk
lahan pertanian tiba-tiba berharga mahal ketika akan dipakai sebagai tempat
usaha tersebut. Padahal dengan beralihnya fungsi lahan tersebut, yang terjadi
adalah adanya potensi kekurangan cadangan pangan karena makin sempitnya lahan
pertanian dan perubahan tata guna lahan. Namun, yang menjadi keheranan penulis,
mereka lebih suka menjual tanah pertaniannya supaya dipakai pihak tertentu
untuk usaha niaga atau sejenisnya yang meraup nilai uang lebih banyak daripada
untuk melestarikan aktivitas agraris. Padahal bisa jadi nilai uang itu tidak
akan bisa menebus daya rusak perubahan lahan, maupun komoditas produk agraris
di tempat tersebut. Apakah masih bisa dibanggakan jika orang mempunyai uang
banyak namun tidak bisa membeli makanan karena memang sudah tidak ada atau sulit mendapatkan
makanan tersebut lantaran lahan pertaniannya yang makin sempit? Bisa jadi, lahan pertanian yang
sempit tak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang makin bertambah
banyak.
Y. Wartaya
Winangun SJ dalam buku yang sama halaman 76 merefleksikan hubungan manusia dengan tanah itu ibarat
hubungan ibu dengan anak-anak. Sebagaimana seorang ibu menumbuhkan dan
mengembangkan anak, demikian tanah menjadi sumber hidup manusia. Oleh karena
itu, menurutnya, tanah bukanlah komoditi yang dapat diperjualbelikan secara
sewenang-wenang. Memperlakukan tanah sebagai komoditi berarti memperlakukan
ibunya sendiri sebagai komoditi.
Dalam arti
itulah menjadi benar jika tanah atau bumi disebut sebagai ibu pertiwi. Sifat
keibuan itulah yang ada pada tanah atau bumi yang selalu memberi hidup pada
segala makhluk. Tak ada makhluk yang bebas dari rengkuhan daya kehidupan bumi.
Gambaran
mengenai tanah atau bumi sebagai media kehidupan terlihat dalam narasi Kejadian
1:29-30 “Berfirmanlah Allah: ‘Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala
tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang
buahnya berbiji. Itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di
bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa,
Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dalam hal ini tanah
atau bumi menjadi media kehidupan bagi makhluk-makhluk di atasnya.
Dengan demikian,
tanah merupakan sumber kehidupan, terlebih pada tanah yang memang subur dan
kaya akan unsur hara dan air. Itu akan menjadi sarana pertanian yang memadai
dan menjadi sumber kehidupan makhluk hidup karena melimpahnya air. Namun
sayangnya, manusia tak lagi bisa menghargai alam sebagaimana adanya. Misalnya
kawasan yang sebenarnya kaya akan air diubah menjadi kawasan industri atau
perumahan yang akhirnya akan merugikan manusia dan segenap makhluk yang
sebelumnya bergantung pada habitat tersebut. Dan sayangnya itu semua hanya
menjadi proyek investasi, bukan untuk kebutuhan tempat tinggal yang semestinya.
Maka, tidak heran terjadi konflik di tempat-tempat tersebut, misalnya antara
masyarakat dengan pihak investor atau pengembang. Bahkan hewan pun dengan
caranya melakukan protes terhadap perubahan habitatnya.
Cara pandang
tanah/bumi sebagai ibu yang memberikan kehidupan patut untuk terus dilestarikan
karena memang pada kenyataannya demikian. Jangan sampai karena keuntungan ekonomi
sesaat misalnya adanya pabrik atau perumahan, alam/tanah menjadi rusak. Air pun
kering karena tidak bisa terserap dengan baik.
Melihat fenomena
yang berkembang saat ini, manusia terlihat tidak semakin akrab dan ramah dengan
lingkungan hidupnya. Entah lupa atau termakan iming-iming perolehan keuntungan
ekonomi, manusia tak lagi mampu menyadari bahwa mereka bergantung pada tanah
atau alam. Bisa juga, manusia sekarang mungkin menganggap kehidupan hanya
menjadi miliknya saat ini, maka ia tak lagi berpikir akan hidup anak
keturunannya, ia tidak lagi berpikir nasib alam ke depan.
Dalam hal
inilah, kita dipanggil untuk berdamai dengan alam dan merajut tali persaudaraan
yang sudah lama terputus oleh nafsu dan ambisi memperoleh pundi-pundi uang. Percayalah
uang sebanyak apapun tak akan ada gunanya ketika air menetes untuk terakhir
kalinya. Percayalah kekayaan sebesar apapun tak bisa berbuat banyak ketika alam
rusak dan tak bisa lagi menyediakan pangan.
Dalam hal inilah
bioregionalisme menjadi penting. Sebagaimana ditulis Dr A. Sonny Keraf dalam
Filsafat Lingkungan Hidup (2014:154), bioregionalisme adalah sebuah aliran filsafat atau sistem
pemikiran yang mengajak manusia untuk kembali “menjadi penghuni tanah
kelahiran”, tempat asal yang khas dan unik sebagaimana dikenal sejak lahir dan
telah menopang kehidupan setiap manusia selama berabada-abad. Dengan ini, kita
diajak untuk mengenali bumi, alam, ekosistem, tanah, udara, air, flora dan
fauna dengan seluruh sistemnya. Maka, berpikir panjang dalam memperlakukan
apapun yang terkait dengan alam, akan menyelamatkan kehidupan, termasuk
penggunaan tanah yang baik akan membuat kehidupan makin indah tanpa diwarnai
konflik.
1 komentar untuk "Bijak Mengelola Tanah"
1. Deket jalur puncak2
2. Setengah jam dari sentul lewat jalur puncak dua
3. Dari jagorawi lgsng ada toll tembus cileungsi lewat belakang cikeas keluar di mekarsari
4. Harga pasaran 100.000
5. Bikin villanya hampir 1M
6. Ada kolam ikan besar sudah kebentuk kali kecil
7. Ada mata air
8. Pohong sengon 2ha
9. Pohon pisang 2ha
10. Sawah 2ha
11. Jalan sudah aspal
12. Pohon jabon 50batang
13. Area masih dingin
14. Cocok investasi dan perkebunan.
15. Dari jonggol ke cikarang 40menit
16. Tembus bekasi juga.
17. Dari jonggol ke cipanas puncak setengah jam..
www.pasarantanahmurah.blogspot.co.id
Dijual tanah 21 Ha di daerah Setu Bekasi, Pinggir jalan raya alamat dan denah ada di photo.
Harga Rp. 500,000,-/permeter nego, 90% SERTIPIKAT (yg di stabilo hijau). Info lengkap ada di:
http://www.tanahdisetubekasi.blogspot.com
Kesan/Pesan
Posting Komentar