Terminal



        
Sudah hampir enam jam, tubuhku terguncang-guncang di atas jok bis ekonomi. Perjalanan dari kota Semarang ke Purwokerto via Wonosobo memang memberikan keletihan tersendiri. Badan terasa rontok ditambah pegal-pegal di sana-sini. Ketahanan tubuhku sepertinya sudah di ambang batas. Namun tiba-tiba perasaanku bergejolak senang setelah kubaca tulisan di pinggir jalan. Terutama di papan-papan nama toko atau pun baliho. Di bagian bawah papan itu tertuliskan “Purwokerto”. Pikiranku langsung berkesimpulan terminal bis di kota ini sudah dekat, paling-paling dalam hitungan menit. Kulihat jam tanganku hampir  pukul sebelas malam. Yah, sudah gelap memang tetapi yang penting sudah hampir sampai. Bis yang kutumpangi terus menderu-nderu kencang sepertinya sudah tidak sabar sampai di terminal. Penumpang yang tersisa hanya tinggal sekitar sepuluh orang termasuk aku. Ada yang masih tertidur lelap, ada juga yang tampak sudah bersiap-siap untuk turun.
            Tiba-tiba kondektur bis berteriak,”Terminal Purwokerto, Terminal Purwokerto habis!” Bis pun masuk terminal dan memperlambat lajunya sebelum berhenti. Serentak para penumpang turun sambil membawa barang masing-masing. Aku turun dengan gontai diikuti pegal-pegal di sekujur tubuh. Kulangkahkan kaki ini menuju kursi tunggu untuk menunggu bis tujuan kota terakhirku, Bumiayu. Baru saja kutaruh tas dan pantatku di atas kursi aku terkejut bukan kepalang.
            “Hah mengapa banyak sekali perempuan di terminal ini? Mulai dari pedagang eceran, pengamen, kondektur, sopir, calo, preman dan banyak profesi yang tidak aku tahu semuanya perempuan. Yang jelas terminal ini lain dari biasanya. Ada yang tua, ada yang setengah tua, dan ada yang muda dan segar!” gumamku.
            Kuamati sekali lagi untuk membenarkan diriku berada di terminal Purwokerto. Sekilas mataku menyapu seluruh terminal dan kutemukan tulisan “Terminal Purwokerto”. Tapi yang aku saksikan kali ini sungguh lucu. Terminal yang dihuni perempuan. Biasanya laki-lakilah yang menguasai tempat ini, tapi kali ini sungguh mengherankan.
            “Mbak, apakah ini terminal Purwokerto?” tanyaku pada seorang perempuan berumur sekitar dua puluh dua tahun sambil memegang serenteng kacang yang terbungkus plastik.
            “Benar Mas. Ini terminal Purwokerto. Mas mau kemana?” balik bertanya sambil tersenyum dengan manis.
            “Aku mau ke Bumiayu sebelumnya dari Semarang. Bis yang ke Bumiayu kapan berangkatnya, Mbak?”
            “Oh nanti sekitar satu jam lagi. Bisnya yang di deretan nomer empat dari sebelah kiri. Kacangnya Mas sambil menunggu bis?”
            “Beli dua, Mbak!”

            “Seribu rupiah, terima kasih!”
            Perempuan itu berlalu setelah menerima uang dariku. Kucoba untuk menikmati kacang bawang yang baru kubeli. Di mana-mana aku menyaksikan perempuan. Kaum laki-laki sepertinya makhluk langka di tempat seperti ini. Sedikit sekali laki-laki yang dapat kutemukan. Aku mendengar suara perempuan berteriak-teriak. “Jogja, jogja!” begitulah seterusnya. Suara itu kalau di tempat asalku lebih mirip jadi penjual jamu gendong daripada jadi calo atau kondektur. Kucoba untuk memastikan kebenaran suara itu. Benar, suara itu dari seorang perempuan yang bergelantungan di pintu bis yang melaju pelan meninggalkan  terminal.
            “Mas minta rokok!” suara itu dari arah belakangku, persis dekat telinga. Nafasnya mendesah, tetapi suaranya sangat keras. Suara itu mengingatkanku pada desahan penuh keletihan seorang petani perempuan tua di desa. Kucoba melihat ke arah sumber suara itu. Ya, ampun seorang perempuan dengan jeans hitam ditambah kaos ketat melekat di bagian tubuh atasnya. Wajahnya kelihatan cantik tapi garang bak preman.
            “Mas dengar tidak, aku minta rokok! Belum tahu ya kamu berhadapan dengan siapa? Nih, jagoan terminal Purwokerto?”
            “Ini!”
Daripada ribut, kusodorkan sebungkus rokok dengn korek apinya. Dia langsung mengambil sebatang dan menyulutnya. Lalu dia duduk tepat di sampingku. Asap yang keluar dari mulutnya dimain-mainkannya membentuk pola tertentu. Ah, perempuan ini lebih pantas menjadi mahasiswi. Dia muda, tubuhnya sintal, cantik, tapi ada yang berbeda yaitu tubuhnya sangat tinggi melebihi ukuran perempuan umumnya. Mungkin benar apa yang ia katakan tadi, Preman Terminal. Terbukti ada beberapa orang yang memberi tanda penghormatan kepada perempuan itu.
Aku benar-benar mengalami situasi aneh. Dunia perempuan terpampang dengan jelas di hadapanku. Hanya sedikit laki-laki itu pun hanyalah penumpang bis. Kulihat ada beberapa perempuan yang berkumpul, ternyata sedang bermain judi. Kulihat segepok uang taruhan di tengah mereka. Ketika diundi yang mendapat kemenangan langsung tersenyum girang. Sedangkan yang lainnya hanya mengeluarkan segala macam umpatan yang paling jorok dari mulutnya. Benar-benar hal baru bagiku.
“Mas, mas mau pergi ke mana?” tanya seorang perempuan.
“Aku mau ke Bumiayu, letaknya antara Tegal dengan Purwokerto!” jawabku sekenanya.
“Oh Bumiayu!Kok sendirian apa nggak takut? Banyak orang iseng lho!” sambil mengeluarkan asap rokok dengan pola tertentu.
Perempuan itu terkesan merayu sekaligus menakuti, mengingatkanku pada laki-laki yang sering menggoda seorang perempuan bila pergi sendirian. Aku berpikir apa nggak terbalik perempuan itu mengatakan hal demikian. Biasanya, laki-laki yang berkata seperti itu. Ketika aku dalam puncak pertanyaan tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang sangat keras,”Copet, copet!” teriakan seorang laki-laki sambil mengejar seorang perempuan. Mereka berkejaran kemudian diikuti segerombolan perempuan terminal. Selama beberapa detik terjadi pemandangan menarik, aksi kejar-mengejar. Perempuan itu pun tertangkap kemudian dipukuli oleh perempuan-perempuan lain.
“Dasar copet! Awas kamu kalau nyopet di terminal ini lagi!” teriak salah seorang perempuan.
“Heh copet jangan ganggu penumpang lagi. Mereka harus merasa nyaman!” teriak salah seorang perempuan sepertinya anggota reserse polisi.
Perempuan pencopet itu pun diseret sambil mengaduh kesakitan. Tampak wajahnya lebam kebiruan bekas pukulan yang mendarat. Perempuan itu langsung dibawa ke pos polisi dan kemudian dinaikan ke mobil patroli. Gila, hebat sekali perempuan-perempuan ini. Ingatanku langsung melayang pada para tenaga kerja wanita yang  mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual oleh majikannya  di luar negeri. Andai tenaga kerja itu seperti perempuan terminal ini tentu majikannya tidak akan berani menyiksanya.
“Mas, kok sendirian di terminal? Sudah malam lagi. Mau kemana sih, Mas?” tanya seorang perempuan berparas cantik di sampingku. Gila ternyata sudah ganti orang. Preman yang malak rokok sudah pergi rupanya sampai aku pun tidak tahu karena keributan tadi. Dan yang aku herankan mereka, para perempuan, selalu menanyakan hal sayang sama,” Kenapa disini? Mau kemana?” Sepertinya hal yang aneh, aku berada di terminal malam-malam begini.
“Iya, aku kemalaman. Tadi dari Semarang. Sekarang mau ke Bumiayu. Yah bagaimana lagi? Aku tadi berangkat kesorean dari Semarang. Mbak ini mau pergi ke mana malam-malam begini?” aku balik bertanya. Perempuan itu pun tersenyum manis dengan wajah bersahaja.
“Aku adalah sopir bis. Kebetulan trayek bisku Purwokerto-Tegal. Jadi melewati kota Bumiayu. Mas nanti naik bis yang aku kemudikan. Bis berangkat setengah jam lagi!” tutur perempuan itu.
Umurnya paling-paling baru dua puluh delapan tahun. Raut mukanya terlihat keras, mungkin terpengaruh situasi yang biasa dihadapinya. Tubuhnya dibalut pakaian dari bahan jeans. Baik celana maupun bajunya terlihat kumal. Sepatunya berbahan kulit dan berhak tinggi. Celana, sepatu maupun bajunya semuanya berwarna hitam agak pudar.
“Sudah lama Anda menjadi sopir?”
“Sudah hampir empat tahun ini di bis!”
“Apakah tidak ada pekerjaan lain yang lebih cocok dengan Anda?”
“Aku sangat menyukai perjalanan dan kebetulan aku bisa mengemudikan bis, ya kenapa harus mencari yang lain, pekerjaan lain belum tentu semudah pekerjaanku ini!” jawabnya sambil tersenyum.
“Mas kerja di mana, bank atau perusahaan bonafide ya?”
“Bukan, aku hanyalah seorang wartawan dari koran lokal!”
“Wah bagus, dong!”
“Terima kasih. Yah walau bayaran kecil tapi saya menikmatinya. Anda juga luar bisa sudah berjasa mengantar penumpang dengan selamat!”
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara perempuan lain.
“Santi sudah makan belum? Kalau belum aku belikan sekalian!” tanya seorang perempuan berpakaian rapat dibalut jaket tebal.
“Oh sudah, kamu saja dulu seperempat jam lagi kita berangkat!”
“Yoi!” jawab perempuan itu sambil berlalu.
“Ia awak bis kami, kondektur bis kami!” kata perempuan yang ternyata bernama Santi.
“Wah hebat perempuan semua!”
“Ah itu biasa saja bukan hal istimewa. Prinsip saya yang penting bisa mencari rejeki dengan cara halal, itu saja! Oh, ya maaf, saya harus memanaskan mesin bis dulu!”
Setelah dia pergi aku mencoba mencari informasi  kepada perempuan penjual minuman.
“Mbak sejak kapan terminal ini banyak perempuannya?”
“Wah saya nggak tahu Mas, aku jualan di sini keadaannya sudah seperti ini! Ah, Mas nggak usah lihat perempuan atau laki-laki. Pusing sendiri. Dua-duanya sama-sama  butuh makan, jadi sama-sama butuh kerja. Begitu Mas!” kata perempuan itu sambil nyengir genit bak merayu.
“Iya, terima kasih!”
Lalu kujatuhkan badanku ke kursi tunggu lagi. Kupijit-pijit badanku yang pegal-pegal sambil menunggu bis berangkat. Kulihat satu per satu perempuan yang ada di terminal ini. Baik pedagang, kondektur, sopir, preman, calo sampai yang nggak jelas profesinya. Sekali lagi rasa heran mengalir ke sekujur tubuh. Ah dunia ini sama sekali baru atau aku sudah gila! Ah pikirin amat!
“ Para penumpang tujuan kota Ajibarang, Bumiayu dan Tegal diharap segera masuk ke bis, karena dalam waktu dua menit lagi bis akan diberangkatkan. Selamat jalan semoga selamat sampai tujuan. Terima kasih!”
Suara itu berasal dari mulut perempuan seorang petugas terminal. Aku sempat melihatnya di balik kaca kantor terminal menghadap mikrofon. Kulangkahkan kaki ini menuju bis tujuan kotaku. Ketika kunaiki tangga di pintu depan, sepasang bibir tersenyum manis. Bibir milik seorang sopir bis.
“Silakan, Mas. Semoga menikmati perjalanan ini!”
Aku hanya mengangguk ramah. Kemudian kucari tempat duduk dekat kaca jendela dan dekat sopir cantik itu. Dari sini aku bisa melihatnya di kaca spion dalam. Aku bisa melihat ekspresi seorang sopir dengan jelas. Bis pun berjalan perlahan meninggalkan terminal. Laju mesinnya semakin bertambah kencang. Ah nyaman sekali sebentar lagi aku sampai tujuan.

Paguyangan, 2004
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Terminal"