Bisa jadi, ada narasi
panjang di balik cincin emas, kalung emas, ataupun perhiasan lain yang terbuat
dari emas yang kita kenakan. Narasi itu melukiskan perjuangan manusia yang membuka
tambang bijih emas, meskipun ada yang sebagian kecil mengambilnya di sungai-sungai.
Narasi itu juga bisa melukiskan ketamakan/kerakusan manusia dalam mengambil kekayaan
alam. Dan, bisa jadi narasi itu juga menampilkan manusia yang suka hidup
glamour dalam gemerlapnya perhiasan emas yang melekat di tubuhnya atau dalam
kebanggaan akan kumpulan emas yang tersimpan dalam safe deposit-nya.
Dalam upaya mengambil bijih
emas itu, selain mengambil dari sungai-sungai, ada juga penambang yang membuat
lubang-lubang untuk mengambil bijih emas dari dalam tanah. Kalau penambang
skala kecil mungkin hanya mampu membuat lubang kecil saja. Namun, bayangkan
jika yang menambang adalah perusahaan raksasa multinasional, tak hanya lubang
kecil yang mereka buat, bahkan lubang-lubang raksasa lebar dan dalam pun mereka
buat. Bukit pun dikepras demi “menghisap” bijih-bijih emas di dalamnya.
Setelah biji diambil,
selanjutnya dilakukan ekstraksi, memisahkan bijih emas dari unsur-unsur lain.
Dalam proses ini, ada penambang yang memakai bahan-bahan berbahaya seperti
merkuri meskipun mungkin sudah ada yang memakai bahan ramah lingkungan dalam
melakukan ekstraksi tersebut.
Beberapa tahapan
lanjutannya, emas tersebut sudah diproses menjadi berbagai bentuk hiasan. Dan
manusia berebut untuk memilikinya.
Dari proses itu, kita
sebenarnya sudah bisa membayangkan, bahkan tak perlu dibayangkan karena
sebagian dari kita sebenarnya sudah ada yang merasakan dampaknya. Akibat
pembukaan lubang tambang, vegetasi rusak. Bahkan ada pertambangan emas yang
dibuka di tengah-tengah hutan. Banyak pepohonan ditebang. Lapisan tanah subur terkelupas.
Kesuburan tanah hilang. Rusaknya hutan tersebut berefek domino pada kerusakan
lainnya. Kerusakan makin parah ketika ada perusahaan tambang yang begitu
cadangan bijih habis, meninggalkan begitu saja lubang-lubang raksasa tersebut
tanpa proses pemulihan alam kembali.
Pengolahan bijih emas
juga banyak yang menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti merkuri. Padahal
merkuri sangat berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Bahan
berbahaya itu larut dalam air sungai, selanjutnya bermuara di laut. Banyak hewan
air yang terkena bahan berbahaya tersebut. Tak hanya berhenti di situ, bahan
berbahaya itu pun terbawa ke makhluk hidup lain dan tempat lain karena terbawa
dalam rantai makanan. Kasus serupa itu terjadi di Teluk Minamata di Jepang yang
telah menimbulkan penyakit yang akhirnya disebut sebagai penyakit Minamata pada
tahun 1956.
Dari aspek sosial
budaya, pertambangan juga tak sedikit yang mengacaukan kehidupan sosial budaya masyarakat
setempat. Dari masyarakat yang awalnya berburu hewan di hutan, sejak ada
pembukaan tambang tak bisa berbuat banyak karena hutan rusak. Dari masyarakat
yang biasa berburu ikan, tak bisa berbuat apa-apa lagi karena sungai, teluk,
laut tercemar bahan berbahaya. Penduduk setempat tergusur secara sosial,
ekonomi dan budaya.
Manusia sebenarnya tak
makan emas. Namun, karena emas, manusia memorakporandakan sumber-sumber makanan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Bahkan manusia juga merusak ekosistem yang
sebelumnya keseimbangannya sudah terjaga.
Secara kuantitas
mungkin terlihat kesejahteraan manusia bisa diukur dengan kepemilikan emas dan
kekayaan lainnya yang berhasil dihisap dari alam ini. Setidaknya paham inilah
yang selama ini dianut sebagian manusia di planet ini. Namun secara kualitas
kesejahteraan itu belum tentu menyentuh aspek kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup seutuhnya. Bahwa setiap makhluk ciptaan berhak hidup. Tak hanya menyentuh
aspek ekonomi, namun kesejahteraan juga mesti menyentuh aspek sosial budaya dan
lingkungan hidup. Bagaimana mungkin bisa dibenarkan, ketika segolongan manusia
mengeksploitasi alam, sementara kehidupan manusia lainnya terancam? Maka,
kekayaan (kelimpahan) manusia satu merupakan kemiskinan bagi manusia yang lain.
Memang banyak
perusahaan sesuai regulasi harus mempertanggungjawabkan aktivitasnya itu pada
masyarakat. Namun, perusahaan mana yang mampu menebus kerusakan
sosial-budaya-ekonomi masyarakat dan lingkungan dengan tanggung jawab sosial
perusahaannya atau CSR-nya? Dibanding dengan keuntungan yang dihisap perusahaan
tersebut, adilkah?
Maka, Prof. Dr. Emil
Salim, dalam hari studi Sidang Sinodal KWI, 5-7 Nopember 2012 mengusulkan, usaha
kita sekarang adalah mengalihkan pola pendekatan pembangunan kuantitas ke
pembangunan kualitas, yang memuat bukan saja dimensi ekonomi, tetapi juga
dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Untuk ini maka sinyal faktor sosial dan
faktor lingkungan harus ikut diperhitungkan dalam proses pembangunan.
Ketika bumi dan air
rusak, tanaman sudah tak bisa hidup, hewan sudah terkontaminasi, emas tak akan
bisa mengganti semua itu. Emas sebagai investasi sudah layak untuk
ditinggalkan, karena kita sebenarnya tidak pernah menginginkan anak cucu kita
memakan emas.
Thomas Berry dalam Kosmologi
Kristen mengatakan manusia adalah bagian dari alam. Hidupnya bergantung pada sistem
alamiah yang berfungsi secara kontinyu. Peradaban berakar pada alam, membentuk
kebudayaan manusia dan memengaruhi semua pencapaian artisitik dan ilmiah. Dengan
hidup selaras dengan alam, manusia diberi kesempatan untuk mengembangkan
kreativitasnya, dan diberi jaminan mendapatkan hiburan (hal. 75).
Maka, dengan alam yang
sudah rusak, hidup manusia sendiri juga terancam. Apa yang bisa dibangun dari
alam yang rusak, bahkan akibat ulah manusia itu sendiri?
Manusia hanyalah salah
satu unsur dari semesta yang mahaluas, mahadalam, dan tak terukur. Ada hukum
alam yang semestinya juga dipatuhi manusia, walaupun memang mungkin hukum itu
tidak berlaku seketika ketika manusia melanggarnya. Bisa jadi hukum itu berlaku
ketika pelaku sudah mati, dan yang terkena adalah anak-cucunya. Bahkan yang
terkena dampak hukum itu tak hanya manusia, namun juga makhluk lainnya yang
sebenarnya tak pernah melakukan kesalahan apapun. Semuanya membawa efek domino
bagi makhluk yang lainnya.
Sebagai konsumen,
manusia juga patut untuk tidak hanya mengandalkan nafsu ekonominya, memiliki
barang-barang yang diproduksi dengan merusak alam sedemikian rupa. Konsumen
juga perlu berpikir bahwa setiap barang yang dimilikinya diyakinkan tidak
membawa kerugian bagi keberadaan makhluk ciptaan lainnya. Kita pun bisa
bertanya, apakah perhiasan emas yang melekat di tubuh kita yakin tidak terlibat
dalam dosa-dosa terhadap alam dan manusia-manusia lemah serta makhluk yang
berlindung dan bergantung pada bumi?
Dan saya makin yakin,
kesederhanaanlah yang bisa melestarikan hidup dan alam ini. Mungkin utopis.
Posting Komentar untuk "Narasi Emas dan Penderitaan Ciptaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar