Siapakah sesamaku? Pertanyaan ini dari waktu ke waktu kerap diajukan untuk menjadi refleksi keberadaan kita selama ini. Banyak ajaran agama (langit maupun bumi) mengajak manusia untuk bisa berinteraksi dan saling mengasihi antarsesama manusia. Selanjutnya manusia menjadi sesama yang menjadi subyek cinta.
Sebagai makhluk sosial, manusia bisa hidup dari relasi dengan sesamanya. Manusia tak bisa hidup sendiri. Maka di sana ada konsep tolong menolong, berbagi, memberi dan menerima untuk sama-sama saling menopang kebutuhan hidupnya.
Namun, dalam perkembangannya, relasi sosial itu rusak manakala manusia lebih mengutamakan keserakahannya. Yang semua saling berinteraksi untuk sama-sama menopang kehidupan manusia, hingga tiba saatnya semua itu beralih menjadi pengumbaran nafsu menguasai dengan serakah. Parahnya lagi, hal itu dilakukan untuk menumpuk (menimbun/menabung) komoditas yang ada. Parahnya lagi, kegiatan itu dilakukan dengan mengurangi hak manusia lain, memindah atau lebih tepat mengisap hak orang lain untuk dialirkan dalam tumpukan/tabungan sendiri. Yang semula manusia berelasi untuk bergotong royong memenuhi kebutuhan hidupnya, pada saatnya semua itu berubah menjadi aksi pengisapan dari manusia satu kepada manusia yang lainnya. Maka, sudah pasti, jika dalam sumber daya yang sama ada pengisapan antarmanusia satu terhadap manusia yang lain, di sanalah kesenjangan atau ketidakadilan terjadi. Ada yang berlebihan dan semua itu terkumpul dalam tabungannya, namun juga sebaliknya ada yang kekurangan karena haknya terambil dalam tabungan orang lain.

Mungkin hanya manusia yang bisa melakukan pengisapan dan mengumpulkan kekayaannya dalam tabungannya. Hewan, saya pikir, tidak punya insting untuk itu. Sejauh penulis tahu, hewan hanya memenuhi kebutuhannya saat itu juga, tidak terpikir untuk menabung/menimbun sebagai stok makanan di lain waktu. Jika sudah puas/kenyang, hewan akan berhenti makan. Kalaupun hewan berebut makanan, toh itu hanya untuk memenuhi insting makannya untuk saat itu juga, tidak untuk dikumpulkan/ditabung apalagi diinvestasi.
Namun, dengan kepandaian dan keserakahannya, manusia justru lebih lihai bisa melakukan semua itu. Kalau upaya manusia untuk menabung dilakukan tanpa mengisap manusia lain itu masih baik, namun parahnya pengumpulan kekayaan itu dilakukan dengan mengisap hak manusia lain. Itu yang mengerikan.
Meskipun demikian, dalam konteks itu, konsep manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah tercabut. Manusia pengisap masih bisa bertahan hidup karena masih ada manusia yang dihisap. Bayangkan jika sudah tidak ada manusia lain. Selama manusia tidak bisa hidup sendiri dan sebaliknya ia masih hanya bisa hidup dari orang lain entah dengan bergotong royong atau mengisap, status manusia sebagai makhluk sosial tak pernah tercabut.
Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk ekologis. Manusia sebagai makhluk ekologis sepenuhnya hidup bergantung dan tergantung pada alam. Manusia makan makanan yang diproduksi dari alam, bernafas dengan udara yang ada di alam, minum air dari alam. Tanpa alam, manusia bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bahkan bahan dirinya pun terbuat dari alam.
Alam dan manusia adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Menurut Amatus Woi, SVD dalam “Menyapa Bumi, Menyembah Yang Ilahi”, sesama dalam konsep teologi penciptaan adalah sesama makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta (hal. 14). Hal ini sebenarnya menjelaskan baik manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungannya adalah sesama. Namun, dalam perkembangannya, meskipun sesama, manusia terhadap alam pun kerap berlaku tidak adil. Manusia mengeksploitasi alam semesta sedemikian rupa. Manusia mengambil terlalu banyak dari alam ini. Akibatnya, alam makin rusak. Daya dukung alam menurun.
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup memperlihatkan ada penurunan kualitas lingkungan, yakni pada 2009 sebesar 59,79 persen, 2010 sebesar 61,7 persen, dan 2011sebesar 60,84 persen. Hal ini juga diperkuat dengan data terakhir Menuju Indonesia Hijau di mana Indonesia hanya memiliki luas tutupan hutan sebesar 48,7 persen seluruh Indonesia (http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/potret-lingkungan-indonesia-kian-memprihatinkan).
Dengan kualitas lingkungan yang menurun seperti itu, sudah bisa dipastikan kualitas hidup para makhluk baik manusia, flora, fauna pun mengalami penurunan. Dengan kualitas hidup yang rendah maka, sebenarnya, kehidupan para makhluk itu terancam. Dalam kerusakan itu, tentu aktor yang paling bertanggung jawab adalah manusia. Manusialah yang paling mungkin bisa merusak alam dibanding dengan hewan. Hewan hanya menggunakan instingnya untuk mengambil kekayaan alam berupa makanan.
Namun, manusia menggunakan akalnya ditambah nafsu serakahnya untuk mengambil kekayaan alam ini terlalu banyak. Akibatnya kerusakan alam terjadi. Dalam kerusakan alam itu sebenarnya telah terjadi kerusakan relasi antara manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia itu sendiri.
Rusaknya manusia dengan alam menyebabkan kerugian yang luar biasa. Bisa jadi, bencana alam akibat kerusakan alam  terjadi, misalnya banjir, kekeringan, udara-air-tanah tercemar, maupun panenan gagal. Akibatnya, sumber pangan menjadi sulit didapat.
Kerusakan alam memungkinkan terjadinya konflik antarsesama manusia. Kerapkali kita saksikan ketika ada upaya pertambangan atau pendirian pabrik yang berpotensi merusak lingkungan, di sana akan ada warga yang memrotes. Jika protes tidak didengar, kekerasan terjadi. Atau dari pihak investor justru melakukan intimidasi supaya warga masyarakat tidak melakukan perlawanan.
            Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa relasi manusia dan alam, maupun manusia dengan manusia sebagai sesama anggota persekutuan ciptaan retak. Lebih jauh lagi, retaknya relasi-relasi tersebut sebenarnya juga merupakan retaknya relasi manusia dengan Tuhan.
Semestinya, manusia dengan anugerah khusus, yakni kemampuan berpikir dan bisa membuat refleksi dalam situasi mestinya bisa bertanggung jawab menjaga keutuhan ciptaan ini. Persekutuan sesama ciptaan yang saling menggantungkan hidupnya itulah yang menguatkan manusia untuk selalu bertanggung jawab akan keutuhan ciptaan ini.
Dalam buku yang sama, Amatus Woi, SVD mencoba memaknai hal ini. “Ide dan pemahaman tentang persekutuan, kebersamaan, kesatuan antara manusia dengan alam ciptaan dan lingkungan pada hemat saya dapat menjadi salah satu kemungkinan untuk menumbuhkan dan menjaga sikap menghargai, menghormati alam ciptaan dan tenggang rasa dalam perlakuan manusia terhadapnya” (hal. 22).
Menjaga alam ciptaan merupakan konsekuensi persekutuan sesama ciptaan yang terajut relasi saling membutuhkan dan melindungi. Mengenai hal ini, bisa disimak salah satu cerita Santo Fransiskus Assisi dalam Legenda Perugina yang dikisahkan Saudara Leo dan saudara-saudaranya dan disusun oleh Marino Bigorani, OFM. Kepada saudara yang mencari kayu api (bakar), Santo Fransiskus Assisi mengatakan supaya tidak menebang seluruh pohon. “Hendaklah dia menebang sedemikian sehingga ada bagian yang tertinggal,” katanya. Kepada saudara yang bekerja di kebun, dia mengatakan supaya jangan menggunakan seluruh tanah untuk sayuran yang dapat dimakan, melainkan membiarkan sebagian tanah untuk menghasilkan daun-daunan hijau yang dapat menghasilkan bunga untuk para saudara.
Bahkan, dia juga memerintahkan saudara yang mengurus kebun untuk membuat kebun kecil yang indah dalam salah satu bagian kebun dan menanam di sana daun yang berbau wangi dan bunga yang wangi supaya pada waktunya mengundang orang untuk memuji Tuhan (bdk hal. 171). Bukankah itu berarti tindakan berbagi pada sesama? Bukankah itu tindakan yang ugahari, mengambil secukupnya dari alam, dan selalu terhubung dengan Sang Pencipta?

Post a Comment

Kesan/Pesan