Indonesia adalah sebuah negara yang sudah final menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Namun, Pancasila yang mulanya adalah kristalisasi nilai-nilai dan budaya bangsa itu tidak tecermin dalam perilaku baik elit negara maupun rakyat.
Kalau disebut Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai bangsa Indonesia, maka nilai-nilai sebelum diformulasi menjadi Pancasila, sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang hidup dalam diri bangsa kita. Namun, dalam perkembangannya, bangsa ini seakan lupa akan nilai-nilai yang pernah dihidupinya, terlebih nilai-nilai itu diformulasi dan ditetapkan sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa ini, Pancasila.
Hilangnya nilai-nilai Pancasila yang jauh sebelumnya telah dihidupi bangsa ini disebabkan oleh masuknya nilai-nilai dari luar, baik Barat maupun Timur yang meminggirkan nilai-nilai Pancasila.

Pelanggaran kebebasan berkeyakinan
            Perbedaan agama dan keyakinan yang sejak dulu menjadi entitas yang hidup dengan damai di negeri ini, kembali tercabik-cabik. SETARA Institute mencatat, selama 2012 terjadi sekitar 315 intoleransi. Selama Januari-Juni 2011, terdapat 99 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Peristiwa itu ditemukan dalam 140 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara dan Negara. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2010 yang mencapai 94 peristiwa.
Tindakan tersebut meliputi intimidasi, intoleransi, pelarangan aktivitas keagamaan, pelarangan mendirikan tempat ibadah, pembiaran, dan penyesatan aliran keagamaan. Tidak hanya individu, agamawan, lembaga, maupun Negara pun terlibat dalam tindakan intoleransi tersebut.  Sedangkan korbannya adalah para penganut keyakinan minoritas misalnya Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Penghayat Kepercayaan Lokal.

Padahal kebebasan untuk beragama dan beribadat menurut pilihannya masing-masing dijamin dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 pasal 29.
Dalam hal ini, negara dengan berbagai instrumen yang dimilikinya sebenarnya sangat bisa mencegah tindakan intoleransi itu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, negara seakan tunduk pada segelintir kekuatan tertentu. Itu menunjukkan bahwa para pejabat di negeri ini, tak memiliki komitmen terhadap Pancasila. Kalau mengacu pada Pancasila, segala bentuk intoleransi mestinya dihentikan. Semua agama dan keyakinan yang mendasarkan diri pada Ketuhanan yang Maha Esa mendapat tempat di negeri ini.
Demikian pula banyak pejabat negara yang terlibat dalam praktik korupsi. Hal itu makin menambah daftar hitam, bahwa banyak pejabat kita yang tak memiliki jiwa Pancasila. Bahkan korupsi itu pun sudah menjadi sistem yang menggurita dalam sebuah institusi. Hal itu terlihat dari banyaknya oknum pejabat yang terlibat. Tak hanya di kalangan elit, pejabat-pejabat di daerah pun setali tiga uang. Bahkan akademisi, aparat hukum, agamawan pun tak luput dari hal itu.
Potret buram itu menjadi mimpi buruk bagi kaum muda. Kaum muda tidak lagi melihat figur-figur pejabat negara yang pantas untuk diteladan. Padahal kaum muda selain produk beradaban, dia juga tunas peradaban yang kelak menjadi subyek peradaban.
Generasi macam apa yang kelak akan terjadi jika mereka disuguhi potret dan aktor yang tak memiliki jiwa Pancasila di negara Pancasila ini, khususnya dalam hidup di Negara yang Bhinneka Tunggal Ika ini? Kita memang harus mendorong Negara supaya mempunyai ketegasan dalam menegakkan konstitusi, khususnya kebebasan beragama. Namun, bersamaan dengan itu, kita pun bisa berbuat sesuatu demi membangun perdamaian di Indonesia.

