Kalau
kita sadari secara dalam, dunia ini dihuni oleh perbedaan. Tuhan menciptakan
makhluk yang berbeda-beda. Menurut hemat saya, ada 3 perbedaan yang terjadi di
dunia ini. Pertama, perbedaan kodrati. Perbedaan
kodrati adalah perbedaan yang terjadi sejak penciptaan. Ada tumbuhan, hewan, maupun
manusia bahkan ada makhluk
yang masih diperdebatkan sebagai tumbuhan atau hewan. Tumbuhan pun beraneka ragam jenis dan rupa. Hewan
pun demikian. Ada pemangsa daging, tumbuhan maupun pemangsa segala. Dan
hebatnya, untuk satu jenis hewan pun, kadang kita jumpai perbedaan seperti warna
kulit atau bulu. Jadi sebenarnya, Tuhan telah menciptakan perbedaan sejak awal.
Dan kita yakini bersama ini, semuanya itu baik adanya.
Kedua,
perbedaan kodrati antarmanusia. Setelah semuanya diciptakan, bumi, air, cahaya, tumbuhan, hewan,
Tuhan pun menciptakan manusia. Hebatnya,
manusia yang diciptakan tak sejenis. Manusia yang diciptakan-Nya sungguh sangat beragam. Ada berbagai ras, suku,
warna kulit, bentuk, jenis rambut dan segala perbedaan lainnya. Tentang hal
ini, manusia tak punya pilihan. Manusia tidak bisa memilih menjadi suku
tertentu. Itu otoritas Sang Pencipta.
Ketiga, perbedaan hasil budaya. Dibanding makhluk lain, manusia adalah makhluk yang
dianugerahi kemampuan secara khusus. Manusia dianugerahi, akal dan rasa. Dari
sanalah manusia bisa berimajinasi, merefleksikan hidupnya, dan bisa berbudaya. Manusia
dalam hidupnya berusaha menjawab keberadaan dirinya. Dari proses olah pikir dan
rasa itu, manusia berusaha menjawab misteri
kehidupan. Kepercayaan, agama,
ideologi,
adat istiadat merupakan tanggapan manusia dalam menyikapi misteri
kehidupan.
Dari pelbagai agama manusia
mengharapkan jawaban tentang teka-teki keadaan manusiawi yang tersembunyi, yang
seperti di masa silam, begitu pula sekarang menyentuh hati manusia secara
mendalam: apakah manusia itu? Manakah makna dan tujuan hidup kita? Manakah yang
baik dan apakah dosa itu? Dari manakah asal penderitaan dan manakah tujuannya?
Manakah jalan untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati? Apakah arti maut,
pengadilan dan pembalasan sesudah mati? Akhirnya apakah Misteri terakhir dan
tak terperikan itu, yang merangkum keberadaan kita, dan menjadi asal serta
tujuan kita? (Nostra Aetate/Pernyataan
Tentang Hubungan Gereja Dengan
Agama-Agama Bukan Kristiani, no. 1).
Semua itu menghasilkan
perbedaan. Dan masing-masing memiliki keyakinan akan kebenarannya
sendiri-sendiri. Jadi, baik secara kodrati, jenis manusia, dan hasil budaya
manusia pun sebenarnya sudah berbeda.
Meskipun demikian, semua itu baik adanya. Manusia adalah
citra Allah (Imagio Dei). "Baiklah
Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (Kej 1:26).
Menyikapi perbedaan
Apa
yang harus dilakukan dalam perbedaan? Ini pertanyaan yang harus dijawab dengan
rendah hati. Melihat ada tiga perbedaan di atas, saya menyimpulkan bahwa
perbedaan adalah sesuatu yang kodrati. Tuhan sendirilah yang menciptakan
perbedaan itu. Hal itu tergambar dari makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya
berbeda. Bahkan dalam satu agama pun terdapat perbedaan mazhab, aliran maupun
sekte karena hasil refleksi umat di dalamnya.
Menariknya,
Tuhan juga menciptakan manusia yang berpotensi untuk selalu berbeda. Hal itu
jelas terlihat ketika manusia berpikir dan berasa menghadapi peristiwa dalam
hidupnya. Ada banyak sikap, ideologi, agama, adat istiadat yang timbul akibat anugerah
akal dan perasaan pada manusia. Tuhan tak pernah memaksa manusia supaya berada
dan meyakini satu agama meskipun sebenarnya dengan
kekuasaan-Nya yang mahadahsyat bisa. Namun, Tuhan lebih suka memberikan
kehendak bebas pada manusia dalam menjalani kehidupannya.
Karena
perbedaan dikehendaki Tuhan, dan Tuhan juga yang menjadikan manusia dengan
pikiran, perasaannya,-sehingga manusia bisa berbudaya
dan membuat perbedaan- maka, sebagai makhluk-Nya, kita pun menghargai
perbedaan itu.
Kalau kita lihat lebih jauh, dalam
perbedaan itu terdapat tugas-fungsi masing-masing makhluk. Semua itu membentuk
jejaring kehidupan yang saling mendukung dan
menghidupi. Semua itu hidup dalam
situasi saling bergantung. Tak ada makhluk yang bisa sendiri. Tidak
ada makhluk yang bisa bertahan hidup dalam homogenitas.
Pandangan
Gereja
Katolik
terhadap perbedaan
Gereja Katolik mengajak kita
supaya menghormati perbedaan itu. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak
Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang
yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”
(Mat 5:44-45). Kepada musuh saja, kita harus berdoa, apalagi kepada yang
berbeda, yang bukan musuh.
Kita diajak
seperti matahari yang bersinar untuk semua orang, bukan hanya orang baik,
melainkan untuk orang jahat sekalipun, untuk semua agama, untuk semua ras. Pun
hujan, dia tak pernah memilih dalam membasahi. Bumi juga memberi pelajaran, supaya kita menerima semuanya. Bumi tak
pernah memilih.
Hal
yang senada juga disampaikan dalam ayat yang lain. "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua,
yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
(Mat 22:37-39, Mar 12:28-33, Luk 10:25-27).
Memang Tuhan harus dikasihi
sedemikian rupa, bersamaan dengan itu, sesama manusia pun harus dikasihi,
ekstremnya, seperti mengasihi diri sendiri.
Sungguh sangat paradoks jika ada orang yang mengaku beriman kuat pada Tuhan,
namun pada waktu yang lain ia menyerang dan melakukan
kekerasan pada orang yang
berbeda agama dengannya.
Konsili
Vatikan II dalam dokumen Nostra Aetate/Pernyataan
Tentang Hubungan Gereja Dengan
Agama-Agama Bukan Kristiani, no. 2 mengatakan “Gereja
Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci.
Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,
kaidah-kaidah, serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari
apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar kebenaran yang menerangi semua orang”
(NA 2). Itu beberapa petikan ayat dari Kitab Suci maupun dari ajaran Gereja terkait ajakan
untuk menghormati perbedaan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), Dasar Negara Pancasila dan
Konstitusi UUD 1945 pun jelas-jelas menghargai perbedaan
itu.
Meskipun
demikian, hidup dalam perbedaan sungguh sulit. Hal itu terganjal oleh fanatisme, prasangka dan ketakutan. Fanatisme telah membuat seseorang mengagungkan
kebenaran agama, keyakinannya sebagai yang paling benar, sementara agama dan
keyakinan orang lain tidak benar.
Sedangkan
prasangka kerap kali menghantui pikiran seseorang yang membentuk
gambaran-gambaran tertentu terhadap yang lain yang belum pernah terkonfirmasi
kebenarannya, bahkan kerap salah paham. Prasangka itu menciptakan kebenaran sendiri yang
belum tentu benar dengan situasi nyatanya. Ibarat
menonton pertandingan bola volley dengan menerapkan peraturan sepak bola. Pemain
bola volley itu melakukan pelanggaran sepanjang permainan karena terkena sanksi
pelanggaran hands ball. Prasangka ini kerap menyulut konflik.
Ketakutan
membuat orang tidak bisa terbuka terhadap orang lain. Merasa takut iman umatnya
luntur dan pindah agama karena kehadiran sebuah gereja, masyarakat tertentu
menolak adanya gereja tersebut. Mengapa harus menolak? Mengapa tidak memperkuat
iman umatnya saja?
Persaudaraan
sejati atau kedamaian tak akan pernah tercipta jika sebuah masyarakat masih
dihinggapi fanatisme, prasangka maupun rasa takut (ketakutan). Terlebih
jika negara pun gagal memberikan hak beragama dan berkeyakinan pada warganya
sebagaimana sudah dilindungi dengan konstitusi. Berita berikut ini menunjukkan gejala tersebut.
The
Wahid Institute mencatat temuan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sepanjang
2014 adalah 158 kasus. Negara
sebagai aktor pelanggar KBB tercatat di 80 kasus. Di 78 kasus lainnya dilakukan
aktor non-negara. Keterlibatan negara muncul karena pemerintah setempat atau
aparat keamanan ikut mengambil keputusan saat pelaku intoleran melaporkan
kelompok minoritas yang dinilai mengganggu lingkungannya. (http://www.wahidinstitute.org/wi-id/indeks-berita/266-catatan-the-wahid-institute-tentang-potret-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan-di-indonesia.html)
Laporan akhir tahun 2014 The Wahid Institute
mencatat, Yogyakarta berada di urutan kedua sebagai daerah dengan jumlah kasus
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi terbanyak.
Jumlah pelanggaran di Indonesia pada 2014 mencapai 154 peristiwa atau turun 40
persen dibandingkan dengan 2013 yang mencapai 245 peristiwa. Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat
(55 peristiwa) disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (21 peristiwa), Sumatera
Utara (18 peristiwa), DKI Jakarta (14 peristiwa), Jawa Tengah (10 peristiwa),
dan Sulawesi Selatan (10 peristiwa) (Harian Kompas, 19 Januari 2015). Padahal selama ini Yogyakarta dianggap sebagai wilayah yang sangat
kondusif dalam kehidupan lintas agama.
Hal itu menambah potret buram relasi antarumat beragama di Indonesia. Meskipun
demikian, di antara gambaran muram itu juga ada upaya orang-orang yang berusaha
merajut persaudaraan sejati. Namun, upaya baik itu kalah dengan berita buruk.
Masyarakat lebih menyimak berita-berita kerusuhan dan intoleransi ketimbang
berita-berita good news tentang upaya membangun persaudaraan sejati. Mungkin di antara kita tak pernah tahu ada
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) yang getol melakukan gerakan persaudaraan
sejati pada kaum muda. Upaya Pondok Damai, Kelompok Lintas Agama non Pemerintah
seperti Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Yogyakarta dan sejenisnya. Kalau
ditelusuri di dalamnya, para aktivisnya sungguh bekerja habis-habisan untuk tak
menyebut berdarah-darah. Mereka suka rela melakukan semua itu, bahkan kalau
perlu iuran untuk membiayainya. Namun, kerap kali kita lebih tahu Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Toleransi tidak cukup
Banyak orang mengatakan, dalam
perbedaan itu supaya tercipta persaudaraan sejati yang dibutuhkan adalah
toleransi. Namun, menurut hemat saya, toleransi tidak cukup. Toleransi berasal
dari bahasa Latin tolerare yang berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan
orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki
pendapat berbeda. Pada
gilirannya, toleransi
menjadi beban dalam merajut relasi sosial. Ibarat orang memikul beban terus menerus, pada
titik tertentu ia akan menyerah karena lelah. Maka bisa saja toleransi ada batasnya. Orang
yang toleran pada titik tertentu karena habis kesabarannya, ia menjadi tidak
toleran. Maka untuk membangun persaudaraan sejati tidak cukup dengan toleransi.
Hal itu ditegaskan Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta.
“Kalau kita jujur sungguh-sungguh mau membangun persaudaraan sejati,
saya mengatakan toleransi tidak cukup. Membangun persaudaraan yang baik dalam
keluarga pun dengan sikap toleransi tidak cukup. Toleransi itu adalah sikap ya
bagaimana lagi kamu ada ya saya terima,” katanya dalam Kongres Persaudaraan
Sejati di Muntilan, 24 Oktober 2014 lalu. Menurutnya, bentuk hormat bakti dan
cinta pada Allah yang mengasihi itulah yang menjadi dasar perwujudan kita untuk
pembangunan persaudaraan sejati. “Jadi,
kita ingin membangun persaudaraan sejati itu di atas dasar pengalaman religius,
di atas pengalaman akan Allah,” katanya.
Sebagai
orang beragama tentu kita meyakini bahwa Tuhan sungguh penuh kasih pada kita.
Karena kita sudah merasakan pengalaman kasih dari Tuhan, kita pun dipanggil
untuk membagi kasih tersebut. Maka,
toleransi sudah tidak memadai lagi. Karena toleransi sudah luruh dalam kasih.
Menolak
agama orang lain yang berbeda sudah tidak relevan kalau dibenturkan dengan
kasih yang dialami dalam religiositas
kita dengan Tuhan. Maka, kita pun dipanggil untuk mengasihi siapapun dia, apapun
itu, ketika ia memilih agama yang berbeda
sekalipun dengan kita. Jika kita masih meyakini Tuhan sebagai mahakasih, maka
tak ada alasan melakukan kekerasan -jangankan pada orang yang berbeda agama- kepada orang siapapun, baik atau jahat.
Menurut Franz Magnis-Suseno (1999),
memilih agama adalah masalah kebebasan suara hati. Manusia bebas menentukan
agama berdasarkan suara hatinya. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia
tidak dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu
sebagai benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu
yang disadarinya sebagai benar.
Kita pun harus menghormati pilihannya
karena memaksa seseorang menganut agama yang tidak diyakininya adalah perbuatan
mendorong ke dalam kemunafikan dan akan mencemarkan agama itu sendiri.
Apa yang bisa
dilakukan dalam perbedaan
Tak ada yang lain untuk mewujudkan
persaudaraan sejati dalam perbedaan yakni dialog. Mgr.
Ignatius Suharyo (2009) menulis
dalam sejarah peradaban manusia, cara orang tidak-beradab berperilaku dan
berkomunikasi adalah dengan paksaan dan kekerasan. Sedangkan cara orang beradab berperilaku dan
berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda adalah dengan berdiskusi dan berdialog.
Dialog antar umat beragama persis merupakan cara orang beradab yang saling
berbeda keyakinan agamanya untuk berkomunikasi mencari cara hidup bersama (hal
48).
Menurut Mgr Ignatius Suharyo (2009),
ada berbagai upaya dialog. Pertama, dialog
kehidupan. Dialog kehidupan ini mencakup segala bentuk pergaulan dan hubungan
sosial antara penganut-penganut agama yang berbeda. Dialog seperti itu dapat
terjadi dalam keluarga, masyarakat, dan dalam berbagai bidang kerja, seperti
pendidikan, kesenian, ekonomi maupun politik.
Kedua, dialog
karya. Dialog ini berupa kerja sama dengan orang yang berkeyakinan iman lain
untuk tujuan kemanusiaan, sosial, ekonomi, atau politik yang ditujukan untuk
pembebasan atau kemajuan masyarakat.
Ketiga, dialog pakar.
Dialog ini dilakukan pada tataran keahlian, baik untuk memperdalam dan
memperkaya warisan religius masing-masing maupun untuk menerapkan keahlian
masing-masing pada masalah-masalah yang harus dihadapi umat manusia sepanjang
sejarah.
Keempat, dialog
pengalaman religius. Pada taraf yang lebih mendalam orang-orang yang berakar
dalam tradisi keagamaan masing-masing dapat berbagi pengalaman mereka dalam
doa, kontemplasi, iman dan kewajiban, dan juga ungkapan serta jalan mencari
Yang Mutlak.
Usulan
Membangun persaudaraan sejati mesti
dilakukan dengan berbagai cara dan dilakukan di berbagai situasi dan kondisi
yang tepat. Sejak di keluarga, dialog menjadi cara yang efektif untuk membangun
persaudaraan sejati. Keluarga yang mengutamakaan dialog sangat mungkin menjadikan anggota keluarganya
mampu menjadi agen persaudaraan sejati.
Kedua, lembaga agama sudah saatnya
secara sadar mendidik umatnya supaya mau menjadi pelaku persaudaraan sejati. Umat
diajak kepada pengalaman kasih yang sesungguhnya. Pengalaman religiositas
dengan Tuhan dibawa dalam pengalaman berelasi dengan sesama, siapapun dia,
beragama apapun dia.
Ketiga, agamawan-agamawan bersatu
bersama-sama mendidik umatnya, membangun wacana inklusif secara tulus. Bahwa
manusia adalah makhluk Tuhan yang senantiasa harus dikasihi. Manusia adalah
citra Tuhan. Apapun agamanya, dia berhak dihormati sebagai makhluk Tuhan.
Keempat, orang muda adalah aktor
perubahan, termasuk dalam membangun persaudaran sejati, meskipun di saat yang
sama, mereka menjadi sasaran kelompok intoleran. Maka, dengan energi dan
semangat yang meluap, bersama orang muda, persaudaraan sejati sudah saatnya
dibangun secara terus menerus.
Kelima, membangun persaudaraan
sejati pasti melelahkan. Butuh stamina panjang untuk memperjuangkannya.
Doa dan penyerahan pada Tuhan Sang Juru Damai menjadi penting dalam hal ini.
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai!
Daftar Pustaka
1. Alkitab
2. Nostra Aetate,
Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen
3.
Dewan Karya
Pastoral Keuskupan Agung Semarang. 2014. Merajut
Persaudaraan Sejati Lintas Iman. Yogyakarta. Penerbit PT Kanisius
4. Mgr Ignatius Suharyo. 2009. The Catholic Way Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita. Yogyakarta. Penerbit
PT Kanisius
6. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, 1999.
Posting Komentar untuk "Berbeda Itu Indah Sekali"
Kesan/Pesan
Posting Komentar