Menghormati yang Tak Berpuasa

Bulan puasa ramadhan tahun ini menjadikanku terkesan. Adalah satu peristiwa. Suatu siang di desa, ada sebuah pekerjaan, suka rela sifatnya. Dua orang yang memang biasa bekerja sebagai tukang sedang memperbaiki sebuah fasilitas bersama. Waktu itu bulan puasa. Udara terasa sangat panas. Kebetulan dua tukang itu beragama Katolik. Mereka waktu itu bekerja suka rela, karena pada dasarnya, dua orang itu dikenal sebagai orang-orang yang ringan tangan di desanya, terutama kalau mengerjakan sesuatu yang menjadi fasilitas umum.

Saya yang kebetulan waktu itu luang pun turut melibatkan diri membantu kecil-kecilan sebisa saya. Pak RW pun bilang pada kami, "Monggo Pak Awi, menjadi asisten, hehe!" katanya seraya bercanda dan menambahi kalau yang lain sedang berpuasa sehingga badannya lemas kalau harus mengerjakan urusan-urusan yang menguras tenaga seperti memaku, menggergaji, mengecat sebuah fasilitas publik desa. Waktu itu, yang dikerjakan adalah atap sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat berkumpulnya warga merembug sesuatu. Tempatnya kecil, namun strategis di dekat pertigaan jalan, tempat orang-orang berlalu lalang dan duduk-duduk di sore atau malam hari untuk bercengkerama berbicara banyak hal, dari sosial, ekonomi, maupun urusan remeh temeh sehari-hari.


Siang itu, saya kebanyakan hanya nonton dua orang yang bekerja karena saya tak bisa berbuat banyak membantu mereka. Saya hanya sesekali memegang palu, paku atau kadang memukul paku dan menggergaji.
Tiba-tiba seorang tetangga dekat tempat tersebut mengeluarkan sirup dan kue. "Wah, gak enak, yang lain sedang berpuasa, masak kami makan dan minum di hadapan Anda?" kata Pak Puja, seorang tukang.

"Yang puasa-puasa, yang tidak silakan makan dan minum," jawab tetangga, "santai saja, Pak!".
Mendengar hal itu, hati saya terasa sejuk. Wah, ada orang atau tetangga yang sangat toleran dan manusiawi. Dia toleran pada orang yang tak berpuasa supaya bisa mendapatkan haknya yaitu makan dan minum. Dia juga sangat menusiawi dan peka karena dalam cuaca yang sangat panas itu, dia mengeluarkan sirup es dan kue sebagai ganjal perut.

Kami pun tak sungkan  lagi memakan dan minum seraya minta maaf dulu kalau kami minum dan makan di hadapan yang berpuasa.

Kami pun bersendau gurau sambil istirahat rolasan. Tak berapa lama, seorang ibu tetangga keluar sambil membawa  nasi, sayur lengkap dengan lauk yang masih mengepul. Saya terkejut lagi. "Yang tak puasa, Yang tak puasa," katanya.

Wah, sungguh pengalaman yang sangat indah.Ketika mereka berpuasa, mereka justru bersusah payah memasak dan menyediakan makanan bagi kami. Hal ini tentu sangat kontras dengan tindakan sebagian masyarakat yang memaksa para pemilik warung untuk menutup dagangannya karena dikhawatirkan mengganggu orang-orang yang berpuasa. Bahkan diantaranya ada yang dilakukan dengan ancaman yang cukup menakutkan.

Belajar dari tetangga saya tersebut, saya belajar semangat toleran dan manusiawi. KIta diajak toleran pada siapapun termasuk yang berbeda agama dan menghormati kemanusiaan seseorang. Bahkan tetangga saya itu lebih dari toleran, mereka telah mengembangkan semangat persaudaraan sejati...


Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Menghormati yang Tak Berpuasa"