Ketika kita
makan, tak jarang kita disuguhi berbagai jenis makanan dengan aneka menu masakan yang menggiurkan.
Makanan tersebut ada yang sudah diolah sedemikian rupa, namun, ada pula yang
masih alami. Betapa hebatnya juru masak mengubah bahan pangan menjadi hidangan
yang lezat untuk disantap. Makanan yang tersaji menjadi sangat nikmat setelah
melalui beberapa tahap
pengolahan.
Kalau
direnungkan lebih jauh, makanan tersebut sebenarnya bersumber pada bumi. Allah
telah menyediakan bahan-bahan makanan itu melalui bumi yang Ia ciptakan dengan
sangat indah dan ajaib.
Nasi
yang kita santap adalah olahan dari padi. Roti yang kita santap adalah olahan
cerdas dari gandum. Masakan sayur-mayur adalah olahan dari dedaunan. Sementara
itu lauk-lauk pauk nabati, seperti tempe atau tahu merupakan olahan dari
kedelai. Sedangkan
lauk hewani diolah
dari bagian-bagian tubuh hewan-hewan yang diburu atau diternak.
Semuanya itu
masuk melalui mulut kita, dikunyah oleh gigi-gigi kita, dan masuk dalam lambung
untuk selanjutnya mengalami proses pencernaan. Makanan-makanan itu menjadi sumber energi
dan pembangun tubuh kita. Lidah kita pun turut merasakan, betapa nikmatnya
makanan-makanan itu, terlebih jika makanan-makanan itu diolah sesuai dengan
selera kita dengan racikan bumbu yang
pas.
Bumi
sumber kehidupan
Bumi
menjadi sumber kehidupan bagi tumbuhan
dan hewan-hewan yang menjadi makanan kita. Bahkan, diri kita pun bergantung hidup pada bumi. Bumi
sudah sejak dulu menyokong kehidupan semua makhluk yang hidup di dalam maupun
di atasnya. Karena bumi,
kehidupan tumbuh, baik itu tetumbuhan, hewan maupun manusia. Allah telah
menyelenggarakannya dengan amat baik, "Hendaklah tanah menumbuhkan
tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan
yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi."
Dan jadilah demikian. Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis
tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah
yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik (Kej 1:11-12). Semua itu
mencukupi kebutuhan manusia maupun hewan-hewan.
Proses kehidupan sudah diselenggarakan
dengan amat baik. Allah menegaskan,
"Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang
berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah
akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung
di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala
tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian (Kej
1:29-30).
Tak mampu
bersyukur
Dengan
demikian, semua makhluk hidup oleh Tuhan sudah dijamin kelangsungan hidupnya. Semua
makhluk di bumi sudah disiapkan Tuhan dengan baik, melalui sumber-sumber makanan
yang disediakan Tuhan. Namun, setelah kita
dikenyangkan dengan makanan dari Tuhan melalui bumi yang menumbuhkannya,
kerapkali, kita tidak mampu bersyukur atas kelimpahan itu. Terlebih manusia
zaman sekarang yang makin berjarak dengan sumber-sumber makanan (baca: bumi). Manusia
sekarang memakan
makanan yang telah terlalu banyak mengalami
alur atau proses industrialisasi.
Sehingga, yang tampil di meja-meja makan mereka adalah makanan yang siap disantap. Dengan makan makanan olahan yang sudah siap tersaji,
manusia makin tidak mengenal bumi yang merupakan asal makanan itu karena
manusia tak perlu bersusah payah mencari makanan itu langsung dari alam (bumi).
Modernisasi juga telah
meninggalkan budaya-budaya yang menghormati alam semesta. Dulu, para nenek moyang
sebelum melakukan penanaman benih, mereka selalu menyelenggarakan selamatan.
Begitu panen, mereka pun menyelenggarakan upacara syukuran. Mereka sangat
menghargai alam. Relasi dengan alam pun dijaga sedemikian rupa. Tak hanya
dilakukan melalui praktik pertanian yang ramah pada bumi, mereka juga membuat
upacara dan kesenian yang indah dalam usaha untuk membangun relasi manusia dan
bumi semakin baik.
Sangat berbeda dengan
manusia zaman ini. Pertanian yang diselenggarakan kerap tak ramah lingkungan. Alih-alih
menggenjot hasil tani yang melimpah, yang terjadi adalah perusakan bumi dengan menggunakan
pupuk buatan dan obat-obatan pertanian yang berbahaya. Namun, kabar baiknya,
beberapa waktu terakhir sudah ada kesadaran para petani kembali menghormati
bumi dengan menerapkan pertanian ramah lingkungan seperti para nenek moyang
dulu. Mereka menyelenggarakan pertanian organik.
Di samping tidak mengenali bumi sebagai
sumber pangan, manusia juga tak mampu mengenali makanan itu, meskipun setiap
saat dia mengonsumsinya. Tak jarang, anak-anak sekarang kaget, ketika
ditunjukkan tanaman gandum, kedelai, padi, dan banyak macam tanaman lainnya. Mereka
kaget karena selama ini mereka tidak tahu rupa tanaman itu. Yang mereka tahu hanyalah
produk makanan olahan itu. Ada jarak antara manusia dengan sumber pangan itu,
ada jarak antara manusia dengan alam/bumi.
Jarak yang cukup jauh itu membuat
manusia terasing dengan bumi. Akibatnya, bumi dieksploitasi sedemikian rupa.
Alih-alih melestarikan bumi, yang ada hanyalah hasrat untuk menjadikan bumi
sebagai sumber keuntungan semata. Eksploitasi alam sudah merusak bumi ini
melalui penggalian-penggalian bahan tambang yang kerap melukai tubuh bumi ini. Terlebih, banyak perusahaan tambang yang tidak melakukan
upaya rehabilitasi bumi.
Atas nama kepentingan
ekonomi, bumi dirusak. Kita kerap mendengar berita, betapa bernafsunya
korporasi ketika (akan) meraup keuntungan dengan merusak alam. Kita
berkali-kali disuguhi berita usaha-usaha korporasi mengeksploitasi kawasan-kawasan
produktif untuk sumber pangan. Hutan-hutan dibabat. Lahan-lahan baru dibuka
tanpa memperhitungkan bahwa hutan adalah suaka karbon. Pertambangan dibuka
dengan menyingkirkan aspek keamanan ekologi. Pabrik-pabrik membuang limbah
berbahaya karena pemiliknya, dengan alasan efisiensi, enggan melakukan
pengolahan limbah berbahaya tersebut.
Sumber kerusakan dari semua itu
adalah keserakahan manusia. Karena keserakahan, bumi dikuras habis-habisan
hanya untuk manusia itu sendiri dengan mengabaikan keselamatan sesamanya,
sesama ciptaan dan generasi mendatang. Akibatnya, bumi tak bisa menyokong
kehidupan makhluk di atasnya. Hal ini persis seperti yang diungkap Mahatma
Gandhi, dunia ini cukup untuk menghidupi seluruh manusia, tetapi tak akan cukup
untuk satu orang yang serakah.
Akibat tindakan manusia yang
serakah adalah bencana ekologi. Kita sudah merasakannya sekurang-kurangnya melalui
banjir, kekeringan, makanan yang terkena limbah, maupun polusi yang kita hadapi
tiap hari.
Menghormati
ibu bumi
Untuk mengakhiri semua itu
sebenarnya cukup sederhana, manusia harus memperbaiki cara hadirnya di bumi
ini. Manusia bukanlah penguasa yang bisa melakukan apapun di bumi ini meskipun
kepandaiannya memungkinkan untuk itu. Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan
di antara warga komunitas kehidupan ini. Maka, manusia ojo dumeh (jangan mentang-mentang) diberi kelengkapan akal budi,
lalu tindakannya hanya berorientasi pada dirinya sendiri dengan mengabaikan
keselamatan alam.
Dengan menyadari bahwa kita
hanyalah makhluk kecil yang bergantung pada bumi, maka kita mesti menghargai
bumi itu sendiri. Bumi telah memberi kehidupan pada kita melalui berbagai kebaikannya.
Bahkan, Gunarti, seorang warga Sedulur Sikep di daerah Sukolilo, Pati dalam
sebuah kesempatan mengatakan bahwa bumi adalah ibu yang sejati. Segala makhluk
hidup bergantung pada bumi yang seperti ibu. Bahkan, ibu yang melahirkan kita
pun bergantung pada bumi. Bumi telah menunjukkan sifat keibuan pada kita semua.
Jika hidup kita semua
bergantung pada bumi, bukankah yang paling baik adalah menjalin relasi yang
baik dengan bumi? Dan, bukankah ini panggilan kita untuk berhenti merusak ibu
bumi?
Posting Komentar untuk "Menghormati Ibu Bumi"
Kesan/Pesan
Posting Komentar