Jelang makan, di depan meja makan
kadang kita berdoa atau mendengar orang lain berdoa makan atau bahkan tanpa
berdoa sedikit pun, kita langsung makan. Perihal peristiwa ini, saya menangkap
setidaknya empat kesadaran. Pertama, makan makanan hanya dianggap sebagai
peristiwa yang sangat biasa, sehingga tak perlu perlakuan istimewa dengan
berdoa.
Kedua,
makan makanan merupakan peristiwa suka cita kelimpahan rejeki hanya bagi orang
yang bersangkutan tanpa melihat campur tangan pihak lain. Maka, dia bersyukur
karena dia masih bisa memperoleh makanan. Kesadaran ini masuk dalam kategori
ego. Ketiga, makan makanan merupakan peristiwa syukur bagi orang tersebut. Dia
pun mengenang dan mendoakan orang-orang yang telah berjasa menyiapkan dan
memasak makanan tersebut, misalnya sang pemasak atau petani yang bersusah payah
mengolah lahan hingga panen tiba. Meskipun dalam doa, petani jarang disebut. Kesadaran
ini mulai beralih dari ego ke ranah sosial.
Keempat,
makan makanan merupakan peristiwa syukur. Sebelum makan, orang tersebut berdoa
selain untuk orang yang menyiapkan makanan seperti petani dan sang juru masak,
dia juga bersyukur atas campur tangan Tuhan melalui alam yang mendukung tumbuhnya
makanan dari tumbuhan dan ternak. Tanpa alam yang baik, makanan tidak akan
tercipta dengan baik pula. Kesadaran ini saya gambarkan sebagai kesadaran
kosmos.
Makan
adalah peristiwa syukur karena dalam aktivitas itu, manusia sedang mengambil
saripati makanan itu untuk pertumbuhan dirinya, mengganti sel-sel yang rusak,
juga untuk memproduksi energi yang berguna dalam mengisi hidup ini melalui
aneka karya. Sehingga tak jarang ketika berdoa, seseorang ada yang menambahi,
“Semoga melalui makanan ini, kami bisa memiliki energi sehingga bisa berkarya
demi memuliakan nama-Mu yang lebih besar.”
Di
depan meja makan sebenarnya kita bisa berkontemplasi lebih jauh. Di sana
mungkin tersaji makanan seperti nasi, sayur, buah, lauk hewani, air dan lain
sebagainya. Cobalah kita runut ke belakang. Nasi, sebelumnya adalah kumpulan butiran
beras. Baru setelah dimasak seseorang, butiran beras itu menjadi nasi. Butiran
beras itu sebelumnya adalah butiran biji padi. Sebelum sampai ke tempat
penyosohan, padi itu harus melalui proses pengangkutan dan penjemuran. Maka,
ada orang-orang yang berjasa dalam menyiapkan hal tersebut. Sebelum itu, kita
jelas bisa melihat dan membayangkan,
bahkan bisa merasakan, jerih payah petani mengusahakan lahan sedemikian rupa
sehingga bisa ditanami padi. Kita juga berterimakasih atas upaya petani merawat
dan memupuk tanaman padi itu sehingga bisa menghasilkan buliran padi yang padat
berisi dan melimpah.
Namun,
perlu kita sadari lebih jauh. Apa yang terjadi ketika petani itu meninggalkan
lahan atau sawah tersebut? Mukjizat alam semesta terjadi. Di sinilah Tuhan Sang
Penyelenggara Kehidupan berkarya dengan sangat indah dan menakjubkan melalui
ciptaan-ciptaan-Nya. Ada proses gotong-royong antara ciptaan-ciptaan di sekitar
tanaman padi itu. Tanah, air, mikroba, udara, panas matahari dan unsur-unsur lainnya
saling mendukung dalam menghidupi tanaman padi itu. Pertumbuhan terjadi. Fotosintesis
terjadi. Pembuahan terjadi. Buliran padi muncul dan siap menjadi bahan makanan
yang siap diolah. Kadang burung-burung pun memakannya. Sangat indah. Kita kerap
melewatkan peristiwa agung itu begitu saja.
Kita
selama ini terasing dengan peristiwa agung itu. Bahwa semua itu bukanlah proses
industrial mengubah barang satu menjadi barang yang lainnya. Peristiwa agung
itu adalah proses penciptaan yang menghargai proses waktu demi waktu, melalui
tahap-tahap yang menakjubkan.
Selama
ini peristiwa itu terlewat begitu saja, terlebih karena kita memutus rantai
proses itu. Kita langsung menjadi kaum penikmat makanan yang ada di meja walau
mungkin ada yang bersusah payah menyiapkan sejak di pasar, warung, kemudian
mengolah dan memasaknya hingga menyajikannya di meja makan.
