Iman mempunyai
kekuatan dalam membangun kelestarian alam. Sebab, justru melalui iman,
seseorang mengenal baik Sang Pencipta, sesama manusia dan sesama ciptaan-Nya. Orang
yang beriman tentu akan menjaga relasi yang baik antara dirinya dengan Sang
Pencipta dan dirinya dengan semua ciptaan-Nya. Relasi dirinya dengan
ciptaan-Nya bagaikan relasi antara dirinya dengan karya seni seorang seniman,
bahkan termasuk dirinya sendiri adalah karya seni. Sebagai orang yang
menghormati seniman, ia tak akan merusak karya seni seniman tersebut. Bahkan
dengan menghormarti karya seni, ia juga menghormati sang seniman itu.
Banyak orang menyatakan diri beragama. Namun,
wajah alam-lingkungan menunjukkan wajah tanpa sentuhan iman dari orang-orang
yang menyatakan diri beragama. Bahkan Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2004 menyatakan salah satu
kerusakan dari tiga kerusakan besar di Indonesia adalah kerusakan lingkungan di samping korupsi dan
kekerasan. Lebih lanjut dalam Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005, kerusakan
lingkungan hidup makin diperjelas
dengan membagi dua wilayah kerusakan yakni Lingkungan
Hidup (berkaitan
dengan hutan) dan
Lingkungan Hidup (berkaitan dengan non-hutan) di samping 16 kerusakan
lain yang terjadi di Indonesia.
Kerusakan
tersebut terjadi di Indonesia, sebuah negara yang masyarakatnya menyatakan diri
beragama. Bahkan secara telanjang pun, kehidupan masyarakatnya penuh dengan
simbol-simbol agama dan disibukkan dengan berbagai ritual keagamaan. Bagaimana
mungkin di sebuah negara yang masyarakatnya beragama, namun di negara tersebut
terjadi kerusakan alam-lingkungan yang sangat masif? Apakah orang-orang yang
menyatakan diri beragama itu tidak mampu menghargai ciptaan Sang Pencipta yang
diimaninya? Atau bahkan mereka yang mengaku orang-orang yang beragama itulah
yang justru merusak karya Tuhan dalam alam-lingkungan tersebut? Apa yang
sebenarnya terjadi?
Berdasar
pada pendapat Thomas Berry, barangkali ini bisa menjadi refleksi akan kerusakan
alam-lingkungan yang terjadi di Indonesia. Thomas Berry dengan mendasarkan pada tradisi
Kristen, melalui buku Kosmologi Kristen (hal 108-112) menulis, ada tiga fase
manusia kehilangan keakraban dengan alam. Fase pertama muncul pada saat terjadi
pertemuan spiritualitas awal Kristen dengan humanisme Yunani yang membentuk
suatu dasar antroposentrisme yang kuat. Fase kedua muncul pada saat wabah pes (Black
Death) yang menyerang Eropa pada tahun 1347-1349. Peristiwa itu dianggap
sebagai hukuman Tuhan. Maka yang amat diperlukan adalah pertobatan dengan
menarik diri dari dunia dengan meningkatkan
upaya akan penebusan. Akibatnya, sebuah spiritualitas baru muncul yang
menyebabkan suatu ketidakpedulian dan bahkan penolakan terhadap
persoalan-persoalan dunia.
Sedangkan
fase ketiga muncul pada akhir abad sembilan belas. Manusia mengabaikan perannya dalam melestarikan alam, dan hanya
berjuang mendapatkan keuntungan yang bersifat organis demi perindustrian dan
perekonomian yang ekstratif.
Fase-fase
yang dimunculkan Thomas Berry bisa menjadi refleksi Indonesia yang dihuni
orang-orang yang menyatakan diri beragama namun justru memiliki alam-lingkungan
yang rusak.
Saya menduga, tergerusnya
religiositas dan ketidakmampuan menyambung iman dengan alam-lingkungan, serta
masifnya mengejar keuntungan material-kapitalistis itulah yang menjadi sebab
dan pelancar terjadinya kerusakan alam-lingkungan di Indonesia.
Masyarakat
sekarang berada dalam ombang-ambing budaya konsumtivisme dan materialisme. Kepuasan
jasmani menjadi tujuan dan melupakan kepuasan rohani. Sayangnya kepuasan
jasmani dikejar dengan berlebihan yang bahkan mengabaikan kebutuhan rohani sehingga
terbengkalai. Dengan kebutuhan rohani yang terbengkalai, hidup iman pun merana,
orang tak lagi bisa membuat relevansi antara iman yang diyakini dengan konteks
hidup yang terjadi di sekelilingnya. Salah satu akibatnya, kerusakan alam
terjadi karena iman merasa tak harus bertanggung jawab dengan alam di
sekitarnya.
Fenomena
orang kencing atau buang kotoran di sungai menarik untuk dibahas. Ini
menunjukkan bahwa orang tidak mampu menyambungkan diri antara yang praktis
sehari-hari dengan iman yang dihidupinya. Bagaimana mungkin ia membuang kotoran
dirinya di sungai, ketika dalam waktu yang lain ia masih memakai air untuk
menyucikan diri sebelum beribadah, misalnya untuk
wudhlu,
untuk menyucikan diri sebelum masuk
gereja, atau untuk membaptis. Apakah tidak terpikir, bahwa dalam
air yang dipakai menyucikan diri itu juga terkandung kotoran tubuhnya?
Pengejaran
keuntungan material-kapital pun telah merenggut religiositas seseorang. Begitu
mudahnya, orang membangun pabrik di kawasan-kawasan yang produktif untuk
penyediaan pangan. Begitu mudahnya orang membuang limbah pabrik di kawasan yang
menjadi tempat berlindung berbagai makhluk hidup yang berguna bagi manusia. Semua
itu dilakukan demi mengejar keutungan ekonomi semata betapapun buruknya
dampaknya bagi kehidupan.
Agamawan
sangat akrab berelasi
dengan Tuhan dan juga berelasi
dengan sesama manusia, atau relasi vertikal dengan relasi horizontal. Dua
relasi itu pula yang
selama ini didengungkan dan dipentingkan dalam pengajaran agama.
Maka, dalam ekspresi imannya, agamawan hanya terfokus pada upaya merajut relasi
dengan Tuhan yang tak jarang melahirkan berbagai simbol, ritual, pujian dan
lain sebagainya. Demikian pun dengan relasi terhadap manusia. Relasi itu begitu
diagungkan dan menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang dinomorsatukan. Segala ciptaan lain
hanyalah pengabdi manusia.
Padahal
berelasi dengan Tuhan maupun dengan manusia pun dibutuhkan konteks hidup
manusia itu sendiri yakni alam-lingkungan yang melingkupinya. Jika tak ada
alam-lingkungan bagaimana mungkin manusia bisa hidup dan bisa mengekspresikan
cinta kasihnya baik kepada Tuhan maupun sesama manusia?
Jika
tak ada alam-lingkungan, bagaimana mungkin pengarang kitab Mazmur bisa
menggubah puisi pujian yang sangat indah untuk Tuhan? Tentu, dia sendiri bisa
menangkap kuasa dan keindahan Tuhan melalui segala ciptaan-Nya, tak hanya manusia
namun juga alam semesta, angin, matahari, bulan, tumbuhan, hewan dan lain
sebagainya.
Lebih
lanjut, alam-lingkungan mestinya masuk dalam matra relasi, yang semula hanya
dua relasi vertikal-horizontal, Tuhan-manusia, menjadi tiga relasi yakni Tuhan,
manusia, dan sesama ciptaan yang lain.
Konsep tiga
relasi ini sebenarnya sudah sangat dikenal dalam berbagai tradisi. Karena
gerusan dan pengaruh humanisme yang mengagung-agungkan manusia, maka konsep
tiga relasi itu pudar di samping gerusan nafsu kapitalistik meraih keuntungan.
Bahkan yang terakhir ini menggerus kemanusiaan dan alam-lingkungan secara masif
sampai hari ini.
Konsekuensi
berikutnya adalah, karena manusia tak mungkin mampu meninggalkan alam-lingkungan
sebagai konteks hidupnya, maka manusia harus menyadari bahwa relasinya tak
hanya terkait dirinya dengan Tuhan dan
sesama manusia. Namun, ia menyadari sekaligus memperhatikan cara berelasinya,
selain Tuhan dan sesama manusia, ia mesti merajut relasi dengan alam ciptaan. Di
sinilah peran agamawan mengambil tempat secara baru dan revolusioner mengingat,
kerusakan alam sudah sangat masif dan mengancam keberadaan makhluk ciptaan yang
lain. Tak ada makhluk yang bisa mandiri, semuanya terajut dalam jaring-jaring
kehidupan. Sekali lagi saya ingatkan, punahnya satu spesies menjadi ancaman
kepunahan terhadap spesies lain.
Bahkan tak hanya
spesies makhluk hidup, budaya dan agama pun bisa terancam. Bayangkan jika alam
rusak, tanah tak bisa ditanami gandum dan anggur, apakah kita masih berhadap bisa
merayakan ekaristi dengan perjamuan roti dan anggur? Apakah sudah dipikirkan
jika air menyusut dengan apakah kita akan menjalani prosesi baptis? Lebih baik
air itu diminum demi kehidupan atau dipakai untuk ritual baptis? Bahkan untuk mendirikan sebuah seminari atau
pondok pesantren pun, seseorang harus memastikan bahwa di sekitarnya terdapat
sumber air.
Saya merasa, membangun
semangat kepedulian dan relasi intim dengan Tuhan, manusia, dan alam-lingkungan
menjadi hal yang penting dan mendesak. Agamawan berada dalam posisi penting
untuk hal ini. Ia semestinya menjadi
berkat bagi siapapun dan apapun.
Posting Komentar untuk "Berelasi dengan Tuhan, Manusia dan Sesama Ciptaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar