Cara orang menyikapi hidup memang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Orang yang satu menganggap sebuah persoalan terlalu berat. Sementara yang lainnya menganggap masalah yang sama sebagai sesuatu yang biasa saja bahkan sangat ringan. Sebut saja Pius, seorang bapak separuh baya. Dia mengalami kesulitan dalam hidupnya terutama dalam mendidik anaknya. Anaknya yang diharapkan bisa berprestasi dalam pelajaran di sekolah ternyata justru sebaliknya. Nilai si anak banyak yang buruk. Ia merasa hal itu menjadi persoalan yang cukup berat.

Sementara sebut saja, si Anto, yang sama-sama mempunyai anak, tak memusingkan anaknya akan mendapat nilai berapapun di sekolah. Yang penting baginya, anaknya mau rajin berdoa dan aktif di masyarakat. Urusan otak, katanya sudah bawaan. Ada yang memang dikaruniani otak cerdas, ada yang memang dikaruniai otak pas-pasan. Namun, suatu ketika Pak Anto, merasa kecewa ketika anaknya tiba-tiba hanya keranjingan belajar mengejar nilai sekolah. Anaknya enggan bermasyarakat dan berdoa karena dikira akan mengurangi waktu belajarnya. Ia tampak syok dengan kondisi tersebut.


Kedua bapak tersebut merasa memiliki masalah yang amat berat. Dalam sebuah pertemuan, mereka pun saling menceritakan anak-anaknya dan saling menganggap masing-masing masalah yang dimiliki mereka adalah lebih berat dibanding masalah lainnya.

Situasi itu sebenarnya memperlihatkan subyektivitas dalam memandang permasalahan tertentu. Permasalahan itu timbul karena masing-masing sudah menciptakan gambaran tertentu dalam imajinasinya, sementara itu pada kenyataannya tidak persis sama dengan yang digambarkan. Timbul kekecewaan dan itu dianggap sebagai masalah. Mungkin akan berbeda penilaiannya jika masing-masing sebelumnya tidak memiliki gambaran tertentu apalagi yang sangat sempurna. Mungkin situasinya akan menjadi lebih baik, jika masing-masing sumeleh, menyerahkan semuanya pada kenyataan yang bakal terjadi tanpa berharap muluk-muluk. Ini bukan berarti membujuk orang untuk tidak memiliki harapan, namun hal ini berarti berusaha mencipta harapan namun juga disertai dengan persiapan akan kenyataan yang bakal terjadi. Bahwa semua kemungkinan memang bisa terjadi. Mungkin bisa terjadi sesuai dengan kehendak kita, atau mungkin semua bisa terjadi tidak sesuai dengan kehendak kita. Atau bahkan semua terjadi di luar kehendak kita, karena ada peristiwa baru yang sama sekali tak kita bayangkan.

Suatu ketika, seorang bapak bercerita, kalau dirinya tak pernah mendapatkan pengalaman yang mengecewakan dalam hidupnya. Semuanya berjalan dengan baik bahkan amat baik. Padahal hidupnya biasa-biasa saja, bahkan terkesan sangat sederhana dengan memakai fasilitas apa adanya. Ia merasa baik-baik saja dengan semua itu. Ia pun bercerita kalau dirinya tidak pernah berpikir yang aneh-aneh. Dia hanya menjalani hidupnya secara sederhana, melakukan apa yang menurutnya harus dilakukannya dengan tulus. Ia tahu persis kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sehingga dia tahu persis dalam menyikapi peristiwa atau pun dalam membangun harapan tertentu.

Ia merasa dengan seperti itu, ia mengalami rasa lepas bebas, jauh dari rasa kelekatan. Dulu ia hanya bersepeda onthel, sekarang dia sudah memiliki sepeda motor meskipun tua. Namun, ia sangat terbantu dengan sarana tersebut. Dan ia merasa sarana tersebut sudah cukup mengingat banyak hal yang bisa dilakukan dengan sepeda motor tersebut dibanding sepeda onthel. Dan ia tak perlu bermimpi memiliki mobil, karena menurutnya dengan sepeda motor sudah cukup berbuat banyak. Sedangkan ia tahu persis jika dengan mobil, ia tak bisa berbuat banyak karena bisa jadi, uangnya habis untuk membiayai perawatan mobil yang pasti jauh lebih mahal daripada sepeda motor.

Ia tidak menganggap hidupnya hidupnya, meski yang tadinya hanya bersepeda onthel dan sekarang hanya bersepeda motor. Namun, justru, ia bersyukur dengan semua sarana itu karena sarana-sarana tersebut memudahkan dirinya menjadi bermakna dalam mengisi hidup ini.


Post a Comment

Kesan/Pesan