Apa yang harus dilakukan?
Karena kita sudah sepakat bahwa negara Indonesia berdasar Pancasila, maka kita pun pasang badan untuk menjadikan Pancasila -nilai-nilai yang pernah dihidupi bangsa ini-tersebut menjadi habitus bangsa ini. Habitus adalah gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok (Nota Pastoral: Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, no. 10).
Untuk menjadikan Pancasila sebagai habitus bangsa ini jelas tak ada yang lain adalah pendidikan baik formal (sekolah), nonformal (pelatihan, seminar) maupun informal (keseharian). Dan yang menjadi pondasi pokok dalam hal penanaman habitus adalah tak ada yang lain kecuali keteladanan baik individu maupun publik. Keteladanan berhabitus Pancasila itu mesti tecermin dari para aktor negara, pejabat publik, para pendidik, para agamawan dan masyarakat umum.
Keteladanan itu mesti harus ditunjukkan secara utuh dan tak bisa parsial mulai dari cara berpikir, merasa, bertindak, bernalar, dan berelasi dengan sesama. Penanaman habitus Pancasila tak hanya bisa dilakukan melalui kurikulum pendidikan Pancasila untuk generasi muda dalam pendidikan formal. Namun, penanaman habitus Pancasila itu juga bagian dari formatio (kaderisasi) para pejabat publik, para pendidik, para agamawan yang akan menjadi anutan masyarakat supaya benar-benar menjadikan Pancasila sebagai habitus yang dihidupi mereka.
Penanaman habitus Pancasila juga mestinya digawangi dengan penegakan hukum yang berwibawa. Hukum benar-benar ditegakkan tidak dengan tebang pilih atau pilih kasih. Begitu juga, semua tindakan yang melanggar nilai-nilai Pancasila harus ditindak secara hukum. Sebab, Pancasila adalah sumber dari sumber hukum, maka segala hal yang melanggar hukum merupakan pelanggaran pada Pancasila. Maka, jika ada intimidasi, intoleransi, pelarangan aktivitas keagamaan, pelarangan mendirikan tempat ibadah, pembiaran, dan penyesatan aliran keagamaan, pemerintah yang mempunyai kuasa untuk memaksa melalui aparat penegak hukumnya melakukan tindakan.
Dalam menegakkan hukum, penegak hukum yang merupakan representasi negara harus berani, tak takut dari tekanan kelompok tertentu. Di situlah sebenarnya, keteladanan habitus Pancasila ditunjukkan. Penegak hukum tidak boleh pilih kasih, misalnya hanya membela yang mayoritas. Penegak hukum harus menegakkan hukum bebas dari tekanan apapun termasuk mayoritas.

Peluang pendidikan dialog persaudaraan sejati
            Indonesia dihuni warga Negara yang memiliki perbedaan baik suku, ras, dan agama beserta alirannya. Perbedaan itu rentan konflik. Sedangkan konflik kalau tidak dikelola dengan baik akan merembet menjadi kekerasan yang bisa memakan korban nyawa, harta dan benda. Maka, dialog menjadi penting untuk saling merajut perbedaan, saling mengerti, dan saling memahami tanpa memaksa. Tidak semua orang mampu berdialog dalam perbedaan terlebih kalau menyangkut iman.
Markus Solo dalam Kompas (26/2/2008) menulis bahwa kesadaran dialog sebagai sebuah kebutuhan hidup dan bukan sekadar strategi untuk bertahan memunculkan kesadaran baru, bahwa ketertutupan atau arogansi sudah tidak zamannya lagi.[i]
Sementara itu, Mgr. Ignatius Suharyo melalui Surat Gembala Prapaskah 2005, mengatakan bahwa sejarah hubungan antar umat beragama bukanlah sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin. Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu kita akui dan terima dengan hati yang tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu. Kalau luka-luka itu dapat disembuhkan, hubungan-hubungan kita pun akan diperbaharui (no. 4).[ii]
Dialog adalah sarana penyembuhan luka batin itu. Karena melalui dialog manusia benar-benar berjumpa bukan karena label yang menempel pada dirinya seperti agama, status sosial lainnya, dan sejenisnya, namun karena dirinya adalah manusia, makhluk ciptaan yang adalah citra Tuhan itu sendiri (Imagio Dei). Manusia dengan segala martabatnya dihargai melalui dialog itu sendiri.
Selanjutnya, Mgr. Ignatius Suharyo menulis, dalam sejarah peradaban manusia, cara orang tidak-beradab berperilaku dan berkomunikasi adalah dengan paksaan dan kekerasan. Sedangkan cara orang beradab berperilaku dan berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda adalah dengan berdiskusi dan berdialog. Dialog antar umat beragama persis merupakan cara orang beradab yang saling berbeda keyakinan agamanya untuk berkomunikasi mencari cara hidup bersama.[iii]
Tantangan dalam berdialog adalah kecurigaan (prasangka) dan ketakutan. Kecurigaan membuat kita mempunyai pandangan yang tidak senyatanya terhadap orang lain. Akibatnya distorsi muncul. Kita memperoleh gambaran yang tidak benar. Sementara itu ketakutan hanya akan membuat orang menutup diri dan bertahan dalam tempurung kepicikannya. Sikap curiga dan ketakutan meluluhkan dialog karena pada dasarnya dialog membutuhkan ketulusan dan keterbukaan hati bukan strategi politik untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam dialog toleransi dibutuhkan. Namun, menurut sebuah sumber, toleransi itu sendiri tidak cukup untuk mewujudkan persaudaraan sejati. Sebab toleransi yang berasal dari bahasa Latin, tolerare berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu.
Maka, selain sikap toleransi, dialog juga semestinya bisa mencapai kesadaran dan pengalaman bersama bahwa Tuhan mengasihi semua manusia apapun agamanya. Tuhan mahakasih dan Ia selalu menyatukan manusia meskipun manusia itu tercerai berai dalam beraneka ragam identitasnya, membangun sikap saling mencintai dan saling menghormati untuk membangun kemanusiaan.
Hans Kűng seorang teolog Katolik dari Jerman pernah mengatakan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Maka perdamaian umat beragama menjadi kebutuhan mutlak kalau kita benar-benar ingin membangun keadaban di Indonesia ini.
Dr. Th. Sumartana menulis di satu pihak, kita melihat bahwa perdamaian antaragama menjadi prasyarat bagi perdamaian dunia. Namun, di pihak lain, pernyataan itu juga bisa diartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antaragama.[iv]
Pemimpin tertinggi agama Katolik, Paus Fransiskus mengingatkan agar kita menjunjung tinggi kebebasan beragama, dengan sikap penuh kasih dan hormat kepada umat lain yang berbeda dari kita.
Dialog lagi-lagi menjadi sarana untuk mewujudkan gambaran tersebut. Menurut Mgr Ignatius Suharyo (2009), ada berbagai upaya dialog.[v] Pertama, dialog kehidupan. Dialog kehidupan ini mencakup segala bentuk pergaulan dan hubungan sosial antara penganut-penganut agama yang berbeda. Dialog seperti itu dapat terjadi dalam keluarga, masyarakat, dan dalam berbagai bidang kerja, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi maupun politik.
Kedua, dialog karya. Dialog ini berupa kerja sama dengan orang yang berkeyakinan iman lain untuk tujuan kemanusiaan, sosial, ekonomi, atau politik yang ditujukan untuk pembebasan atau kemajuan masyarakat.
Ketiga,  dialog pakar. Dialog ini dilakukan pada tataran keahlian, baik untuk memperdalam dan memperkaya warisan religius masing-masing maupun untuk menerapkan keahlian masing-masing pada masalah-masalah yang harus dihadapi umat manusia sepanjang sejarah.
Keempat, dialog pengalaman religius. Pada taraf yang lebih mendalam orang-orang yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing dapat berbagi pengalaman mereka dalam doa, kontemplasi, iman dan kewajiban, dan juga ungkapan serta jalan mencari Yang Mutlak.

Sekadar usulan
            Mengingat orang muda adalah pilar peradaban pada masa depan, maka mereka perlu dipersiapkan dengan baik dalam hal hidup bersama dengan umat yang berbeda agama. Maka, pendidikan dialog lintas agama semestinya menjadi prioritas komunitas-komunitas beragama dan sekolah-sekolah formal yang ada di Indonesia sebab beragama di Indonesia adalah beragama bersama masyarakat Indonesia yang berbeda agama. Mereka perlu disadarkan bahwa orang lain yang berbeda agama adalah mitra dialog dan partner dalam membangun keadaban publik.
            Agenda dialog yang bisa dilakukan adalah mencoba mencermati masalah yang dihadapi semua rakyat Indonesia. Pertama, setidaknya ada tiga masalah akut yang menjangkiti Indonesia yakni korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Ketiga hal itu bisa menjadi pintu dialog karya. Sekadar usulan, orang muda lintas agama bersatu padu memperbaiki lingkungan hidup seperti gotong royong, adalah contoh yang sangat bisa dilakukan seperti dilakukan para pemuda di Cirebon beberapa waktu lalu. Pada waktu bulan puasa Ramadhan, kelompok orang muda lintas agama di Semarang melakukan aksi bagi-bagi nasi bungkus dan tajil untuk buka puasa, itu merupakan contoh dialog yang konkret.
Kedua, mengajak orang muda untuk memanfaatkan media jejaring sosial yang sudah sangat akrab dengan keseharian mereka misalnya facebook, blog atau twitter dan media kesenian (seni tradisional maupun kontemporer). Ketika jejaring sosial dipakai oleh kaum fundamentalis untuk menebarkan kebencian berbasis agama, maka orang muda cinta damai juga memanfaatkan sarana tersebut untuk mengampanyekan dialog dan persaudaraan sejati.
         Ketiga, agenda dialog pemuda lintas agama juga bisa menyelaras dengan tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial.
            Keempat, memperkuat wacana dan refleksi ke-Indonesia-an yang mencakup Pancasila sebagai dasar Negara dan tiga pilar UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Yang menjadi catatan penting adalah dialog bukan hanya membangun wacana namun juga membuat gerakan nyata sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, impian dari Franky Sahilatua, yang juga mimpi kita, melalui lagu Pancasila Rumah Kita benar-benar terwujud. Bahkan Pancasila tak hanya menjadi rumah kita. Namun, Pancasila menjadi habitus yang menjiwai cara bangsa ini bernalar, merasa, bertindak dan berelasi dengan sesama warga Negara Indonesia ini.
Pancasila Rumah Kita
Ciptaan Franky Sahilatua
* Pancasila rumah kita
rumah untuk kita semua
nilai dasar indonesia
rumah kita selamanya
** untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua warna menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada semua insan, sama dapat sama rasa
oh indonesiaku (oh indonesia)
repeat *, **



[i] Harian Kompas, 26 Februari 2006.
[ii] Surat Gembala Prapaskah 21-22 Februari 2009
[iii] Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way-Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, 2009, hal. 84.
[iv] Hans Kung dan Karl Josef Kuschel, Etik Global, 1999.
[v] Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way-Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, 2009, hal. 83-84.

Post a Comment

Kesan/Pesan