Kita
mungkin kesulitan merefleksikan itu karena bentuk makanan yang kita santap
sudah jauh berbeda dengan bentuk mentah asli bahan makanan tersebut. Terlebih
lagi, tempat tinggal kita jauh dari lokasi pertanian ataupun peternakan
penyumbang bahan makanan tersebut. Pembicaraan tentang pertanian jarang
dilakukan karena dianggap bidang yang tak terlalu menguntungkan dibanding
perindustrian, perdagangan, maupun usaha jasa lainnya. Pertanian mungkin juga
dianggap sebagai pekerjaan yang kelas rendah. Maka, tak jarang orang muda
enggan menjadi petani. Bahkan mungkin di antara kita melarang anak-anak kita
bermain tanah karena itu kotor. Namun, apapun penilaian kita tentang semua itu,
kita semua masih butuh makanan. Dan makanan tersebut berasal dari tempat-tempat
yang kita sebut kotor dan kurang bergengsi itu.
Bahan
makanan tergantung pada alam yang mendukungnya. Sementara di antara kita sudah
sedemikian berjarak dengan alam meskipun sebenarnya kita berada dalam alam itu
sendiri. Meski ilmu pengetahuan semakin maju, namun tak kunjung kembali membuat
manusia serta merta kembali mencintai bumi. Justru melalui ilmu pengetahuan itu
timbul teknologi yang justru melukai dan merusak bumi serta kehidupan ini.
Kalau kita renungkan lebih jauh alat-alat hasil teknologi yang dihasilkan para
produsen dan kita pakai sehari-hari banyak yang berpontensi atau bahkan
nyata-nyata merusak bumi. Meski kita tahu itu, namun, kita tak serta merta
menghentikan pemakaian teknologi berbahaya itu.
Thomas Berry
mengatakan dalam Kosmologi Kristen, komunitas manusia baru saja memiliki
pemahaman ilmiah yang luar biasa mengenai alam semesta dan planet bumi, namun
tampaknya manusia sekarang tidak memiliki keakraban dengan alam semesta seperti
manusia di masa sebelumnya (hal 172).
Mari bandingkan
dengan masyarakat tradisional. Mereka mengadakan upacara ketika akan menanam.
Mereka juga mengadakan upacara syukuran setelah musim panen tiba. Upacara Dewi
Sri, sedekah bumi, sedekah laut menggambarkan kedekatan manusia dengan alam. Peringatan
Imlek menggambarkan suka cita manusia agraris yang dekat dengan alam, mereka
menyambut musim semi, masa penantian untuk mengolah lahan pertanian mereka. Semua
itu disambut dan dirayakan dengan upacara.
Dan kalau kita
sadari sebenarnya, ritual ibadah agama-agama juga mendasarkan waktu pada
fenomena alam. Misalnya ada ibadat pagi,
ibadat sore, ibadat malam. Hal ini juga ada dalam tradisi iman lain. Namun,
pada era sekarang, kedekatan manusia dengan
alam semakin jauh, karena manusia menciptakan dunianya sendiri, yang berjarak
dengan dunia nyata. Hal itu didukung oleh kemajuan teknologi. Misalnya untuk menikmati
pertanian, orang hanya perlu bermain game
tentang pertanian. Untuk merasakan menjadi peternak, orang hanya memainkan game tentag peternakan. Semua itu dapat
dengan mudah dimainkan melalui komputer maupun internet.
Untuk
merekatkan kedekatan manusia dengan alam, manusia perlu menyadari bahwa dirinya
adalah bagian dari alam yang sepenuhnya hidup dan juga tergantung pada alam. Manusia
perlu menyadari bahwa dirinya adalah salah satu makhluk ekologis. Dengan
menyadari ini, manusia akan berusaha memelihara alam. Manusia adalah salah satu
makhluk hidup yang hidup bersama dengan ciptaan lainnya. Masing-masing punya
fungsi yang mendukung komunitas kehidupan di dalamnya. Bila salah satu merusak
komunitas kehidupan itu, maka rusaklah komunitas tersebut.
Untuk merajut
kedekatan dengan alam, memang dibutuhkan kesadaran yang mendalam akan kaitan
masing-masing makhluk dalam alam semesta ini. Menemukan makna dalam ciptaan,
menyadari peristiwa alam, dan merunut urutan kejadian peristiwa alam bisa
menghantar kita pada ketakjuban yang luar biasa mengenai keindahan ciptaan
Tuhan itu..
Posting Komentar untuk "Merajut Relasi dengan Alam Ciptaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar