Pada
waktu-waktu tertentu, manusia ingin dekat dengan alam. Hal ini tampak ketika pada akhir pekan
tempat-tempat wisata bernuansa alam dipadati orang-orang yang hendak piknik
atau melepas kepenatan dan mencari penghiburan. Mereka berpikir kalau sejenak
menepi di tempat tersebut, beban pikirannya bisa diringankan. Dengan demikian,
ia bisa beraktivitas kembali dengan segar.
Kalau
dicermati secara lebih sungguh, orang-orang tersebut sebenarnya berpindah
sesaat dari tempat/alam yang rusak
kemudian beralih ke tempat yang relatif baik dengan alam yang masih terjaga. Dengan
demikian, sebenarnya orang-orang tersebut menyadari bahwa untuk hidup baik
manusia membutuhkan tempat/alam yang baik pula.
Namun
yang terjadi adalah, demi meraih keuntungan ekonomi, manusia dengan mudah
merusak alam. Demi mengejar gengsi, manusia memakai perangkat-alat yang tak
ramah lingkungan. Akibatnya adalah alam menjadi makin rusak. Sayangnya, manusia
tak konsekuen dengan tindakannya. Semestinya, mereka berani berbuat, berani
bertanggung jawab.
Namun,
yang terjadi adalah, manusia berusaha menghindari tempat/alam yang telah
dirusak, kemudian dia berusaha mencari tempat yang lebih aman. Tempat
usaha/pabrik yang mencemari telah didirikannya. Karena tak bisa atau tak memiliki
komitmen mengurangi polusi yang membahayakan kehidupan, maka orang tersebut
berusaha untuk tinggal jauh dari pabrik. Selanjutnya, yang di (sekitar) pabrik
biar orang lain saja, sehingga kalaupun terkena bahaya polusi ataupun efek
berbahaya dari pabrik, yang menjadi korban bukan pendiri atau pemilik,
melainkan orang lain atau buruhnya. Ia merusak alam, mengambil keuntungan, dan
tak tinggal di tempat tersebut untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya.
Ia
tinggal di kawasan yang lebih asri dengan jaminan keamanan alam yang baik dan
terpelihara, untuk tidak menyebut asli. Jadi sebenarnya, manusia mengalami paradoks
dalam hidupnya. Manusia merusak alam, namun ia enggan hidup di alam yang rusak
itu, dan selanjutnya ia memilih hidup di alam yang baik. Hal ini terlihat
ketika ia membuang sampah sembarangan, namun, ia tak mau tinggal di tempat pembuangan
sampahnya. Di sini terlihat jelas, bahwa orang-orang jenis ini mencari tumbal supaya
ia bisa meraih keuntungan. Ia mengorbankan orang lain, fauna, flora, dan
makhluk yang sebenarnya berjasa dalam kelangsungan hidup alam demi meraih
tujuannya.
Ketika orang
tersebut mencari alam yang lebih terpelihara, atau waktu libur mengunjungi
destinasi alam yang terawat, sebenarnya, ia tak pernah bisa menolak bahwa dirinya
sangat tergantung pada alam. Di sini terlihat bahwa alam memang menyembuhkan. Dalam
prioritas kebutuhan, piknik atau berwisata bernuansa alam mungkin itu baru
masuk kebutuhan tertier atau sekunder. Namun, kalau ditengok mengenai kebutuhan
primer seperti makan, jelas, bahwa manusia tak pernah bisa berpisah dengan
alam. Sebab, semua yang dimakan manusia berasal dari alam. Selain itu dengan
bernafas menghirup udara segar, menikmati cahaya matahari yang menghangatkan
bumi sekaligus menikmati dahsyatnya kekuatan fotosintesa yang dilakukan
tumbuhan bersama matahari, manusia bisa melangsungkan hidupnya.
Hebatnya lagi, alam tak hanya menjamin
kebutuhan pokok hidup manusia. Namun, dari alam manusia belajar tentang
kebijaksanaan. Yesus sendiri memakai peristiwa cahaya matahari dan hujan dalam
menerangkan kasih Allah yang tak pernah membeda-bedakan. “Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan
matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi
orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45)
Dari alam pula,
manusia belajar mengenai proses. Hal itu terlihat pada proses metamorfosa
kupu-kupu mulai dari telur, ulat, kepompong dan menjadi kupu-kupu. Manusia
belajar, untuk mengalami kepenuhan hidup, ia harus melalui tahapan-tahapan
tertentu, bersusah payah untuk menuju sukses, mengikuti jalan salib untuk
menuju kemuliaan.
Demikian pula pada
tetesan air yang bisa mengikis batu, manusia belajar untuk setia dalam pergumulan
meskipun berat. Kesuksesannya adalah kesetiaannya. Pun sebaliknya kesetiaannya
adalah kesuksesannya.
Lahirnya tulisan
ini pun terinspirasi dari alam yang sungguh dahsyat yang telah Tuhan
anugerahkan kepada semua makhluk-Nya, termasuk manusia. Dan sketsa tulisan ini
hanyalah serpihan atau percikan kecil dari keindahan alam semesta yang telah
Tuhan ciptakan.
Memang demikian
hebatnya Tuhan mencipta alam semesta ini. Namun, alam yang agung ini semestinya
menjadi tanggung jawab manusia dalam melestarikannya karena manusia dianugerahi
kelebihan oleh Allah. Dalam buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Mgr FX
Hadisumarta, OCarm (2008), menulis di
samping akal budi (ratio), yang
memang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai makhluk-Nya yang merdeka
untuk memikirkan pemeliharaan, pengelolaan dan pemanfaatan bumi sebagai tempat
tinggalnya (oikos-nya), ia juga
diberi (fides) oleh Tuhan, agar mampu
mengenal Dia dan kehendak-Nya untuk membawa kita kepada kebahagiaan seperti
direncanakan-Nya (hal. 54).
Manusia hidup
oleh dan karena alam. Meskipun manusia berusaha merusak alam demi keuntungan
ekonomi, dia sebenarnya pun tak bisa berpaling dari alam. Maka, sebenarnya tak
perlu ada lagi dikotomi antara yang suci dan duniawi. Sebab, yang duniawi itu
juga berhubungan dengan yang suci. Tidak perlu lagi manusia memisahkan agama
dengan dunia. Namun yang menjadi tugas berikutnya adalah manusia dipanggil
untuk mengintegrasikan hidup agamanya dengan dunia tempat tinggalnya. Maka, tak
ada lagi demi mengejar kesucian dirinya, sengaja atau tidak sengaja manusia
merusak alam. Demi membangun tempat ibadah yang megah supaya bisa memuji Tuhan,
manusia merekayasa alam sedemikian rupa sehingga kehilangan fungsi dasarnya. Bukankah
alam itu sendiri cerminan dari Sang Khalik yang kita sembah? Masa kita merusak
cermin itu?
Sudah saatnya,
manusia menyatukan dirinya dengan alam. Alam bukanlah obyek kekuasaan yang jika
kita butuh keuntungan ekonomi lalu alam dieksploitasi habis-habisan. Demikian
pula, alam bukanlah obyek kesenangan, jika kita lelah, jenuh, stres atau penat
berlari pada alam hanya untuk kesembuhan diri saja, namun abai pada kelestarian
alam tersebut. Yang terakhir ini terlihat jelas ketika orang-orang berdatangan
ke tempat wisata alam, namun mereka meninggalkan sampah-sampah secara tak
bertanggung jawab. Orang mendaki gunung, namun selain membuang sampah di gunung,
orang tersebut mengambil tanaman-tanaman jenis tertentu hanya untuk
menyenangkan dirinya saja.
Mgr FX
Hadisumarta, OCarm dalam buku yang sama menulis, pada dasarnya pengasingan diri
manusia dari Allah dan dari sesamanya berlangsung bersama, bukan seolah-olah
yang satu lepas dari yang lain. Apabila manusia makin membedakan diri dari
ciptaan Allah lainnya, maka ia makin merasa dirinya seolah-olah lebih tinggi
sebagai satu-satunya penguasa, sedangkan ciptaan lain melulu dipandang dan
diperlakukan sebagai sasaran kuasanya. Dengan demikian seperti Adam dan Hawa,
ia cenderung menyamakan dirinya dengan Allah, dan akal budinya dianggapnya
setaraf ilahi (hal. 62).
Alam adalah sarana
dan mitra peziarahan manusia kepada Allah. Sungguh sulit manusia bisa mencapai
Allah kalau hanya mengandalkan dirinya belaka. Maka bersama alam manusia
berziarah untuk menggapai cinta kasih-Nya yang lebih dulu telah diterimanya.
Jika demikian,
sebenarnya tak perlu lagi ada pemisahan tempat yang satu adalah perusakan alam
demi keuntungan ekonomi, sedangkan tempat yang lain adalah tempat yang lestari
untuk penghiburan. Yang pertama adalah pabrik yang punya daya rusak tinggi
terhadap alam. Hal itu dilakukan untuk meraup keuntungan ekonomi
setinggi-tingginya. Lalu tempat kedua adalah tempat untuk tinggal dengan aman
dan menghibur diri. Setelah lelah merusak alam, maka ia pergi ke tempat yang
masih asri sekadar untuk mencari hiburan. Di sana ia membangun kekuatan untuk
merusak alam lagi. Begitu selesai dari tempat tersebut, ia merasa kuat lagi dan
selanjutnya ia merusak lebih kuat lagi. Tidak demikian, idealnya.
Semestinya, jika
manusia dan alam adalah sesama ciptaan Allah, dan antara keduanya saling
bergantung, maka yang ideal adalah manusia hidup selaras dengan alam. Manusia
tidak lebih dari makhluk lain, kalau dipandang dari segi ciptaan. Namun, karena
anugerah khusus berupa akal budi dan iman, maka manusia dipanggil menjadi mitra
Allah dalam hidup ini. Maka, dalam
berekonomi pun manusia sudah saatnya memperhatikan hal tersebut.
Posting Komentar untuk "Bersatu dengan Alam"
Kesan/Pesan
Posting Komentar